Kota perbatasan merupakan lokasi strategis bagi migrasi transnasional baik barang, manusia, modal, ide, dan informasi, sekaligus sebagai wilayah yang menghubungkan antara dua atau lebih negara yang berbeda. Di samping itu, kota perbatasan juga dapat menjadi lokasi transit bagi migran (baik pengungsi, pedagang, dan pelajar), ataupun menjadi pemberhentian akhir bagi para migran untuk tinggal menetap dan mencari nafkah.
Perkembangan kota perbatasan tentu tidak akan sama dari satu wilayah dan wilayah lainnya, termasuk juga untuk perkembangan kota-kota perbatasan di Asia Tenggara dengan Tiongkok. Ada yang mengalami perkembangan pesat sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang maju, namun ada pula yang tidak berhasil mengembangkan dirinya. Hal ini karena perkembangan kota-kota perbatasan tersebut tidak bisa dilepaskan dari dukungan Tiongkok melalui pembangunan infrastruktur yang sangat agresif sebagai bagian dari ekspansi perekonomiannya di kawasan perbatasannya serta kemudahan akses ke kota-kota besar di negara-negara Asia Tenggara.
Namun sejalan dengan perkembangan kota perbatasan di atas, orang-orang Tiongkok juga turut bermigrasi ke kota-kota perbatasan. Menurut Zhuang dan Wang (2010:174), derasnya arus integrasi ekonomi antara Tiongkok dan ASEAN pada sepuluh tahun terakhir merupakan faktor utama yang mendorong semakin banyaknya pendatang dari Tiongkok ke ASEAN. Sementara Chinh (2013: 9) berpendapat bahwa migrasi orang Tiongkok adalah bagian dari meningkatnya investasi, bantuan ekonomi, perdagangan dan budaya Tiongkok yang sejalan dengan strategi Pemerintah Tiongkok yang bernama ‘go-out strategy’. Dia menambahkan bahwa ledakan migrasi orang Tiongkok ini bukanlah keputusan individual namun dipengaruhi oleh kebijakan luar negerinya. Pemerintah Tiongkok menerapkan strategi kebijakan yang dinamakan “going global” untuk mendorong investasi asingnya ke luar negeri. Pembangunan Trans-Asian Highway dari Kunming-Yunnan ke Singapura dan beberapa economic corridor yang menghubungkan Tiongkok dengan Thailand, Vietnam, Laos, dan Myanmar juga merupakan faktor lainnya yang mendorong semakin meningkatnya pergerakan manusia, barang, dan modal, tidak hanya di antara negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga pendatang dan komoditas dari Tiongkok.
Terkait perbatasan Vietnam-Tiongkok, dua negara memiliki hubungan sejarah panjang baik dalam hal sosial budaya, ekonomi dan perdagangan, maupun ketegangan politik serta konflik. Pada tahun 1979, misalnya, kedua negara menutup perbatasan mereka selama satu dekade. Meskipun migrasi dan perdagangan resmi tidak dapat dilakukan, namun pada kenyataannya masih banyak pula pelaku migrasi dan perdagangan yang melakukan kegiatannya secara illegal. Perbatasan kedua negara baru dibuka kembali pada tahun 1988, disusul dengan perbaikan hubungan oleh kedua negara di berbagai bidang yang ditandai dengan normalisasi hubungan kedua negara secara resmi pada tahun 1991. Pada tahun 1991 -1992, Vietnam membuat kebijakan baru untuk meningkatkan perdagangan lintas batas dan pembangunan perbatasan untuk memperkuat posisi mereka. Kebijakan tersebut mencakup kebijakan perdagangan nasional dan peningkatan perdagangan perbatasan serta pengelolaan perbatasan sebagai pusat perdagangan. Kebijakan baru Vietnam ini kemudian direspon cepat oleh Tiongkok dengan membuka 56 kota perbatasannya, yaitu antara lain di Yunnan dan Guang Xi untuk mendukung perdagangan lintas batas dan meningkatkan interaksi sosial di perbatasan (Turner, 2010).
Gerbang Perbatasan Mong Cai, Vietnam dengan kota Dong Xing di provinsi Quang Xi, China
Sumber: Amorisa Wiratri
Dalam beberapa dekade terakhir ini, kota-kota perbatasan di Vietnam telah menjadi tujuan utama migran dari negara tetangga, khususnya dari wilayah Tiongkok bagian selatan, termasuk propinsi Guang Xi. Meskipun migrasi orang Tiongkok ke Vietnam sudah terjadi sejak lama, namun pada satu dekade terakhir ini jumlahnya meningkat secara signifikan. Pendatang Tiongkok masuk ke wilayah Vietnam melalui pintu-pintu perbatasan, salah satunya di Mong Cai yang terletak di propinsi Quang Ninh.
