Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) kembali menyelenggarakan Forum Diskusi Mingguan pada Selasa (16/05) yang kali ini mengulas buku dengan tema “Indonesia Out of Exile: How Pramoedya’s Buru Quartet Killed A Dictatorship”. Dalam sambutan, Kepala PMB, Lilis Mulyani berkisah, membaca adalah hal untuk meningkatkan pengetahuan. Termasuk pada diskusi kali ini sehingga kita bisa meningkatkan pengetahuan tentang bagaimana sejarah Indonesia terbangun.

Seketika Ia menceritakan pengalaman saat itu, kesan mendalam betapa sulitnya membaca buku karangan Pramudya Ananta Tour, karena masih ada larangan oleh pemerintah. Lilis berkata, buku Pram, biasa disingkat, direduksi secara diam-diam, dan buku ini dapat membuka mata serta mencerahkan pengetahuan bagi pembacanya. “Untuk melihat dari gerakan-gerakan di tahun 90-an, kita dapat membaca buku karangan Pram ini”. Oleh karena, baginya, pertemuan ini untuk menemukan gagasan-gagasan baru dan belajar dari narasumber terkait sejarah Indonesia.

Pembicara yang sekaligus penulis buku yang dibedah kali ini yaitu Max Lane, seorang penulis buku dari Australia. Dalam paparannya, Max mengutarakan bahwa buku yang dia tulis dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama, Max pernah berjanji kepada Pramudya dan temannya untuk menuliskan sejarah perjuangan tentang mereka. Kedua, ia tertarik dengan seluruh sejarah Indonesia, yang menurutnya, masih ada sejarah yang belum diceritakan secara detail yaitu sejarah orde baru, sejak 1965 atau 1966 hingga 1998.

Lalu Max mengungkapkan, dari wawancara yang baginya sangat panjang dirinya bisa mengumpulkan banyak bahan untuk pembuatan buku tersebut. Ia bisa mengulas cerita perjuangan Pramudya untuk menerbitkan buku dengan menghadapi larangan dari pemerintah yang baginya sangat menarik. ”Hal ini kami tulis sebagai kisah perjuangan yang tidak terlupakan,” ujarnya.

Ia lantas mengungkap lagi, dari seluruh sejarah Indonesia, sejarah yang jarang diperbincangkan adalah sejarah orde baru sejak 1966. Menurut Max, masa 32 tahun itu cukup panjang. ”Apa yang terjadi di periode tahun 1970, 1980, hingga 1990-an ataupun era waktu itu, hal itu yang menjadi cikal bakal Indonesia sekarang,” tuturnya. Menurut pendapat Max, pada periode tahun 1945 sampai 1965 masih termasuk kategori mencari arah jalan. Lantas ia menjelaskan, Belanda pergi dari Indonesia tahun 1950, kemudian 15 tahun setelahnya masih mencari jalan. Sedangkan 32 tahun merupakan masa konsolidasi.

Lebih lanjut Max menyampaikan, di dalam bukunya tidak banyak membahas analisis politik. Hal itu ditunjukkan saja dengan makna bagaimana adanya kontradiksi dan kebangkitan Indonesia. Max memberikan kritikan di mana pemuda Indonesia lebih memahami filsafat Yunani dibandingkan wisdem-wisdem leluhur Indonesia. Ia juga mengulas, di Amerika, siswa sudah hafal tulisan atau pidato George Washington, Jhon F. Kennedy, dan hafal dokumen asli negerinya. Namun perbandingannya, di Indonesia, sekadar sampai pada peringatan aja, tetapi tidak sampai membaca tentang sosok tokoh yang diperingati sejarahnya, seperti contohnya Hari Kartini. Hal ini lah yang menurut Max menjadi kontrakdiksi. (Suhe/ed: And)