Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menyelenggarakan webinar seri ke-15 bertajuk ‘Mengenal Ragam Kepercayaan Nusantara,’ Rabu (21/9).

Tema Ragam Kepercayaan kali ini, dibawakan Eny Parianingsih dari Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) dengan membahas tentang sejarah “Aku Sejatimu”. Ia menjelaskan sejarah tersebut didirikan oleh M. Marsam pada tahun 1920 di Ponorogo, Jawa Timur. Ia mengungkap sebab awalnya tuntunan ajaran tersebut hanya diajarkan kepada anak-anak dan keluarganya.

Akan tetapi, kemudian hal itu mendapat tanggapan baik di lingkungannya tersebut. Namun karena usia M. Marsam sudah lanjut usia pada tahun 1940, tuntunan tersebut dilanjutkan oleh Mustorejo selaku anaknya. Karena keuletannya dalam menyebarkan tuntunan, dalam waktu relatif singkat pengikutnya sudah tersebar hingga ke Madiun.

“Pada tahun 1970-an banyak yang ingin masuk ke tuntunan, hingga kami pada akhirnya membentuk suatu paguyuban tepatnya pada 9 April 1975 yang diberi nama Aku Sejatimu. Nama tersebut berdasarkan hasil musyawarah para kadang. Bapak Suyud dikukuhkan sebagai pinisepuh pusat dan saat ini dilanjutkan oleh Bapak Feri Kusbiantoro selaku penasehat Aku Sejatimu hingga sekarang,” jelas Eny.

Paguyuban yang berpusat di Kediri ini memiliki lambang yang berisi lima penjelasan makna. Pertama, lima lingkar manunggal satu wadah menunjukkan keimanan menuju tawakal atau garis kehendak Tuhan YME. Kedua, ujud dari lima lingkaran dibuktikan dengan suatu gunung menunjukkan kekuatan lahir dan batin. Ketiga, kekuatan lahir dan batin menuju kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Keempat, titik dari dua lingkaran sesuatu yang sama membuktikan garis kekuasaan Tuhan dinyatakan pada manusia yang sempurna. Kelima, dua sayap yang membawa lima lingkaran manunggal dengan keseimbangan menuju keadilan.

Dalam menjalankan ritual, pengikut Aku Sejatimu memiliki tempat khusus berupa sanggar. Mereka memiliki dua sanggar, yang satu digunakan untuk ibadah dan satunya lagi untuk pertemuan. Tempat ibadah khusus dipakai untuk berdoa memohon kepada Tuhan dengan ajaran-ajaran yang dimiliki seperti penyerahan diri, bertekuk lutut, pengampunan, dan permohonan.
“Oleh masyarakat sekitar bisa diterima karena kita sendiri melakukannya secara hening dan kusyuk dalam menghadap kepada Tuhan sehingga tidak menimbulkan keramaian. Tidak ada ritual khusus yang menimbulkan gejolak di masyarakat,” ujarnya.

Mengenai hak-hak sipil, Eny berujar bahwa seperti di kolom KTP, mereka sudah difasilitasi untuk memiliki identitas sebagai penganut kepercayaan. Namun untuk pemakaman bagi warga Aku Sejatimu yang meninggal, sejauh ini mereka masih dimakamkan di pemakaman umum bersama penganut agama lain seperti Islam, Kristen, Hindu, maupun Budha.

Masih dalam acara sama, Sukma Dewi Nawang Wulan yang juga merupakan anggota Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia menyampaikan materi tentang Paguyuban Medal Urip. Paguyuban tersebut awalnya merupakan perkumpulan yang awalnya bernama Persatuan Pencak Silat Nasional pada tahun 1967. Namun setelahnya terjadi kevakuman hingga dibuka kembali pada tahun 1985. Perkumpulan kemudian memiliki nama baru yakni Paguyuban Medal Urip yang dipimpin oleh Wito Stepanoes di Desa Wanasari, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Sukma mengungkapkan, landasan utama ajaran Paguyuban Medal Urip adalah kejujuran, di mana semakin kejujuran ditingkatkan maka semakin dekat manusia dengan Tuhan. Semakin banyak meninggalkan perbuatan yang tidak baik, maka manusia akan semakin bersih.

Dalam ajarannya, ada laku puasa weton yakni puasa setiap hari lahir untuk mengingatkan manusia bahwa manusia dilahirkan ke dunia adalah berkat orang tua. Oleh karena itu, syarat utama sebelum melakukan puasa weton adalah minta maaf kepada kedua orang tua dan wajib melakukan sungkem.

“Ajaran kami banyak menggunakan lisan dalam penyampaiannya. Maka dari itu kami sangat percaya bahwa di hari pasaran kliwon, sesepuh kami dalam memberi wejangan menjadi tidak gampang untuk dilupakan,” ujarnya.

Selain itu juga ada ajaran seperti olah kanuragan yang berjumlah sebelas jurus. Jurus tersebut mengingatkan dari mana manusia diciptakan sampai Tuhan memberi kehidupan lahir ke dunia. Para pengikut paguyuban juga percaya akan adanya karma. Karma yang baik dan tidak baik semua itu akan berimbas kepada diri sendiri seperti dalam peribahasa jawa ‘ngunduh wohing pakarti’.

“Untuk kami warga Medal Urip, bahwa setiap kejadian baik buruknya tetap menyalahkan kami sendiri. Setiap kami mendapatkan musibah atau hal-hal tidak baik, kita selalu melihat ke belakang. Apa yang pernah saya lakukan sampai terjadi seperti ini. Itu di organisasi kami seperti itu,” imbuhnya.

Paguyuban Medal Urip mempunyai ritual atau sembahyang dengan semedi. Caranya adalah duduk bersila dengan sikap tangan menutupi kemaluan, tangan kanan berada di atas tangan kiri sampai tenang. Sebelum membaca doa, tangan kanan mengetuk bumi sebanyak tiga kali. Setelah itu sikap menyembah untuk menyebutkan nama Gusti, Ibu Bumi, Romo Langit, dan para leluhur masih dalam sikap menyembah. Setelah selesai memuji nama Gusti turunkan tangan kembali seperti sikap semula, lalu menyebutkan doa permintaan pribadi sampai selesai.

“Biasanya kami lakukan tidak ada waktu penentuannya. Ada yang cuma sepuluh menit, ada yang berjam-jam tergantung apa yang dia minta dan kenyamanannya. Dalam ritual kami juga tidak ada pakaian khusus yang penting bersih, rapi, dan menggunakan bahasa kita sehari-hari,” pungkasnya. (FTL/ed: And)