Jakarta – Humas BRIN. BRIN melalui Pusat Riset (PR) Politik, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) kembali menyelenggarakan rangkaian workshop “Strategi Pemberdayaan Pengungsi di Indonesia Sebagai Solusi Peningkatan Penerimaan Negara Ketiga”. Selasa (18/04), pada seri ke-4 ini mengusung tema “Peran Dunia Usaha dalam Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia”.

Workshop ini terselenggara atas kerja sama BRIN dengan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) – Kementerian Hukum dan HAM, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), International Organization for Migration (IOM), Jesuit Refugee Services (JRS), dan Resilience Development Initiative Urban Refugee Research Group (RDI-UREF). Tujuannya untuk melihat peran dunia usaha dalam pemberdayaan pengungsi luar negeri di Indonesia, termasuk tantangan dan hambatan yang dihadapi. Selain itu, terkait juga dengan urgensi livelihood bagi pengungsi dan bagaimana model pemberdayaannya untuk meningkatkan peluang dan solusi ke negara ketiga.

Acara yang berlangsung secara daring ini dipandu moderator Fuat Kurniawan, selaku peneliti Pusat Riset (PR) Kependudukan. Narasumber yang turut hadir yaitu M. Abie Zaidannas Suhud (Direktur Utama PT. Pameo Solusi Indonesia), Tabrizon (Kepala Bengkel Toyota Agung, Tanjung Pinang), Ibnu Jutasa (General Manager Hypermart Lippo Plaza Kupang), dan Tamara Dewi Gondo (Liberty Society).

Kondisi pengungsi di Indonesia hingga saat ini masih berlarut-larut dalam ketidakpastian. Hal ini akan membuat para pengungsi semakin lama berada di Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan terhadap pengungsi untuk bekal ke negara ketiga. Pemberdayaan pengungsi penting dilakukan sebagai upaya membangun kemampuan para pengungsi untuk bertahan, berdaya atas dirinya dan mandiri/ tidak tergantung dengan orang lain. Sekaligus menjaga kehormatan/ dignity-nya sebagai manusia.

Melibatkan Pengungsi melalui Magang Kerja
Ada contoh pemberdayaan pengungsi oleh perusahaan bidang bisnis retail dan makanan di Kupang yang dilakukan melalui proses pemagangan. Proses tersebut dapat dilakukan atas izin Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta pihak terkait lainnya. Para pengungsi dibekali ilmu bisnis retail secara keseluruhan. Beberapa materi yang diajarkan berupa pengenalan dasar retail, marketing, mengolah bahan hingga general cleaning dan K3 (Keselamatan, Keamanan dan Kesehatan Kerja).

Pada praktiknya, walaupun terdapat tantangan berupa perbedaan bahasa dan budaya, namun hal tersebut tidak menjadi hambatan yang berarti. Para pengungsi tetap antusias dan serius pada setiap hal yang diajarkan selama magang. Bahkan mereka memiliki interaksi yang baik dengan karyawan maupun masyarakat sekitar meskipun harus menggunakan bahasa inggris atau body language lainnya.

Industri kreatif memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2021, industri kreatif menyumbangkan 7% GDP/ Rp. 1,134 T bagi Indonesia. Oleh karena itu, industri kreatif digital adalah industri yang memiliki cakupan yang luas dan banyak peluang yang ditawarkan. Hal penting yang dibutuhkan dalam industri kreatif ialah kreativitas dan digital skill. Dalam industri ini memungkinkan seseorang dapat bekerja dengan siapapun dan dari manapun. Oleh karena itu, industri ini menjadi peluang besar bagi para pengungsi untuk dapat bekerja di dalamnya.

Salah satu contoh pemberdayaan pengungsi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan studio kreatif digital di Indonesia yaitu melalui program magang. Bedanya dengan contoh pemagangan pada bisnis retail dan makanan sebelumnya ialah, magang pada industri kreatif digital dapat dilakukan secara daring dan pekerjaan dapat dilakukan secara remote. Beberapa program magangnya berupa pelatihan grafik desain dan web development.

Walaupun dilakukan secara daring, program pemagangan ini juga mengalami tantangan dalam hal perbedaan bahasa dan budaya seperti pada contoh bisnis sebelumnya, namun tidak terlalu besar. Tantangan lainnya, adanya perbedaan umur (lebih kepada perbedaan fase hidup contohnya, adanya pengungsi dewasa yang harus bekerja sambil mengurus anak). Selain itu, kemampuan yang cocok/ sesuai dengan pasar (terkait perbedaan selera/ trend/ style/ rasa/ ego atas desain dari desainer dan perminaan klien) menjadi tantangan yang harus dihadapi lainnya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh adanya perbedaan budaya dari pengungsi sebagai desainer dan budaya klien (permintaan pasar di Indonesia).

Contoh pemberdayaan lainnya dari perusahaan bidang bisnis otomotif dan pemeliharaannya di daerah Tanjung Pinang. Programnya tidak jauh berbeda dengan bisnis retail dan makanan. Pemberdayaan dilakukan melalui kegiatan pemagangan atas izin dinas dan pihak terkait. Namun kali ini materi yang diajarkan berupa teori dasar otomotif dan praktiknya seperti praktik langsung di bengkel untuk meningkatkan kemampuan di lapangan.

Pemberdayaan pengungsi melalui pemagangan ini baru pertama kali dilakukan. Maka tantangannya, perlunya kejelasan terlebih dahulu terkait pertanggungjawaban atas para pengungsi dan program magang yang akan diberikan. Selain itu, terkait juga formula program magang yang harus dikontrol, dimonitor, dan dievaluasi setiap pekerjaannya oleh perusahaan secara langsung. Berbeda dengan magang anak SMK yang dievaluasi oleh sekolah.

