Jakarta – Humas BRIN. Budaya Indonesia mempunyai peranan yang penting pada tahun 1950-an, dan dibawa oleh diaspora Tiongkok di Indonesia. Sekarang, persepsi diaspora cenderung ke budaya, wilayah, atau pemandangan, dan mereka tidak tahu banyak tentang pemimpin Indonesia.
Membahas hubungan bilateral Indonesia dengan Tiongkok, Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar webinar AreaScope secara virtual, Rabu (18/05). Assistant Profesor of Southeast Asian Studies at the School of Foreign Languages Peking University – China hadir membahas ‘Hubungan Tiongkok dan Indonesia dalam Pembentukan Demokrasi Terpimpin (1955-1959)’.
Pada era pemerintahan presiden pertama RI, politik dalam negeri Indonesia bersifat pragmatis. Indonesia banyak pilihan dan saat itu masih sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Indonesia terpaksa memilih mana jalan yang lebih baik, untuk dipilihnya.
“Apa yang disampaikan oleh Bung Karno, merupakan tujuannya saat itu, tentang politik dalam negeri. Dia seorang yang sangat pragmatis, semua bisa diterima,” ujarnya.
Kankan menerangkan, Indonesia dan Tiongkok saat itu merupakan negara yang lemah. Pada waktu yang sama, di dalam negeri arahnya radikalisasi. “Hubungan Indonesia dan Tiongkok sangat erat, begitu juga hubungan Indonesia dengan Uni Soviet sangat baik. Sedangkan hubungan Tiongkok dan Uni Soviet sangat tidak baik,” ungkapnya.
“Uni Soviet pada waktu itu sangat luas dengan blok sosialisnya. Tiongkok sedang meneruskan revolusinya, jadi sangat beda dengan Uni Soviet,” ucapnya.
Indonesia bukan anggota dari blok sosialis atau kapitalis, lanjut Kankan, Indonesia memilih satu jalan tengah, diantara kapitalisme dan komunisme. “Akan tetapi sebenarnya, jalan tengah antara real politik dan ideologi. Bung Karno menjaga kepentingan berbagai sumber, yang memberikan keuntungan Indonesia,” ungkapnya.
Kankan mengatakan, Bung Karno merupakan kepala negosiator, dan penyeimbang untuk konstituen di dalam negeri. Tujuannya berdiplomasi merupakan real politik, apa yang penting dan baik untuk Indonesia. Hal ini, untuk mengembangkan perekonomian di Indonesia.
“Secara realitas, Bung Karno mementingkan komunikasi dengan negara komunis. Tujuannya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, melalui radikalisasi politikal komunikasi di tahun 1950-an,” tegas Kankan.
Di sisi lain, menurut Kankan, hubungan internasional Bung Karno membantu dalam menjalankan agenda politik di dalam negeri-nya. Bukan hanya satu aspek idelogi atau pragmatis, tetapi menjalankan revolusi dengan jalan tengah. Tugas Bung Karno adalah membangun Indonesia yang baru merdeka. Indonesia bukan negara unik, atau yang menjadi kolonial dari perang dunia kedua.
Perspektif politik dalam negeri Bung Karno, lanjut Kankan, sangat kecewa pada demokrasi parlementer. Pada pemilu, PNI tidak menjadi mayoritas, walaupun mendapat dukungan atau suara yang tinggi. “Setelah tahun 1955, Presiden Soekarno menyampaikan pentingnya Nasakom untuk keseimbangan. Bung Karno sebagai penyeimbang antara PNI dengan PKI,” ujarnya.
“Tiongkok dan Indonesia, saling menghargai kedaulatan masing-masing, dan mau menyelesaikan masalah diaspora Tiongkok di Indonesia. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok mendapatkan inspirasi, dari kunjungan Indonesia ke Tiongkok. Bung Karno mulai melaksanakan demokrasi terpimpin, setelah melakukan kunjungan tersebut,” terangnya.
“Sebenarnya Bung Karno sudah mencapai politik nasional dan internasionalnya. Dengan bantuan identitas untuk jangka pendek, sangat penting bagi suatu negara yang baru mendapatkan kemerdekaannya. Pada jangka panjang, hubungan antara Tiongkok dan Indonesia, banyak masalah terkait ideologi komunis. Hal lainnya tentang isu-isu diaspora Tiongkok,” imbuhnya.
Lebih lanjut Kankan mengutarakan, gerakan 30 September mempunyai pengaruh yang sangat besar pada politik Indonesia, dan perubahan mendalam. “Menyebabkan hubungan dengan Tiongkok terputus. Pada masa orde baru, hubungan Indonesia dan Tiongkok sangat buruk,” pungkas Kankan. Namun menurutnya, hubungan Indonesia dan Tiongkok saat ini sudah sangat baik. “Sejarah bisa menjadi pelajaran, bagi kita semua. Hubungan Indonesia dan Tiongkok, saat ini sangat berbeda dibanding tahun 1950-an,” pungkasnya. (sm/ed:drs)