Makanan khas terkait erat denga etnis, daerah, budaya, dan agama. Hal paling penting, makanan terkait erat dengan agama. Makanan mengandung aspek budaya. Pilihan bahan-bahan makanan atau proses ritual yang dijalankan oleh kelompok agama. Kadang kala, hidangan diolah untuk menghindari tabu atau larangan. Setiap komunitas punya budaya makanan khas. Budaya ini melambangkan warisan dan aspek sosial kultural. Makanan yang disajikan oleh kelompok etnis bersifat unik, khas, dan subyektif. Karena perbedaan geografis, faktor lingkungan, pilihan bahan pangan maka, dan ketersediaan sumber tanaman atau hewan. Keyakinan adat, hukum makanan, agama, dan pengelompokan sosial adalah karakteristik yang bermanfaat pada deskripsi budaya. Sementara itu, etnisitas, erat hubungannya dengan ras, orang, kelompok budaya. Agama, kepercayaan, adat memberi pengaruh kuat pada kebiasaan makan. Terutama, melalui hukum makanan seperti tabu pada makanan tertentu. Beberapa makanan etnis disebutkan dalam kitab suci Alkitab, Quran, dan Bhagavad Gita, dan kitab suci Budha. Maka, sebagian besar makanan etnis dipengaruhi oleh agama terutama tabu atau larangan.
Budha
Buddha ortodoks sangat menghindari daging dan ikan.[i] Alasannya, menghormati kehidupan. Namun, makanan non- vegetarian tidak dilarang. Dalam aturan diet agama Buddha, jika daging hewan akan dimakan, hewan harus disembelih oleh mereka yang bukan penganut Buddha. Para biksu cenderung lebih keta dalam menjalankan diet atau puasa ketimbang kaum awam Budha. Mereka tidak makan daging dan ikan. Mereka berpuasa di siang hari. Puasa sehari penuh dijalankan pada awal bulan baru dan bulan purnama setiap bulan. Umat Buddha biasanya makan bersama di rumah bersama keluarga.
Kepercayaan China adalah campuran kepercayaan Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme.[ii] Konfusianisme mementingkan moralitas dan perilaku, termasuk ritus peralihan. Taoisme memusatkan perhatian pada hasrat-hasrat dan pengobatan, juga menjadi dasar perayaan dan festival. Meski Konfusianisme dan Taoisme tidak memberikan petunjuk soal makanan, budaya makanan kuno di China kebanyakan mengandung vegetarian. Tahun Baru Imlek, Festival Musim Semi, dirayakan secara meriah dalam jamuan besar seluruh anggota keluarga besar. Mereka semua makan bersama-sama. Sebelum makan, orang Cina mengenang leluhur keluarga. Mereka mempersembahkan sumpit lengkap dengan semangkuh nasi, arak, dan teh. Persembahan ini disajikan di altar keluarga. Kombinasi Konfusianisme dan Taoisme punya pengaruh besar pada tradisi makanan Tiongkok.
Umat Budha Tibet makan mie dengan sup, skiu atau momo, pangsit kecil tepung terigu dengan daging, kentang panggang, tsamp, butiran biji jelai panggang.[iii] Budha Tibet tidak melarang makan daging hewan dan arak. Namun, orang Tibet tidak makan hewan kecil ayam, itik, kambing, dan babi. Karena, mereka percaya bahwa mengambil nyawa hewan kecil lebih dosa dari pada membunuh hewan besar, yak dan sapi, yang lebih praktis. Makan ikan jarang dilakukan di kalangan umat Buddha Tibet. Karena, mereka menyembah ikan untuk umur panjang dan kemakmuran. Budha Nepal tidak mengikuti aturan diet Budha. Kecuali Tamang dan Sherpa, masyarakat Nepal lainnya tidak makan daging sapi dan yak. Buddha Nepal adalah perpaduan antara Budha Tibet dan Hindu. Perpaduan antara alam dan pemujaan leluhur. Umat Buddha di Asia Tenggara makan ikan dan hasil olahan kedelai.
