Humas BRIN – Jakarta. Pusat Riset Kewilayahan (PRW) BRIN menyelenggarakan Webinar on Outer Space and International Law dengan menghadirkan narasumber berkompeten di bidangnya yaitu  Ferechta Paiwand, Mercator Fellowship on International Affairs/ Visiting Fellow at PRW-BRIN dan Runggu Prilia Ardes Peneliti di Divisi Kebijakan Antariksa, Direktorat Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran, Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan (DKP) BRIN, pada Rabu (30/11).

Acara daring ini dibuka oleh Fadjar Ibnu Thufail, Kepala Pusat Riset Kewilayahan, BRIN yang menyampaikan bahwa topik yang akan dibahas oleh kedua narasumber hari ini sangat menarik untuk didiskusikan dan dapat menambah wawasan kita mengenai Hukum Internasional dan Kebijakan Luar Angkasa. Pada sesi paparan pertama, disampaikan oleh Ferechta Paiwand yang membahas mengenai Space for All: Preserving Outer Space as a Global Common. Ferechta mulai menjelaskan dari sejarah, institusi yang menangani urusan luar angkasa, perjanjian, definisi luar angkasa dari beberapa ahli, prinsip dasar hukum ruang angkasa hingga tantangan ke depannya.

Beliau menjelaskan bahwa terdapat kantor PBB urusan luar angkasa yaitu, United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) yang bertugas mempromosikan kerja sama internasional dalam penggunaan dan eksplorasi ruang angkasa secara damai, serta dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Sementara itu, terdapat 6 hal terkait perjanjian hukum antariksa yang juga dibahas Ferechta yaitu, outer space treaty; rescue agreement; liability convention; registration convention dan moon agreement (perjanjian luar angkasa; perjanjian penyelamatan; konvensi kewajiban; konvensi pendaftaran dan perjanjian bulan).

Terkait prinsip dasar hukum ruang angkasa, menurut Ferechta harus mencakup peaceful use and exploration of outer space; free access; no appropriation; rescue and return serta liability of launching states (penggunaan keantariksaan dengan tujuan damai dan eksplorasi luar angkasa; akses bebas; tidak ada alokasi/hak guna tertentu; penyelamatan dan pengembalian serta tanggung jawab negara peluncur wahana antariksa). Beliau menambahkan terkait tantangan ke depannya perlu ada lebih banyak space actor & orbits limited natural resources (publik antariksa dan mengorbit sumber daya alam yang terbatas) serta penanganan sampah antariksa yang semakin banyak karena, berdasarkan data yang diperoleh terdapat sekitar 65.450 objek telah beredar di orbit luar angkasa meliputi satelit dan wahana lainnya.

Narasumber ke-dua, Runggu Prilia Ardes memaparkan mengenai Indonesian Space Act: Towards the Betterment of Indonesia. Runggu banyak membahas mengenai Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Di mana saat ini amanat untuk penyelenggaraan Keantariksaan sudah berada di bawah tanggung jawab BRIN sejak Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) terintegrasi ke dalam BRIN.

Menurut Runggu, UU Keantariksaan memuat semua kewajiban berdasarkan perjanjian antariksa internasional yang telah diratifikasi, meliputi ilmu antariksa, penginderaan jauh, penguasaan teknologi antariksa, peluncuran benda antariksa, commercial space activities, memuat ketentuan tentang spaceports, asuransi dan pendanaan, dan juga peraturan mengenai pelaksanaan: prosedur penginderaan jauh (berlaku), penguasaan teknologi ruang angkasa, pembangunan dan pengoperasian spaceport (bandar antariksa) serta commercial space activities (kegiatan komersial keantariksaan). Runggu juga menjelaskan mengenai Indonesia Space Masterplan 2040 yang meliputi, pertumbuhan industri peluncur dan satelit nasional, pertumbuhan industri dirgantara nasional, national commercial spaceport (bandar antariksa komersial), penguasaan ilmu antariksa dan atmosfer, serta pertumbuhan industri penginderaan jauh nasional. Di akhir paparan, beliau menyampaikan peluang kedepannya, meliputi aspek legal untuk kerjasama lebih lanjut, proyek, ekspansi ke industri dan lainnya, aplikasi ruang angkasa (yaitu penginderaan jauh) diakui dalam peraturan lainnya. Sedangkan tantangan yang mungkin akan muncul yaitu space awareness whether to the public or nationally, export control regime, the vast development of space technology and asian space race (kesadaran keantariksaan baik kepada publik secara luas maupun dalam negeri, rezim kontrol ekspor, perkembangan teknologi antariksa yang pesat dan persaingan keantariksaan di asia). Runggu menambahkan sebagai kesimpulan dari paparannya bahwa Indonesia memandang regulasi sebagai gerbang untuk mendorong kegiatan keantariksaan nasional. Regulasi yang ada saat ini cukup untuk memberikan kepastian hukum bagi kegiatan keantariksaan. Setelah sesi paparan, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. (RPS/ed: SGD)