Pergerakan lintas batas ini, sebagaimana dikatakan Chinh (2013:21) meliputi pedagang, petani, pekerja, porter, wisatawan, maupun pelintas batas yang saling berkunjung untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Berdasarkan catatan dari Mong Cai People Committee pada tahun 2011, Chinh lebih lanjut menyatakan bahwa pendatang lintas batas di Mong Cai ada sekitar 1.777.912 orang pada tahun 2007, dimana 1.310.844 orang bergerak dari Tiongkok ke Vietnam dan 168.743 orang bergerak dari Vietnam ke Tiongkok. Chin juga berpendapat bahwa jumlah itu dapat berubah drastis jika jumlah pendatang illegal dapat diketahui. Berdasarkan pengamatannya di Mong Cai Trade Center, 90% pemilik kios di sana adalah pedagang Tiongkok. Mereka datang ke Vietnam pada pagi hari dan kembali ke Tiongkok pada sore hari. Banyak pula warga negara Vietnam dari propinsi lain yang bekerja sebagai pedagang kecil, pengangkut barang/porter, pelayan toko dan restoran, dan buruh pertanian di Mong Cai.
Buruh angkut di perbatasan
Sumber: Amorisa Wiratri
Pendatang dari provinsi lain yang mencari peruntungan dengan berjualan buah
Sumber: Amorisa Wiratri
Pedagang dari China yang datang tiap pagi ke pasar perbatasan di Vietnam dan pulang ke China pada sore hari
Sumber: Amorisa Wiratri
Keberadaan para migran ini memberi dampak positif bagi kota Mong Cai, baik dalam hal ekonomi maupun di sektor lainnya. Lebih lanjut, kedatangan para migran lokal dari propinsi lain membantu pembangunan Mong Cai khususnya di bidang agrikultur, ekonomi lokal dan industri karena mereka kebanyakan bekerja di sektor-sektor tersebut. Sementara itu, migran ulang alik dari China yang kebanyakan adalah pedagang partai besar di pasar perbatasan secara langsung telah membantu pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan Mong Cai sebagai kota perdagangan terbesar di Timur laut Vietnam. Pedagang dari daerah sekitar datang ke Mong Cai untuk membeli berbagai barang kebutuhan produksi Tiongkok yang akan mereka jual kembali di daerahnya. Terakhir, migran internasional, baik dari Tiongkok maupun negara lain banyak membantu pembangunan di berbagai sektor. Banyak dari mereka yang bekerja di pabrik, sebagai buruh tani musiman serta banyak yang bekerja di sektor-sektor industri. Selain itu, migran internasional, khususnya wisatawan banyak yang membantu pembangunan kota dengan membeli produk-produk lokal, menyempatkan bermalam di Mong Cai sehingga membantu peningkatan di bidang perhotelan dan restoran. Berdasarkan hasil observasi, banyak wisatawan China berkunjung ke Mong Cai hanya untuk menghabiskan waktu di akhir pekan, di mana banyak di antara mereka menghabiskan waktu di karaoke dan menginap di hotel. Ini tentu saja membantu pembangunan di sektor jasa.
Pembangunan Mong Cai tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi kota namun juga berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Meskipun Pemerintah Mong Cai tidak mengeluarkan informasi mengenai angka rata-rata pendapatan masyarakat pasca pembangunan jembatan Bac Luan. Pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa masyarakat di sisi sebaliknya, di kota Dong Xing mengalami kenaikan pendapatan hingga lebih dari tiga kali lipat. Hongmei (2017) mengklaim jika sebelumnya penduduk kota Dong Xing berpendapatan kurang dari 1000 yuan per bulan, sekarang rata-rata pendapatan mereka lebih dari 3000 yuan per bulan. Peningkatan ini terutama karena mereka terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan yang tersedia di perbatasan, termasuk perdagangan lintas batas.
Referensi
Chinh, Nguyen Van. 2013. “Recent Chinese Migration to Vietnam” dalam Asian and Pacific Migran Journal, Vol. 22, No. 1.
Hongmei, Zhou. 2017. “Innovative poverty alleviation measures help Guangxi border regions flourish”, diakses dari http://www.iprcc.org.cn/South/content/index/id/6426.html, pada tanggal 20 Oktober 2018.
Turner, Sarah. 2010. “Borderlands and border narratives: a longitudinal study of challenges and opportunities for local traders shaped by the Sino-Vietnamese border”. Journal of Global History, pp. 265-287.
Zhuang, Guotu and Wang, Wangbo. 2010. “Migration and Trade: The Role of Overseas Chinese in Economic Relations between China and Southeast Asia,” International Journal of China Studies 1, no. 1 (2010): 174–193.