Masuknya Agama Buddha ke Korea di Kerajaan Goguryeo (372 M) dan di Kerajaan Silla (528 M), mengubah budaya makanan Korea.[iv] Dari makanan berbasis hewan ke makanan berbasis sayuran. Orang-orang Kerajaan Silla pada masa Dinasti Kory (918-1392 M) adalah pemeluk Buddha ortodoks. Dalam periode ini, konsumsi daging dilarang keras. Maka, fermentasi kedelai dan sayuran merajalela dan amat disenangi.[v]
Konsumsi kedelai sebagai makanan dan hasil olahan fermentasi kedelai dalam masakan Jepang terkait erat dengan masuknya Agama Buddha pada abad ke-6.[vi] Shinto adalah agama Jepang. Shinto masih dilestarikan. Ada perpaduan antara Shinto dan Buddha. Dalam Shinto, nenek moyang dipuja dan dikenang. Rumah-rumah Jepang melestarikan dua altar. Altar “kami” untuk kehidupan dan pekerjaan. Altar Buddha untuk kematian dan pemujaan leluhur. Di kedua altar ini dipersembahkan sajian makanan segar dan sake untuk mengawali memulai hari.
Makanan Kristen
Makanan khusus secara simbolis disajikan dalam Ekaristi, atau Komuni. Roti disematkan di lidah atau di tangan. Iini melambangkan tubuh Yesus. Anggur diminum melambangkan darahnya.[vii] Rasul Paulus menjadi acuan yang membebaskan orang-orang Kristen dari hukum diet yang dipraktikkan oleh orang-orang Yahudi. Maka, kelonggaran ini menjadi alat pembeda antara Kristen dengan Yahudi. Sebenarnya, minuman anggur yang melambangkan darah Kristus. Lambang ini jelas menjadi tanda penting peng-abaian hukum tabu dalam hidangan berbahan darah dalam tradisi Yahudi. Paska adalah roti Paskah spesial yang menonjol dalam perayaan dalam tradisi Gereja Ortodoks di Daerah Timur. Nama roti ini mencerminkan fakta bahwa Yesus disalib selama Paskah Yahudi. Paska adalah roti ragi yang manis yang sangat berbeda dengan matzo yang tidak beragi yang dimakan dalam tradisi Paskah Yahudi, yang melambangkan hijrahnya Kaum Yahudi dari Mesir.[viii] Di Eropa Timur, wanita membawa keranjang berisi makanan ke gereja untuk makan malam Paskah agar diberkati oleh Pastur. Telur dianggap sebagai simbol kebangkitan Kristus. Dan biasanya dihiasi dan ditampilkan oleh orang Kristen di seluruh Amerika Utara dan Eropa Utara. Dalam budaya makanan Kristen, semua anggota keluarga duduk bersama di meja makan. Sebelum makan, mereka semua memanjatkan doa bersama keluarga. Makanan etnis seperti roti, keju, dan sosis merupakan makanan budaya kebanyakan orang Kristen, di Eropa, Amerika, dan Australia.
Yahudi dianggap akar agama Kristen. Yahudi punya aturan diet sangat ketat. Makanan kosher Yahudi tidak begitu melimpah di dunia seperti makanan halal Islam karena populasi Yahudi sangat kecil. Namun, hukum khoser lebih ketat dalam tradisi Yahudi ketimbang hukum halal dalam Islam.
Muslim
Seperti kosher dalam tradisi Yahudi, konsumsi makanan umat Islam diatur oleh hukum diet ketat[ix]. Berikut makanan haram yang sangat dilarang: daging babi, daging bangkai, darah dalam bentuk apapun, makanan yang sebelumnya disajikan untuk dewa-dewa, dan alkohol dan minuman keras. Menurut hukum halal Islam, makanan disiapkan tanpa minuman beralkohol. Secara tradisional, wanita Muslim dan anak-anak makan secara terpisah, setelah anggota laki-laki di keluarga selesai makan. Selama bulan Ramadhan, anggota keluarga, teman, dan kerabat makan bersama-sama setelah matahari terbenam. Di Sudan, secara tradisional pada saat Ramadan, hulumur, minuman roti sorgum tradisional yang difermentasi disiapkan dengan merendam lembaran roti beragi ke dalam segelas air. Minuman ini disiapkan dan diminum dalam waktu 1 jam. Sehingga tidak mengandung alkohol. Seperti makanan khoser Yahudi, hukum halal mempertahankan pedoman ketat makanan Islami. Terutama, negara dengan populasi Muslim yang besar seperti Indonesia dan Malaysia, menerapkan pemeriksaan sangat ketat Sertifikat Halal, dan lebih sangat ketat dalam hal makanan impor dari negara lain.
