oleh: Syamsuddin Haris
Sulit dimungkiri bahwa politik di negeri ini agak keruh dalam beberapa waktu terakhir. Suasana saling curiga antargolongan masyarakat dan negara-masyarakat cenderung semakin meningkat.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Mengapa keindonesiaan kita tiba-tiba begitu rapuh justru ketika kita hendak merayakan hampir dua dekade reformasi?
Salah satu sumber kekeruhan politik itu, yakni dua putaran Pilkada DKI Jakarta 2017, sebenarnya telah usai. Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangi pertarungan panas, mengalahkan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dengan selisih suara cukup telak.
Namun, ironisnya nuansa perbincangan, interaksi, dan relasi sosial pasca-pilkada belum sepenuhnya pulih seperti sediakala. Meski intensitas berita bohong (hoaks), fitnah, dan ujaran kebencian yang sebelumnya tumpah ruah di berbagai media sosial kini jauh berkurang, rekonsiliasi sosial belum sepenuhnya berlangsung.
Seorang kolega senior bercerita bagaimana suasana pasca-Pilkada DKI di lingkungan tempat tinggalnya. Sebelum pilkada digelar, beberapa tetangga rajin menunggu dan menyapa di ujung gang rumahnya sebelum mereka kemudian bersama-sama berangkat shalat berjemaah di masjid. Seusai shalat, mereka acap tak langsung pulang, tetapi berdiskusi ringan tentang banyak hal terkait isu politik mutakhir. Akan tetapi, setelah pilkada, suasana itu hilang. Meski ia masih melewati gang yang sama serta shalat di masjid yang sama, kini tak ada lagi tetangga yang menunggu dan menyapanya di ujung gang. Pun tak ada lagi diskusi ringan disertai canda tawa lepas seperti dulu. Beberapa orang malah cenderung menghindar bertatap langsung dengan sang kolega.
Tak sedikit cerita serupa dialami warga Jakarta lain-dan bahkan mungkin warga luar Jakarta-yang mengalami perlakuan tak bersahabat dari kolega, tetangga, dan kerabat lantaran perbedaan preferensi politikdalam pemilu dan pilkada. Lalu, apa yang salah dengan negeri ini?
Gagal “hijrah”
Suasana politik keruh sebenarnya sudah terbentuk sejak menjelang Pemilu Presiden 2014. Munculnya dua pasangan calon, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dalam pilpres tak hanya membelah politik nasional kedua kubu politik berlawanan, tetapi juga meninggalkan luka politik bagi sebagian pendukung mereka yang gagal “hijrah”, atau menggunakan terminologi populer, gagal move on, sejak pasca-pilpres hingga kini. Meski koalisi pendukung masing-masing, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP), akhirnya “mencair”, hal itu tampaknya tidak terjadi di sebagian masyarakat akar rumput.
Pembelahan politik yang mewarnai kompetisi pilpres semestinya sudah berhenti dan selesai saat Jokowi-JK terpilih dan Prabowo-Hatta sebagai capres dan cawapres yang kalah secara ksatria mengakui kekalahannya. Itu pula yang seharusnya terjadi ketika Anies-Sandi memenangi Pilkada DKI dan Basuki-Djarot secara terbuka mengakui kekalahan serta mengucapkan selamat kepada pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih. Politik yang “cair” dan rekonsiliatif pasca-pemilu dan pilkada diperlukan negeri ini agar pembangunan bisa dilanjutkan dan janji-janji politik bisa segera diwujudkan oleh pasangan terpilih.
Namun, pasca-Pilpres 2014, rekonsiliasi politik di tingkat elite tampaknya berlangsung “semu”, sementara rekonsiliasi sosial di tingkat akar rumput tak terjadi. Akibatnya, luka politik dan sosial bukan hanya tak kunjung sembuh, melainkan juga cenderung terpelihara. Ironisnya, tak sedikit pula orang atau kelompok orang yang mau bekerja profesional sebagai operator untuk “memelihara” luka politik dan sosial, bahkan mungkin juga “merawat” dendam politik yang belum lunas terbayar.
