Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) mengadakan forum diskusi MLTL episode 37 dengan tema “Perjumpaan Budaya dan Nusantara dalam Manuskrip, Selasa (17/01). Kegiatan ini menghadirkan tiga pembicara yaitu Hendra (Dosen Universitas Buddhi Dharma), Nurni Wahyu Wuryandari (Dosen Universitas Indonesia), dan Sumarno (Peneliti PR MLTL).

Perjumpaan budaya Cina dan Nusantara dalam manuskrip menghasilkan banyaknya akulturasi dan asimilasi, bersifat top-down. Dalam pembahasan kali ini, penyerbukan budaya dilihat dari sisi manuskrip. Contohnya temuan-temuan arkeologi yang sudah berlangsung lama. Pada dasarnya, manusia hidup sekarang ini karena ada perjumpaan budaya pada masa lalu. Seperti halnya dalam manuskrip yang berbicara tentang keseharian komunitas cina yang punya label tertentu.

Orang Tionghoa peranakan zaman dulu di kenal dengan Cina Benteng, perkawinan antara orang Tionghoa dengan warga pribumi lokal. Walaupun orang Cina, Cina Benteng tidak pernah pergi ke negeri Cina dan tidak bisa Bahasa Mandarin. Cina Benteng kaya akan budaya dan masih memegang teguh tradisi dan budaya Tiongkok yang diturunkan dari nenek moyang dan leluhur. Namun banyak yang tidak mengerti dan tidak memahami makna filosofis dari semua urutan-urutan tradisi dan budayanya.

Dituturkan Hendra, sejarah perjalanan masyarakat Tiongkok datang ke nusantara, khususnya sampai di Tangerang tidak lepas dari kiprah Laksamana Cheng Ho. Ia adalah orang Tionghoa yang tinggal di sekitaran benteng Belanda. Pada masa itu disebut dengan istilah Cina Benteng. Sedangkan orang Tionghoa yang berada di wilayah utara Tangerang disebut “Cina Ulu”. Lalu orang Tionghoa yang di wilayah selatan disebut “Cina Udik”.

Lalu kapan dan di mana perjumpaan Cina-Jawa pertama kali? Kapan Cina datang ke Jawa? Menurut sejarah tercatat, pada masa pemerintahan tahun ke-6 (131 M) Kaisar Yongjian, disebutkan bahwa Raja Yediao (Jawa) bernama Bian mengirim utusan untuk memberi sesembahan ke Cina. sebagai balasan, kaisar menghadiahinya stempel emas kekaisaran dan pita berwarna ungu. Dari catatan sejarah, terdapat lima poin yang bisa dipelajari, yaitu perhatian pada ajaran agama, posisi geografis negara yang dikunjungi, budaya dan adat istiadat, kekayaan alam, serta hubungan dagang.

Sementara, Nurni mengutarakan manfaat catatan negara asing dalam manuskrip Cina. Bagi Tiongkok, hal itu menjadi sumber pengetahuan mengenai negeri asing untuk diketahui informasinya dari posisi geografis, adat istiadat, kekayaan alam, dan lainnya. Tapi bagi Indonesia, ini menjadi sumber materi untuk membuka kajian tidak hanya bagi sinolog, tetapi juga kajian kolaborasi dengan para arkeolog, sejarahwan, dan peminat kebahasaan. Hasil dari kajiannya dapat memperkaya catatan sejarah nusantara.

Dalam paparannya, Sumarno menjelaskan tentang jejak sastra cina dalam manuskrip jawa. Menurutnya, peradaban bangsa cina sudah ada sejak ribuan tahun. Hal itu ditandai dengan adanya penemuan yang merupakan tanda awal mula sastra cina lahir yang telah berumur lebih dari 3400 tahun. Sementara, Sumarno bercerita, lahirnya ahli filsafat di Cina berpengaruh terhadap karya-karya yang telah lahir pada masa itu. Ia juga mengungkapkan, kisah peradaban cina hasil karya-karyanya banyak dijumpai tentang ajaran agama budha mengenai cara berfikir, berpolitik, serta belajar literatrur, filosofi, dan ilmu pengobatan Cina.

Karya sastra adalah cerminan kondisi sosisal masyarakat yang mempengaruhi seseorang di tempat yang baru. Orang Cina menyampaikan karya sastranya dalam bentuk bahasa cina dengan disesuaikan bahasa tempat tinggal. Sastra Cina dalam manuskrip Jawa dapat ditemukan di berbagai perpustakaan, di antaranya reksapustaka mangkunegaran surakarta, radyapustaka surakarta, sonnobudoyo yogyakarta, dan fasilitas ilmu budaya Universitas Indonesia Jakarta. Sastra cina dalam manuskrip jawa memiliki nilai lebih. Ini bukti nyata bahwa bangsa cina sangat menghormati leluhur mereka namun tidak menimbulkan konflik dengan budaya setempat. (ANS/Ed: And)