Sedangkan hambatannya yaitu adaptasi lingkungan kerja, budaya, dan tradisi tempat kerja. Dalam hal bahasa saat ini tidak terdapat hambatan karena pengungsi sudah dapat berbahasa Indonesia.

Pengungsi Dilibatkan dalam Daur Ulang Sampah
Salah satu perusahaan enterprise di bidang busana dan kecantikan juga membantu para pengungsi agar dapat mendapatkan tujuan hidup dan martabat mereka melalui livelihood generation (mendapatkan penghasilan). Perusahaan menggunakan bisnisnya untuk menyediakan barang dan hadiah eco-corporate dengan memberdayakan pengungsi perempuan agar dapat keluar dari kemiskinan. Caranya, dengan melakukan upcycling sampah menjadi barang, hadiah maupun jasa yang baru. Mereka bekerja sama dengan 15 artisans di seluruh Indonesia untuk menjual hasil barang-barang produksi para pengungsi kepada perusahaan sebagai internal merchandising perusahaan tersebut.

10% profit yang didapatkan dari penjualan barang-barang tersebut dipergunakan kembali untuk “House of Freedom” dalam usaha pemberdayaan masyarakat terpinggirkan melalui program pelatihan perusahaan tersebut. Perusahaan sudah berhasil melatih 100 orang pengungsi dengan beberapa topik training, di antaranya entrepreneurship, financial literacy, marketing, product development, dan tailoring.

Tantangan yang harus dihadapi ialah terkait bahasa, budaya, serta kesejahteraan para pengungsi yang kesulitan hidup di Indonesia. Hal itu lantaran berbagai aturan dll, regulasi, serta mindset masyarakat terkait pengungsi.

Beberapa peluang yang muncul meliputi pemberdayaan CSR untuk penghidupan yang berkelanjutan seiring dengan banyaknya perusahaan yang semakin aware terhadap para pengungsi, serta regulasi pemerintah yang memberikan akses bagi para pengungsi untuk bekerja dan kolaborasi dengan pemerintah. Hal itu untuk mendukung para pengungsi melalui pusat pelatihan, dll.

Selama magang, pengungsi diperlakukan seperti karyawan lainnya. Mereka mengikuti aturan yang ada bahkan diajak mengikuti kegiatan tertentu bersama karyawan lainnya. Hal ini agar pengungsi nyaman bekerja dan mampu beradaptasi dengan baik.

Untuk mencapai proses adaptasi yang lebih baik dan membuka kesempatan pemberdayaan yang lebih luas, para pengungsi dapat meningkatkan penguasaan bahasa dan pemahaman budaya Indonesia. Sehingga, proses adaptasi masyarakat lokal dengan para pengungsi (termasuk budaya asing pengungsi) yang mampu menguasai bahasa indonesia dapat berlangsung secara natural dan terukur.

Banyak hal positif yang dapat diperoleh negara dan masyarakat selain bagi para pengungsi itu sendiri, dari proses training maupun internship para pengungsi. Salah satu faktor keuntungannya, mereduksi tantangan penguasaan bahasa dan pemahaman budaya. Misalnya, turunnya potensi ketidakharmonisan sosial karena perbedaan budaya dan bahasa antara masyarakat dan para pengungsi.

Hal itu dapat memunculkan peluang kerja sama trans nasional jika pengungsi berdaya sudah berada di negara ketiga/ kembali ke negara asal. Hal ini memunculkan keterkaitan dengan masalah ekonomi, sosial bahkan budaya. Selain itu, apabila hak asasi pengungsi yang terpenuhi dengan baik, maka dapat memunculkan peluang bagi para pengungsi untuk menjadi anggota masyarakat yang lebih kontributif.

Di sisi lain, melalui internship juga dapat menjadi entry poin untuk menguji apakah masyarakat bergejolak saat pengungsi mendapatkan akses pemberdayaan.

Perlu UU Khusus Mengatur Status Pengungsi
Walaupun Indonesia bukan negara yang meratifikasi konferensi pengungsi atau protokolnya tetapi Indonesia juga terikat pada hukum-hukum internasional dan nasional lainnya. Contohnya, human right dan konstitusi negara. Sehingga, membuat Indonesia perlu memberikan proteksi pada pengungsi. Perlindungannya bukan hanya terkait perlindungan dari ancaman pembunuhan tetapi juga pemenuhan HAM, salah satunya hak untuk mencari penghidupan, mendapat akses pendidikan, dll.

Idealnya memang ada UU khusus terkait status pengungsi, tetapi kita harus realistis bahwa pembuatan UU tidak hanya membutuhkan waktu tetapi juga momentum dan alasan-alasan khusus. Kita tidak bisa menunggu dan membiarkan Indonesia yang telah meratifikasi Human Right membiarkan pengungsi begitu saja karena tidak ada UU. Kita dapat malakukan proteksi melalui produk hukum lainnya seperti Perpres No. 125 tahun 2016.

Tujuan akhirnya ialah bagaimana mencapai diversity dan inklusifitas. Harapannya agar para pengungsi setelah mendapatkan beragam training dapat kembali ke komunitas dan membuat ekosistem sendiri (mandiri untuk komunitas mereka). Selain itu, satu hal yang menjadi tugas kita bersama ialah terkait kejelasan regulasi atas pertanggungjawaban status pengungsi yang bekerja/magang di Indonesia. (RPS/ ed:And)