Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) BRIN, secara rutin menggelar Forum Diskusi Budaya (FDB). FDB kali ini merupakan Seri ke-47 yang dilaksanakan pada Senin (24/10), dengan mengangkat tema “Ras, Kuasa dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda”. Tema ini merupakan sebuah judul buku yang ditulis oleh Peter Carey.

Diskusi ini diharapkan dapat dilakukan secara mendalam, untuk membuka mata terus-menerus dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman bahayanya penyalahgunaan ilmu pengetahuan untuk kekuasaan. Dan pesan ini perlu kita gaungkan dalam proses restrukturisasi serta reformasi yang sedang dilakukan di BRIN. Demikian disampaikan Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Lilis Mulyani, dalam sambutan pembuka.

Peter Carey memiliki karya-karya yang luar biasa dan inspiratif bagi para peneliti khususnya di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) BRIN dan di Indonesia pada umumnya. Lilis berpendapat bahwa Peter Carey adalah penulis yang produktif dan selalu memberikan karya bernuansa baru dan memberikan pengetahuan yang terbaru.

BRIN sangat beruntung bisa duduk bersama dengan Peter Carey dalam mengupas buku Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda. “Tema yang dibahas ini cukup menarik, karena berisi tema-tema ilmu pengetahuan yang saling beririsan bahkan berhubungan dengan politik dan kekuasaan,” ungkap Lilis.

Lilis menambahkan bahwa benar Ilmu pengetahuan itu tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Buku Peter Carey ini menjadi salah satu bukti bahwa ilmu pengetahuan seringkali menjadi tidak netral dan digunakan oleh pemilik kekuasaan untuk memaksakan pendapatnya berdasarkan pandangan tentang identitas ideal pada kelompok lain.

“Kita menyaksikan sejarah, di mana ilmu pengetahuan menjadi alat legitimasi dan alat untuk melakukan kolonialisasi pada abad 18 sampai 20. Bahkan di beberapa tempat menjadi alat melakukan genosida pada orang-orang dengan identitas tertentu dengan warna kulit, ras, ideologi, dan agama yang berbeda,” ungkapnya lagi.

Peter Carey, Fellow Emeritus, Trinity College, Oxford dan Visiting Professor FIB-UI dalam paparannya mengungkapkan zaman peralihan di tanah Jawa yang mengangkat Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda bak mimpi menjadi kenyataan. Peter mengutip pernyataan Bob Marley (Juni 1980): “Kita harus membebaskan pikiran kita dari pebudakan mental. Karena, sementara orang lain dapat membantu kita membebaskan tubuh kita, tidak ada orang lain selain diri kita sendiri yang dapat membebaskan pikiran kita”.

Peter mengutarakan mimpi menjadi kenyataan lainnya apa yang dikatakan oleh Soekarno pada saat Pidato Kebangsaan 17 Agustus 1966 – merdeka fisik (“membebaskan tubuh kita” dalam kata Garvey) hanya berupa 50 persen. Sisa 50 persen, sisa yang jauh lebih penting adalah “dekolonisasi otak” (membebaskan pikiran kita). “Dekolonisasi cara berpikir yakni membuang cara berpikir berbau kolonial yaitu dekolonisasi cara berpikir sebuah proses yang tidak gampang. Dan ini sebuah pekerjaan yang cukup rumit,” jelas Peter.

Sosok Pangeran Diponegoro sangat menarik sebab dia tidak punya otak yang dikolonisasi. Dalam perang Jawa dikatakan bahwa “saya tidak dihargai dalam bidang bahasa, budaya, kuliner, dan lainnya, tidak ada masalah, akan tetapi kalau dilecehkan itu menjadi lain”. Inilah asal-usul dari perang Jawa.

Lebih lanjut Peter menjelaskan cara berpikir kolonisasi ada unsur fisik dengan membuang gambar Gubernur Hindia Belanda dan mengecat Gedung Istana. Ras dan kolonialisme terjadi sesudah berdirinya Batavia pada Maret 1619. Gubernur Jenderal J.P. Coen mendatangkan atau menunjuk Souw Beng Kong dari Banten untuk bertugas sebagai Kapitan Cina di ibukota kolonial (menjabat 1619-36).

“Belakangan di mana-mana ada pusat perdagangan VOC di sana ada Kapitan atau Litnan Cina, hal ini terlihat bahwa ras anak peranakan mulai muncul,” jelas Peter lagi. Kekuatan bekas penjajan masih terus memegang kekuasaan melalui manajemen asset yang di dapat dari jaman penjajahan. Hal ini meneruskan jurang yang memisahkan antara negara maju dan negara berkembang.

Sementara itu, Thung Ju Lan, Peneliti senior Pusat Riset Masyarakat dan Budaya menyoroti pada tokoh yang sering diangkat dalam bidang sejarah, selalu kita melihatnya dalam proses kemajuan. Ada perubahan berarti ada kemajuan. Tetapi sebenarnya kita lupa bahwa perubahan itu selalu juga diikuti dengan kontinuitas. Menurutnya, Peter Carey menunjukkan sekali bahwa apa yang diubah oleh Raffles dan Denler tidak berarti bahwa tidak ada yang hilang dalam kehidupan kita sebagai masyarakat. “Hanya mereka, seperti tokoh pembaharuan dan tokoh modernitas, tetapi dalam arti kehidupan yang lainnya juga tetap ada,” kata Ju Lan.

Thung Ju Lan mengatakan bahwa ada pendapat lain yang penting mengenai kontruksi sejarah yang berkaitan dengan identitas politik. Di mana kita memperlakukan identitas politik ini seperti manipulatif identitas, tetapi menurutnya tidak, karena berangkat dari cara pandang psikologi, sosial, dan antropologi. “Bahwa setiap manusia itu selalu mempunyai posisi politik di dalam masyarakat ini. Ketika dia membuat apapun, keputusan yang dia lakukan itu tergantung posisinya. Seperti saya sebagai peneliti perempuan itu mempengaruhi cara berpikir saya,” ujarnya. Seringkali kita cenderung menganggap konstruksi sejarah yang ada tokoh itu, kita seringkali melupakan siapa pengarangnya padahal pengarangnya itu dipengaruhi oleh identitas politiknya. “Setiap orang itu mempunya kepentingan-kepentingannya sendiri yang akan dia pergunakan dalam konteks-konteks tertentu,” pungkas Ju Lan. (SUHE/ed: SGD, arial)