Hindu
Dalam Bhagavad Gita, kitab suci Hindu, makanan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sattvika, raajasika, dan taamasika. Berdasarkan sifat, kualitas, dan kesucian. Sattvika menandakan kemakmuran, usia panjang, kecerdasan, kekuatan, kesehatan, dan kebahagiaan. Jenis makanan ini meliputi buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, sereal, dan permen. Makanan raajasika menandakan aktivitas, gairah, dan kegelisahan, mencakup makanan panas, asam, pedas, dan asin. Makanan taamasika memabukkan dan tidak sehat, menyebabkan kusam dan inersia. Makanan Hindu mengikuti konsep kemurnian dan kotoran. Menentukan hubungan antar pribadi dan antar kasta.[x] Brahmana menghasilkan dua jenis makanan.[xi] Kaccha, berarti tidak dimasak dan mentah. Dan pakka, berarti matang dan dimasak. Makanan Kaccha sangat rentan kontaminasi. Karena itu, ada aturan ketat dalam memasak, menyajikan, dan memakan jenis makanan ini. Makanan pakka digoreng, jadi tidak rentan. Orang Hindu secara tradisional vegetarian. Namun, kebanyakan non-Brahmana adalah non-vegetarian. Karena sapi dianggap sakral, daging sapi tidak dimakan oleh orang Hindu. Ikan lebih diterima dibanding daging hewani. Brahmana tidak makan bawang putih, bawang merah, dan arak. Makanan dipersembahkan ke kuil untuk menyembah Dewa dan membebaskan diri dari hasrat gangguan roh.
Memberi makan pada binatang jinak dan liar termasuk burung pada upacara keagamaan adalah praktik lazim. Makanan etnis memiliki kepentingan sosial untuk perayaan. Terutama festival dan acara sosial. Memasak biasanya dilakukan oleh menantu perempuan, anak perempuan, dan ibu. Orang India Veda menikmati hidangan dalam posisi duduk di lantai.[xii] Secara tradisional, pria Hindu ortodoks tidak mengadakan jamuan makan bersama istri. Wanita umumnya makan tanpa ada anggota keluarga laki-laki. Kebiasaan menyajikan makanan pertama-tama pada anggota laki-laki tertua adalah lazim dalam budaya makanan Hindu. Secara tradisional, anggota keluarga perempuan Hindu makan sesudah para laki-laki selesai makan. (Saiful Hakam – Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional LIPI)
Endnote:
[i] Hinnells JR. A new handbook of living religions. London (UK): Penguin; 1997.
[ii] Hinnells JR. A new handbook of living religions. London (UK): Penguin; 1997.
[iii] Tamang JP. Himalayan fermented foods: microbiology, nutrition, and ethnic values. New York: CRC Press; 2010.
[iv] Lee CH, Kwon TW. Evolution of Korean dietary culture and health food concepts. In: Shi J, Ho CT, Shahidi F, editors. Asian functional foods. London (UK): Taylor and Francis; 2005.
[v] Park KY, Rhee SH. Functional foods from fermented vegetable products: Kimchi (Korean fermented vegetables) and functionality. In: Shi J, Ho CT, Shahidi F, editors. Asian functional foods. London (UK): Taylor and Francis; 2005.. Kwon DY, Jang DJ, Yang HJ, Chung KR. History of Korean gochu (Korean red pepper), gochujang and kimchi. J Ethnic Food, 2014.
[vi] Hamamo M. Shoyu (soy sauce). Food Culture 2001.
[vii] Hinnells JR. A new handbook of living religions. London (UK): Penguin; 1997.
[viii] Hinnells JR. A new handbook of living religions. London (UK): Penguin; 1997.
[ix] Hussaini MM. Islamic dietary concepts and practices. Bedford Park (IL): Islamic Food and Nutrition Council of America; 1993.
[x] Kilara A, Iya KK. Food practices of the Hindu. Food Techno, 1992.
[xi] Misra PK. Cultural aspects of traditional food. In: Traditional foods: some products and technologies. Mysore (Karnataka): Central Food TechnologicalResearch Institute; 1986. .
[xii] Prakash O. Economy and food in ancient India. Part II: Food. Delhi (India): Bharatiya Vidya Prakashan; 1987.