Akal sehat tak bekerja
Oleh karena itu, dinamika politik Pilkada DKI tak sepenuhnya terkait pertarungan gagasan tentang Jakarta yang lebih baik. Hampir selalu ada penumpangan agenda politik tersembunyi di balik kompetisi politikyang semestinya berlangsung fair dan sportif. Agenda itu bisa sangat beragam, mulai dari dendam politik, ambisi kekuasaan, hingga politikrasialis. Dendam politik, misalnya, belum tentu semata-mata terkait urusan menang-kalah di pilkada, melainkan lebih karena sang “pemilik dendam” merasa gurita bisnis atau kenyamanan ekonominya terganggu jika suatu rezim politik berada di tangan orang dan/atau kelompok politik lain.
Maka, ketika Ahok dituding melakukan penodaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, para musuh politiknya bagai memperoleh durian runtuh.
Sejak kasus “penodaan agama” dituduhkan kepada sastrawan HB Jassin (1968)-karena majalah Sastra edisi No 8/Agustus 1968 itu menerbitkan cerita pendek “Langit Makin Mendung” -hingga kasus survei tabloid Monitor oleh Arswendo Atmowiloto (1990), Lia Eden yang mempersonifikasi diri sebagai Bunda Maria (2006 dan 2009), dan Ahmad Musadeq yang mengangkat diri sebagai “Nabi” (melalui aliran Qiyadah Islamiyah, 2007, dan Gafatar, 2016), tak pernah ada definisi yang jelas dan jernih, apa yang dimaksud serta apa saja ruang lingkup “penodaan agama”.
Juga, menjadi tak relevan didiskusikan di sini, apakah Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penodaan agama benar-benar “pasal karet” yang bisa disalahgunakan oleh siapa saja, kapan saja, dan untuk kepentingan apa saja.
Ketika akal sehat tidak bekerja, maka hukum menjadi “liar” dan arah pedang keadilan pun akhirnya didasarkan pada tafsir subyektif aparat penegak hukum selaku “wakil Tuhan”. Kontroversi vonis majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara atas Ahok saya kira mengonfirmasi hal itu.
Kotak pandora
Problemnya bertambah kompleks karena Ahok adalah seorang sosok gubernur petahana yang tak sekadar keras, temperamental, dan tak kenal kompromi dalam menindak koruptor, tetapi juga seorang figur yang memikul beban minoritas ganda, yakni sebagai pemeluk Kristiani sekaligus Tionghoa. Akibatnya, persaingan para calon dalam Pilkada DKI tak hanya membuka kotak pandora isu-isu primordial berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan klasik esensi keindonesiaan kita, termasuk isu sensitif, relasi agama dan politik (negara).
Reli-reli aksi massa dengan label “bela Islam” di satu pihak, dan “bela NKRI” serta kebinekaan di lain pihak, baik sebelum maupun pasca-Pilkada DKI, adalah refleksi terbukanya kotak pandora yang membahayakan dan tak diinginkan itu. Betapa tidak, tak pernah terjadi sebelumnya tingkat saling curiga dan saling tak percaya di antara berbagai elemen bangsa kita begitu mengkhawatirkan seperti dirasakan hari-hari ini. Tak mengherankan jika Presiden Jokowi merasa perlu bertemu banyak tokoh masyarakat dalam banyak kesempatan dengan pesan berulang-ulang yang sangat jelas, yakni agar kita semua berdiri tegak di atas konstitusi dan kembali kepada cita-cita Republik yang diproklamasikan pada 1945.
Ajakan Presiden untuk kembali pada cita-cita para pendiri bangsa, yakni negara kesatuan berbentuk republik yang berfondasikan keberagaman dengan falsafah dasar Pancasila, tentu sangat beralasan dan karena itu patut diapresiasi. Terlalu mahal taruhan bagi bangsa ini jika keterbelahan politik dan sosial bermuara pada konflik sektarian yang bisa mencabik-cabik negeri ini seperti dialami sejumlah negara di Timur Tengah dan Eropa Timur. Meski demikian, mewujudkan harapan Presiden Jokowi dalam jangka pendek bukanlah pekerjaan mudah. Persoalannya, suasana saling curiga dan politik yang keruh memiliki akar masalah yang kompleks. Bagaimanapun suasana bangsa kita hari ini adalah produk dari akumulasi kelalaian yang sudah bertumpuk sejak puluhan tahun yang lalu. Ada beberapa faktor yang bisa dicermati.
