Jakarta – Humas BRIN. Buku ini merupakan salah satu buku penting sebagai bahan diskusi terkait sejarah di Yogyakarta atau perlawanan kolonialisme. Forum Diskusi Budaya (FDB) memiliki komitmen untuk mengembangkan atau mendiseminasikan gagasan-gagasan baru atau hasil riset baru seperti buku ini. Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN, Dr. Lilis Mulyani dalam sambutannya pada kegiatan webinar Forum Diskusi Budaya Seri 50 dengan tema Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: “Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun, sekitar 1779-1810” di Jakarta, Senin (12/12).

Lilis berpendapat bahwa Raden Ronggo Prawirodirjo III dahulu dianggap salah satu pembelot dan saat ini dianggap sebagai pahlawan. Raden Ronggo Prawirodirjo III merupakan pelopor pertama kali yang melawan kolonial Belanda. Hal ini menarik bagaimana arsip-arsip nasional atau dokumen sejarah itu dapat memperlihatkan fakta-fakta sejarah yang berbeda. Dan ini akan menjadi fakta riset yang dapat dikembangkan, dimana arsip nasional baik yang ada di Indonesia ataupun di Leiden Belanda bisa menjadi bahan sumber sejarah.

Lebih lanjut Lilis mengungkapkan, arsip adalah untuk menemukan fakta-fakta baru yang mungkin berbeda di masa lalu. Dan apa yang dilihat peneliti sekarang dengan apa yang dibaca 10 atau 20 tahun kedepan. PRMB memiliki komitmen yang sangat kuat dalam mendukung terciptanya komunitas akademik, tidak hanya dari sisi ilmu sosial tetapi bisa mencapai ilmu-ilmu lain yang sifatnya multi disiplin. “PRMB sangat terbuka terhadap gagasan-gagasan tema riset yang baru tentunya penting tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk negara,” ungkapnya.

Sementara Akhlis Syamsal Qomar, seorang sejarawan dan penulis buku dalam paparannya mengungkapkan Madiun memiliki sejarah yang sangat panjang sebagai unit administrasi politik dan kekuasaan. Sumber-sumber arkeologis yang ditemukan di wilayah ini menunjukkan bahwa Madiun telah memiliki peradaban politik sejak masa Singosari hingga hari ini.

Akhlis berkata buku ini berisi riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III, Bupati Madiun sekaligus Bupati Wedana Mancanegara Timur di bawah Kesultanan Yogyakarta (1796–1810) yang mengobarkan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Dalam babad autobiografinya yang ditulis dalam pengasingan di Manado pada 1831–1832, Pangeran Diponegoro menganggap Raden Ronggo Prawirodirjo III sebagai suri teladan bagi perjuangannya selama Perang Jawa.

Lebih lanjut Akhlis memaparkan, bahwa rentang waktu yang panjang tersebut menyajikan tidak sedikit kisah dan peristiwa atau ketokohan seseorang. “Salah satu tokoh yang cukup menonjol dalam perjalanan sejarah Madiun khususnya era akhir tatanan lama Jawa adalah Raden Ronggo Prawirodirjo III,” ucapnya. Raden Ronggo Prawirodirjo III adalah seorang putra Madiun yang lahir pada sekitar 1779. Putra Raden Ronggo Mangundirjo (menjabat antara 1784-1796) sekaligus cucu dari seorang “jawara” (gegedhug) Sukowati bernama Kyai Ronggo Wirosentiko. Melalui ibunya, Raden Ronggo Prawirodirjo III masih terhitung sebagai cucu dari Sultan Mangkubumi.

Saiful Hakam, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN berpendapat yang menarik bahwa setelah Raden Ronggo Prawirodirjo III wafat tahun 1810 yang dimakamkan di tempat para pemberontak di Banyusumurup, Yogyakarta. Dan setelah 157 tahun setelah wafat baru dilakukan pemindahan makamnya dari Yogyakarta ke makam istrinya di Madiun. Dalam politik Jawa atau Raja-Raja Jawa zaman dahulu memberikan makam khusus untuk pemberontak.

Hakam menambahkan, ada yang lebih menarik lagi bahwa informasi atau cerita ini di dapat dari abdi dalam keraton Yogyakarta. Para abdi dalem selalu menjaga dan melestarikan budaya. Buku ini menjadikan legitimasi Raden Ronggo Prawirodirjo III menjadi pahlawan lokal sekaligus pahlawan nasional. Dinyatakan sebagai perintis pejuang melawan Belanda oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX tahun 1957 dan dimakamkan kembali di Giripurno, makam permaisuri-nya puteri Sri Sultan Hamengkubuwono II. “Raden Ronggo Prawirodirjo III dianggap sebagai suri tauladan bagi Pangeran Diponegoro, dan ada tiga hal yang menjadi penyebabnya yaitu perubahan praktek feodal seremonial kraton (Sultan harus tunduk pada kolonial), ekonomi (kas pemerintah kolonial yang terbatas maka minta pajak), dan perbatasan (Madiun jadi kambing hitam dengan adanya tekanan di mana adanya kasak-kusuk antara Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta),” pungkasnya. (SUHE/ed: SGD)