Jakarta – Humas BRIN. Memasukkan unsur air dalam tata kota merupakan hal unik dan baru yang dapat menyelesaikan berbagai permsalahan. “Kita masih memiliki permasalahan yang berkaitan dengan perairan yang belum terselesaikan secara tuntas yaitu banjir. Selain itu juga permasalahan kepadatan penduduk di daerah yang bersinggungan dengan perairan,” kata Kepala Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi, pada pembukaan acara diskusi Urban Lecture Series #18, Rabu (27/7). Acara ini diselenggarakan BRIN bersama Universitas Teknologi Delft (TU Delft) secara daring mengangkat topik Turning Blue: Towards a Water-based Approach to Planning.
Carola M. Hein selaku Peneliti TU Delft bidang Sejarah Arsitektur dan Perencanaan Kota memaparkan alasannya kenapa kita mesti melakukan pendekatan pembangunan berbasis air (turning blue). Perencanaan yang panjang selama ini memiliki fokus untuk menghindari perairan sebagai bagian dari perencanaan infrastuktur dan lebih kepada pendekatan pada daratan (land based project). Seperti membuat tembok turap menghalangi air sungai dan membuat bendungan dalam menangkal air laut.
Di lain sisi, perubahan iklim saat ini memiliki efek ekstrem terhadap perairan. “Hal tersebut membuat kita berdamai harus hidup berdampingan dengan air,” papar Carola. Ia juga menyebutkan kita perlu memikirkan kembali perencanaan yang sudah kita lakukan.
Kota-kota di pesisir yang bersebelahan dengan perairan atau kota pelabuhan memiliki dualitas dalam perencanaan pembangunannya. Terdapat sisi daratan dan sisi perairan. Berdasarkan perkembangan sejarahnya bentuk kota pelabuhan akan dipengaruhi oleh sumber daya energi minyak dan gas bumi. Alur distribusi logistik melalui lautan akan membutuhkan pelabuhan dan itu akan mengubah bentuk bibir pantai kota.
Lebih lanjut Carola memberikan contoh pembangunan perkotaan di Belanda yang memberikan ruang bagi air dengan membangun kanal yang lebar dan ini adalah salah satu pendekatan yang baik. Baginya, berbagai daerah aliran sungai diperlebar yang akhirnya dapat dimanfaatkan oleh kapal-kapal logistik untuk melewatinya. Selain itu juga memberikan ruang kosong di sepanjang aliran sungai yang dapat dijadikan ruang publik, sarana olahraga, taman, atau pertanian. Hal itu juga dapat menjadi tempat yang luas bagi air mengalir saat debit sungai tinggi dibandingkan membangunnya sebagai properti tempat tinggal. “Infrastuktur di pesisir yang direncanakan dengan baik akan memberikan dampak yang besar terhadap pembangunan di seluruh pulau,” tuturnya.
“Mengubah hal-hal tersebut dan menggantinya dengan pendekatan baru diperlukan pengetahuan dan kesadaran baru juga,” ujarnya. Carola mengungkapkan perlunya kesadaran bahwa air lebih dari sekedar H2O. “Ini adalah suatu sistem spasial, sosial, budaya yang telah berkembang dalam jangka waktu yang lama. Menghargai air lebih dari nilai ekonomi dan teknologi. Kita membutuhkan kesadaran baru terhadap air yang menghubungkan budaya dan alam, darat, dan laut,” ungkapnya.
Menurutnya, kota pelabuhan adalah sebuah warisan masa depan. “Kota pelabuhan telah lama menjadi cikal bakal perkembangan budaya di masa lampau, pusat inovasi, dan ketahanan dan kita perlu melindunginya dengan menerapkan pembangunan berkelanjutan,” jelasnya. (RBA/ ed:And)