Ambivalensi negara
Pertama, ambivalensi negara dalam menyikapi bangkitnya gerakan-gerakan radikal agama, dan juga tumbuhnya berbagai aliran “sempalan” agama, sehingga yang tampak secara publik adalah tak adanya konsistensi negara dalam penegakan hukum. Terkait maraknya aliran agama, misalnya, di satu pihak negara diamanatkan konstitusi melindungi hak dan kebebasan setiap warga negara, termasuk kebebasan beragama dan menganut kepercayaan. Namun, di pihak lain negara dan institusi representasi negara, seperti pemda, kodim, polres, polsek, koramil, dan seterusnya, cenderung membiarkan dan bahkan acap kali memfasilitasi penindasan dan represi suatu kelompok masyarakat atas kelompok lain.
Itulah misalnya yang dialami jemaah Ahmadiyah di sejumlah daerah serta jemaah Syiah di Sampang, Madura. Mereka, warga negara yang memiliki hak dilindungi negara, terusir dan diusir dari kampung halaman oleh saudara sebangsa sendiri hanya karena berbeda aliran dan/atau keyakinan dalam beragama. Selain sikap mendua negara, tampak pula tak ada konsistensi negara dalam penegakan supremasi hukum. Tumbuh suburnya kelompok-kelompok radikal dan anti-Pancasila pada dasarnya produk dari inkonsistensi itu.
Kedua, kegagalan pemerintah-pemerintah sejak Indonesia merdeka mengelola keindonesiaan yang berbasiskan keberagaman. Hampir tidak ada keseriusan memperkuat fondasi kebangsaan. Bhinneka Tunggal Ika berhenti sebagai semboyan belaka. Selama lebih dari 70 tahun merdeka tak pernah ada upaya serius bagaimana keberagaman secara agama, ras, etnik, dan daerah dikonversi, dikelola, dan dikapitalisasi sebagai aset dalam mewujudkan Indonesia yang kokoh, adil, makmur, dan sejahtera.
Sejak dahulu pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan negara. Fokus yang tak pernah berhenti untuk mengejar pertumbuhan ekonomi merefleksikan hal itu. Kurang menjadi perhatian bahwa dampak orientasi berlebihan pada pertumbuhan ekonomi adalah semakin tajam dan melebarnya ketimpangan sosial. Tak mengherankan jika segelintir orang Indonesia menguasai sebagian besar aset ekonomi nasional. Problem bertambah rumit ketika mayoritas mereka yang menguasai ekonomi itu berasal dari kelompok minoritas, baik agama maupun etnik.
Ketiga, meskipun era reformasi telah berlangsung hampir dua dekade, sulit dimungkiri bahwa bangsa kita hingga hari ini tidak pernah bisa benar-benar “hijrah” dan menarik garis batas yang jelas dari rezim otoriter Orde Baru. Cara pandang Orde Baru yang cenderung melembagakan suasana saling tak percaya di antara berbagai elemen bangsa terus direproduksi dan dipelihara, bukan oleh negara, melainkan oleh para operator profesional yang bersekongkol dengan para pebisnis hitam, politisi busuk, dan para radikalis agama. Hal ini tampak dari upaya mempertentangkan pribumi dan nonpribumi, peruncingan sentimen berbasis SARA, khususnya antara yang Muslim dan “kafir”, begitupun penciptaan fobia terhadap bahaya “kebangkitan” PKI dan komunisme, yang semuanya adalah replika otentik dari politik rezim Soeharto.
Tidak mustahil para operator pemelihara konflik memanfaatkan durian runtuh kasus Ahok bukan sekadar untuk mengganjal Ahok, melainkan juga dalam rangka menghentikan mentor politik Ahok, yakni Presiden Jokowi, sekurang-kurangnya agar hanya berkuasa hingga 2019. Sangat bisa diduga tak sedikit pemilik gurita bisnis besar yang terganggu kenyamanannya akibat kebijakan Jokowi dan Ahok yang merugikan mereka sehingga mereka terus memelihara politik yang keruh dalam suasana saling curiga yang mencemaskan kita semua.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Presiden Jokowi kecuali tetap berdiri tegas lurus di atas konstitusi untuk menegakkan cita-cita para pendiri Republik, yakni sebuah Indonesia yang berbasis keberagaman sebagaimana terkristalisasi di dalam falsafah dasar negara Pancasila. Juga, tidak ada pilihan lain bagi elemen masyarakat sipil kecuali memelihara akal sehat dan kewarasan agar tidak turut terperosok tipu daya para pebisnis hitam, politisi busuk, dan kaum radikalis agama.
SYAMSUDDIN HARIS,
Profesor Riset LIPI
—
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul “Mengapa Politik Keruh”.