Jakarta Humas BRIN. “Ibu Kota Negara (IKN) menjadi tema unggulan mengenai dalam penelitian di Pusat Riset Hukum BRIN,” ujar Kepala Pusat Riset Hukum BRIN Laely Nurhidayah. Pusat Riset Hukum BRIN menyelenggarakan webinar Legal Research Discussion Seri ke-8 dengan tema “A Review of The Relocation of The National Capital in The Perspective on Human Rights”. Webinar diselenggarakan secara daring pada Kamis (24/11).

Laely menambahkan, tentunya mendekati kesibukan tahun politik 2023 dan 2024 penelitian mengenai IKN perlu dipertajam lagi. Laely menekankan para peneliti BRIN perlu melangkah ke penelitian seperti apa yang diperlukan, gap (celah) seperti apa yang bisa disumbangkan untuk melengkapi gap tersebut. Pengalaman para pembicara bisa membuka wawasan para peneliti untuk meneliti lebih detail apa saja yang diperlukan khususnya di IKN ini.

Prasetyo Adhi Nugroho, peneliti BRIN yang pertama berkesempatan memaparkan hasil tinjauannya. Tyo memaparkan mengenai Tinjauan Pemindahan IKN dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Terlibat kajian bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Tyo memaparkan latar belakang, dari Undang-Undang IKN yang dianggap tidak transparan dan minim partisipasi publik, serta dinilai tergesa-gesa. Dalam perspektif HAM, latar belakangnya akses keterbukaan/akuntabilitas dan partisipasi publik dirasa sangat kurang, pelanggaran HAM terkait hak atas tanah, hak lingkungan hidup yang lebih baik, masyarakat adat, pertambangan, dan lain-lain.

Tyo lalu melanjutkan dengan paparan rangkaian kegiatan selama proses penelitian di Kalimantan Timur. Mulai dari proses pengumpulan data, informasi dan fakta yang didapat di lapangan. Dimensi HAM disampaikan Tyo yang meliputi hak sipil politik & hak ekonomi sosial budaya. Di akhir paparan, Tyo menjelaskan kerangka kerja kota IKN dengan visi sebagai kota dunia untuk semua. Visi yang bertujuan utama mewujudkan kota ideal yang dapat menjadi acuan bagi pembangunan dan pengelolaan kota di dunia.

Haris Retno dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman menyampaikan hal senada dengan Tyo. Pemindahan ibu kota negara dalam perspektif hak asasi manusia perlu dikaji lebih mendalam. “Persoalan IKN ini sejak awal direncanakan sudah bermasalah karena aspek pelibatan masyarakat tanpa penuh dan substantif, merencanakan secara sepihak, bersifat top down dan tertutup, padahal partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan merupakan kewajiban,” ujarnya.

Proses legalisasi UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN berlangsung cepat padahal ada UU lain yang menunggak untuk diselesaikan/disahkan. Konsultasi publik yang tertutup dianggap sebagai formalitas dan tertutup. Pembentukan UU IKN mengabaikan fakta bahwa konsultasi publik dan proses pembentukan tidak dilakukan secara layak. Hal tersebut menjadi keprihatinan Haris.

Keberadaan legalisasi IKN semakin menambah beban warga lokal dan ajang ekstraksi (Sumber Daya Alam/SDA) berkelanjutan bagi Kalimantan Timur. Aspek industri juga berdampak kesehatan warga, sebagai contoh eksploitasi emas di Kutai Barat yang tutup pada tahun 2004 hingga sekarang masih menyisakan masalah sosial dan lingkungan. Ekstraksi Batubara di kaltim dan aktivitas ekstraksi SDA sehingga menyebabkan banjir rutin karena aktivitas pertambangan adalah contoh krisis ekologi. Pemindahan IKN memicu peningkatan ekstraksi SDA dan menjadi ancaman bagi masyarakat lokal dan adat (penggusuran). Acara webinar dipandu oleh Ade Angelia dan ditutup dengan tanya jawab bersama dengan narasumber. (SGD)