Jakarta – Humas BRIN. Peneliti Madya bidang Antropologi BRIN, Dr. Dedi Supriadi memperlihatkan gambar bentuk kapal dari pelaut Indonesia zaman dulu. Banyaknya kemiripan bentuknya dari Makassar, Madura, hingga Sumatera. Hal tersebut dijabarkan dalam simposium bertajuk “Pulau dan Perahu, Islands and Boats: Encounters and Mobilities within Maritime Southeast Asia and Indigenous Australia”. Symposium ini memasuki hari ke-dua, Kamis (20/10), di mana acara ini diselenggarakan dari hari Rabu (19/10). Dalam paparannya, Dedi mengangkat judul “Three Centuries of the Shared Trepang Heritage of Indonesia and Australia: Perspectives from the field”.

Dedi menjabarkan bahwa nelayan Indonesia telah menangkap ikan di tempat yang saat ini dianggap sebagai Australian Fishing Zone (AFZ) selama tiga abad, atau bahkan lebih. Memperhatikan bahwa latihan telah dilakukan selama tiga ratus rentang waktu tahun, praktek ini layak dipertimbangkan sebagai warisan. Dan kita juga harus menekankan bahwa ini bukan warisan sejarah, hal tersebut adalah warisan yang sangat hidup. Selanjutnya, meskipun Indonesia dan Australia melihat praktik ini lebih sebagai kegiatan penangkapan ikan lintas batas, Dedi melakukan pengamatan dan pembicaraan dengan nelayan di darat dan di laut mengungkapkan bahwa bagi mereka, praktik ini adalah bukan sekedar kegiatan memancing. Ini adalah kehidupan (sosial budaya) dan mata pencaharian mereka. “Bagi sebagian orang, memancing di AFZ adalah kisah nenek moyang mereka yang menjalin hubungan dekat dengan wilayah itu jauh sebelum keberadaan negara modern Australia dan Indonesia,” tegas Dedi.

Bagi mereka, berlayar dan memancing ke selatan juga tindakan mengikuti jalan nenek moyang mereka. Selain itu, berlayar dan memancing di AFZ adalah cara bagi mereka untuk menopang mata pencaharian keluarga mereka, untuk mendapatkan uang untuk menutupi semua pengeluaran keluarga mereka. Dedi menambahkan bahwa mereka selalu menemukan cara untuk berlayar ke selatan, beradaptasi dengan kebijakan kedua pemerintah atau melintasi perbatasan secara ilegal.

Sesi pertama pada hari kedua ini dimoderatori oleh Dr Lily Yulianti Farid, dari Global Encounters (GEM). Pembicara diantaranya Dr. Rebecca Mirams, dari Museum and Art Gallery of the Northern Territory dengan judul “Remembering and commemorating encounters and engagements”. Peristiwa bersejarah yang membentuk hubungan Northern Territory (wilayah federal Australia yang berada di utara bagian tengah Australia) dengan kepulauan di Asia Tenggara termasuk navigasi Eropa, industri teripang Makassar, pendudukan Inggris melalui serangkaian garnisun dan koloni, dan imigrasi Cina semuanya terjadi di daratan dan lautan bangsa-bangsa pertama. Makalah yang disajikan Rebecca mencakup aspek disertasinya yang berfokus pada sejarah perkembangan Northern Territory sebagai lanskap budaya yang terhubung dengan Kepulauan di Asia Tenggara hingga tahun 1911.

Setelah Rebecca, paparan selanjutnya dari Fikri Yathir, dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta dengan judul “Museums as a Living Storyteller”. Menurut Fikri, bahwa museum dapat menjadi pendongeng hidup yang menceritakan kisah tentang beberapa fenomena tertentu yang terjadi di masa lampau atau yang lebih baru. Dengan demikian, sebagai pendongeng yang hidup, museum memiliki perspektif yang unik atau tidak begitu unik dalam menceritakan kembali atau mereproduksi cerita dan dapat memicu percakapan baru tentang ide-ide yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh pikiran umum.

