Jakarta, Humas LIPI. Negara atau pemerintah menjamin hak-hak masyarakat Papua, hal ini mengacu pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang manyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, Dedi S. Adhuri dalam acara webinar dan live streaming Youtube, Peluncuran Website Dokumentasi dan Diskusi: “Empat Dekade Kiprah LIPI di Tanah Papua”, pada Senin (3/05) menyatakan, pemerintah menegaskan dengan kemungkinan pada orang-orang yang mendapatkan posisi marginal. “Komunitas adat dan hak-haknya itu bukan hanya untuk memenuhi hak komunitas tetapi kebutuhan untuk menciptakan pembangunan yang lebih baik. Pembangunan yang partisipatif, berkeadilan dan berkelanjutan dilakukan dengan menegosiakan berbagai kepentingan dan mensinergikan berbagai macam pengetahuan modern maupun traditional,” sebut Dedi.
Menurutnya, pengakuan hak-hak Masyarakat Adat Papua adalah sebuah keniscayaan. “Adanya marginalisasi masyarakat adat, kerusakan lingkungan akibat pembangunan dari modernisasi. Pengakuan itu bukan hanya sekedar memberikan hak konstitusional orang Papua, tetapi juga sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan meningkatkan praktek-praktek pengelolaan SDA tradisional. Adopsi pemikiran alternatif ini mengharuskan perubahan kerja-kerja pembangunan yang selama ini top-down ke arah participatrory dan kolaborasi yang sesungguhnya,” ungkap Dedi.
Sepaham dengan Dedi, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Mardyanto Wahyu, menyampaikan ada beberapa negara menyelesaikan konflik internalnya dengan menggunakan pendekatan ekonomi. “Indonesia memiliki khas yang berbeda terkait penyelesaian konflik, seperti di Aceh dimana pemerintahan lokal diberikan kewenangan pengelolaan daerahnya dan sampai saat ini berjalan dengan relatif stabil,” ujar Mardyanto.
Lebih lanjut Mardyanto mengatakan, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap daerah konflik antara lain; penguatan identitas etnik dan kepentinggan kelompok dominan di tingkat lokal; diskriminasi kebijakan oleh kelompok dominan terhadap etnis lain; dan mobilisasi kelompok etnik untuk terlibat dalam konflik dan separatisme. “Legitimasi masyarakat papua sudah menipis terhadap pemerintah, tetapi ada perbaikan yang bisa diupayakan seperti; pelibatan aktivis di politik dan pemerintahan; penghormatan dan akomodasi nilai, budaya, dan kebutuhan lokal melalui pengembangan lembaga seperti organisasi dan aturan dengan karakter lokal; dan pemberdayaan ekonomi lokal,” jelasnya.
Dirinya menegaskan, masyarakat Papua menghendaki untuk melakukan revisi UU Nomor 21 tahun 2001. “Pemerintah hendaknya melihat problem pelembagaan ini secara utuh sehingga dapat melihat secara komprehensif persoalan ideologi dan politik di dalam implementasi otsus, daripada hanya melihat persoalan administrasi. Upaya perbaikan perlu dilakukan dengan pendekatan deliberasi adaptif, dan bukan parsial eksklusif dengan melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat,” tutup Mardyanto. (suhe/ed:mtr,sf)