Jakarta – Humas BRIN. BRIN bekerja sama dengan American Bar Association Rule of Law Initiative (ABA ROLI) berdiskusi untuk topik pembahasan tentang kasus kekerasan seksual. Diskusi ini diangkat dalam kegiatan Legal Research Discussion (LRD) Seri 12 bertajuk ”Meneropong Kasus Kekerasan Seksual di Dunia Kerja: Kajian Tentang Pencarian Keadilan dan Pemaknaan Putusan Pengadilan di Indonesia”, Kamis (27/04).

Dalam sambutan pembuka, Kepala PR Hukum, Laely Nurhidayah mengatakan, kegiatan ini sebagai ajang diskusi bagi para sivitas peneliti tentang kasus kekerasan terhadap kaum perempuan dalam pencarian keadilan di wilayah NKRI. “Untuk mengupayakan hal tersebut, maka perlu diperdalam melalui kajian penelitian, bahkan diselenggarakan seminar untuk mempertajam hasilnya. Ini tentunya akan menghadirkan para pakar hukum,” jelasnya.

Laely juga menyampaikan, terhadap kerja sama ini, ABA ROLI memberi kesempatan untuk melakukan kajian penelitian tentang dampak kasus kekerasan seksual di dunia kerja bagi kaum perempuan.

Kegiatan yang dimotori oleh Pusat Riset Hukum (PR Hukum), Organisasi Organisasi Riset Ilmu Sosial dan Humaniora ( OR ISPH) ini dipandu moderator Temi Indriati Midranda, Peneliti Pusat Riset Kependudukan. Diskusi ini menghadirkan narasumber Alimatul Qibtiyah (Komisioner Komnas Perempuan & Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Budi Suharyanto (Peneliti PR Hukum).

Dalam paparannya, Budi Suharyanto menjelaskan penelitiannya dengan ouput naskah kebijakan. Ia menjelaskan latar belakang penelitiannya tentang kekhususan regulasi TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dalam undang undang. ”TPKS diatur secara khusus yang tertuang di dalam KUHP. Ini tentunya memiliki alasan dasar yuridis,” katanya.

Ia lantas menjabarkan mengenai masalah utama, yaitu tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan. Bahkan istilah kekerasan terhadap perempuan tidak dikenal dalam hukum Indonesia, meski fakta kasus ini marak terungkap di berbagai penjuru Indonesia. Dalam KUHP yang ada pada saat ini, sebagian kasus yang tergolong kekerasan terhadap perempuan memang dijaring dengan pasal pidana umum, seperti kesusilaan, pekosaan, penganiayaan, pembunuhan, dll. Maka diperlukan UU yang berguna untuk memastikan perlindungan bagi setiap warga negara, khususnya perempuan dan anak dari ancaman tindakan kekerasan seksual.

Sementara Alimatul Qibtiyah berharap, agar para peserta diskusi benar – benar memperhatikan dan menganalisis secara yuridis mengenai adanya UU TPKS, baik mulai proses pembentukan, pengesahan, hingga penerapannya. Ia menjelaskan penelitiannya yang menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yang mengedepankan data tidak langsung. Di mana, data yang digunakan diperoleh melalui artikel ilmiah, buku, dan peraturan perundang- undangan.

Dalam diskusi dibahas, setelah menunggu 10 tahun, Undang – Undang (UU) tentang TPKS akhirnya disahkan oleh DPR RI pada Selasa, 12 April 2022. Pengesahan tersebut dilaksanakan dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sejumlah koalisi LSM perempuan dan kalangan aktivis LBH, APIK, dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan.

Hal yang penting di dalam isi UU tersebut yaitu, adanya sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 4 ayat 1. Kekerasan seksual tersebut dijabarkan ke dalam pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perpudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Sedangkan jenis kekerasan seksual diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) yaitu perkosaan, perbuatan cabul, serta persetubuhan terhadap anak. Dijelaskan bahwa perbuatan cabul terhadap anak secara eksplisit memuat kekerasan eksploitasi.

Beberapa kasus tindakan kekerasan seksual pada kaum perempuan bisa terjadi di perusahaan atau instansi, sebagai tempat bekerja. Disahkannya UU TPKS bertujuan untuk mempersempit ruang bagi pelaku dalam melakukan niat kejahatan kekerasan seksual, sekaligus menjadi pencerahan bagi korban kekerasan seksual dibawa ke ranah hukum.

Harapannya, ke depan masyakarat akan lebih bijak dalam memposisikan kaum perempuan dalam hak sebagai kaum perempuan. Maka diharapkan juga, UU TPKS bisa menjadi efek jera dengan berkurangnya tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan. (Bams/ed: And)