Dilanjutkan tema yang diangkat adalah ”THE LOST MACASSAN” an Art Installation and Participatory Art Project Inspired by the History of Maritime-cultural Relations between Makassar and Northern Australia oleh Nurabdiansyah dari Universitas Negeri Makassar. “The Lost Macassan” adalah proyek seni partisipatif yang terinspirasi oleh sejarah hubungan maritim antara Makassar dan Australia Utara. Instalasi seni ini mengadopsi metafora dalam representasi visual berbasis pada studi semiotik. Proyek seni partisipatif diwujudkan melalui keterlibatan langsung para masyarakat dan mahasiswa dalam penelitian dan penciptaan karya seni. Tim Nurabdiansyah mempresentasikan seni instalasi sebagai rekonstruksi perahu padewakang yang setengah tenggelam. Proyek seni partisipatif adalah diwujudkan melalui keterlibatan masyarakat dan mahasiswa dalam membangun instalasi seni, seperti mengumpulkan bahan, merancang bentuk karya seni, memasang struktur, dan mendokumentasikan pameran.

Sesi kedua dimoderatori oleh Professor Ian McNiven, Monash Indigenous Studies Centre. Paparan pertama oleh Abdi Karya, seorang sutradara dan aktor yang memaparkan makalahnya berjudul “The Pots revealed under the sand dune and the sail hung high: Yolŋu-Macassan

Project at the 10th Asia Pacific Triennial at QAGOMA”. Dilanjutkan oleh peneliti BRIN Sonny C. Wibisono yang memaparkan judul “Islands, People, Exchange, and Boat ancestor : an Archaeological Remnant of Pulau Tujuh, Natuna”. Tulisan Sonny berfokus pada Pulau Bunguran, salah satu pulau terbesar di Natuna. Ternyata, sebelum budaya melayu pulau-pulau ini cukup lama berpenghuni, ada bahkan menjadi bukti aktifnya aktivitas penduduk lokal dalam perdagangan internasional, seperti melimpahnya bukti penemuan keramik Cina pada abad 10-16. Salah satu yang menjadi perhatian Sonny adalah penemuan kuburan perahu yang dianggap mewakili generasi manusia laut yang pernah mendiami pulau-pulau ini. Sonny berharap dapat menyajikan rekonstruksi dan cara hidup permukiman. Sementara itu, perbandingan dengan beberapa pulau lain di Asia Tenggara diharapkan dapat memberikan gambar daerah.

Paparan dilanjutkan oleh Asia Ramli Prapanca, dari Universitas Negeri Makassar dengan judul “Re-Encounter The Brotherhood and Love Story an The Eyes Of Marege, An Indonesian-Australia Theatre Collaboration Project”. Sesi penutup membahas mengenai “Perdagangan Maritim, Budaya dan Kepercayaan”, sesi ini dimoderatori oleh Suribidani Samad dari BRIN. Makalah yang disajikan adalah “Islam and Maritime Culture: Religion of Torosiaje’s Bajo” oleh Deni Hamdani, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lalu dilanjutkan paparan makalah berjudul “Salt and its Social-Cultural Implications: Inter-ethnic Relations, Maritim Routes, and Madurese Diaspora in Indonesia” oleh Imam Syafi’i dari Pusat Riset Politik BRIN yang berkolaborasi dengan Dr. Dedi. Sesi ini ditutup dengan paparan “Boats amongst Tourism and Trading Sectors in Komodo Island, Indonesia” Laras Aridhini, peraih beasiswa independen. Diskusi ditutup dengan tema “Encounters, Mobilities, Reflections and Futures” yang digawangi oleh Prof. Lynette Russell, Dr. Lily Yulianti Farid, Dr. Leonie Stevens, Dr. Leigh T.I. Penman, Dr. David Haworth, Global Encounters Monash (GEM); Prof. Ian J. McNiven, Monash Indigenous Studies Centre, dan tentunya para peneliti BRIN yang hadir di Auditorium Widya Graha, BRIN Jakarta. (SGD)