Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) berkomitmen untuk selalu mendiseminasikan gagasan tentang ilmu pengetahuan terbaru dengan melakukan berbagai kajian dan diskusi untuk masyarakat dan mitra. Hal tersebut disampaikan Kepala PRMB, Lilis Mulyani, pada Forum Diskusi Budaya (FDB) seri 58 ini yang diselenggarakan daring pada Senin (22/05) dengan topik “Siap Kejut”.
Dalam sambutannya, Lilis menyampaikan terkait sosok pembicara kali ini, di mana tema Siap Kejut diangkat dari Pidato Valekdotori si pembicara sendiri, yaitu Prof. Paschalis Maria Laksono, Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM pada bulan April 2023. “Pidato ini merupakan sebuah bacaan yang sangat kaya tentang cerita budaya, khususnya budaya Jawa. Di dalamnya ada pertukaran gagasan yang disampaikan,’” ungkap Lilis. Karena itu, ia berharap, pidato tersebut harus disebarluaskan lebih banyak lagi.
Menurutnya, sampai saat ini, banyak keterkejutan dengan perubahan atau transformasi. Sementara masih banyak masyarakat yang belum siap dengan disrupsi perubahan. Siap kejut, diharapkan, menjadi salah satu solusi atau jawaban bagaimana kita beradaptasi terhadap perubahan-perubahan itu. Karena ini menjadi salah satu bagian dari sebuah proses bagi masyarakat. “Perubahan itu adalah sesuatu yang pasti dan kita harus selalu bisa beradaptasi terhadapnya,” tegas Lilis.
Laksono, membuka paparan dengan menyampaikan bahwa pidato valekdotori berjudul Siap Kejut dimulai dari mengutip Himne Gajah Mada yang memaknainya dengan istilah “memenuhi panggilan bangsaku”. Himne itu berfungsi untuk menghimpun atau menyemangati hidup berkomunitas khususnya komunitas akademik.
“Komunitas merupakan momen di saat orang mengidentifikasikan perbedaan dan menemukan persamaan di antara sesama. Oleh karena itu komunitas merupakan momen yang terjadi ketika kita berkomunikasi,” beber Laksono. Sehingga, menurutnya, studi kebudayaan semestinya dengan cepat meletakkan isu yang diteliti sebagai fakta komunikasi. Laksono mengimbuhkan, untuk berkomunikasi perlu adanya sikap yang kritis anti latah sehingga kita bisa mandiri dan siap berbudi bahasa.
Selanjutnya ia mengatakan, “Dalam pidato tersebut, saya mendorong perlunya kita sebagai peneliti budaya untuk bisa membangun, membiasakan, membawa ke dalam habitus sehari-hari, serta sikap siap kejut sehingga kita bisa melandaikan tekanan perubahan situasi yang sering tidak bisa kita kendalikan”.
Berbicara khusus tentang antropologi Indonesia, bagi Laksono, hal itu tentang bagaimana orang yang berbeda-beda telah mengembangkan hidup bersama atau berkomunitas secara terorganisir dengan terus mengembangkan dan menggunakan perangkat kebudayaan masing-masing. Sehingga hidupnya mengalir biasa saja, tetapi perlu bergerak bersama mengatasi krisis akulturasi, biasa disebut gerakan pemajuan kebudayaan.
“Sebagai Peneliti sosial humaniora khususnya antropologi, kita mengemban tugas penelitian yang bersifat transformatif. Artinya, bukan sekadar melaporkan orang lain itu seperti apa, bukan sekadar memotret, bahkan bukan mengintai orang lain. Namun lebih sebagai sesama bangsa Indonesia, kita bergerak, berempati dalam suka duka, dan di tengah masyarakat selalu bekerja secara holistik,” jelasnya. Ia harus bisa menghubungkan hal-hal yang kelihatannya tidak berhubungan menjadi suatu konteks yang bisa dipahami. Maka perlu dikembangkan lebih banyak media visual sehingga bisa dilihat semua orang dan mereka bisa mengapresiasi dan berdialog.
Riwanto Tirtosudarmo, seorang peneliti sosial independen selaku pembahas dalam kegiatan ini, membuat teks yang berjudul “PM Laksono Sebuah Antitesa”. Lalu ia berujar, “Pak Laksono adalah orang Jawa yang dibesarkan di pusat kebudayaan Jawa Yogyakarta. Ia memilih antropologi sebagai jalan hidup, melanglang buana di pusat-pusat studi Indonesia, Leyden, Amerika Serikat untuk menemukan kisah jawa, yang kemudian kembali ke Yogyakarta tetap sebagai orang Jawa,” tuturnya membuka diskusi.
Ia lantas berpendapat, “Pak Laksono pensiun pada saat yang tepat, tepat ketika dunia akademia yang dicintainya sedang dalam krisis, baik identitas, makna, dan arah tujuan!” jelas Riswanto. Persoalannya, bagi Riswanto, sebagian besar orang tidak merasakan adanya krisis yang sangat berat sebagai sebuah bangsa. Karena itu merupakan sebuah akumulasi kegagalan dari bangsa dan negeri yang dicintainya dalam membangun sistem pendidikan.
Riswanto mengatakan ada tiga makna penting setelah membaca pidato Sikap Kejut. Makna pertama adalah anti struktur dan flashback. Anti struktur karena dari cerita flashback kita bisa melihat meskipun berada dalam struktur kedinasan. Ia melihat tempatnya bergerak adalah dalam sebuah komunitas yang menurut pendapatnya didasarkan oleh hubungan-hubungan, yang bukan ditentukan oleh hal-hal yang bersifat kedinasan tetapi bersifat informal.
Makna kedua, memaknai antropologi atau ilmu antropologi sebagai ilmu yang eklektik, reflektif, sekaligus holistik. Eklektik karena antropologi selalu bersentuhan hampir dengan seluruh dimensi kehidupan manusia ekonomi, politik, dan sosial. Semua itu harus dikembalikan dalam diri si antropolog secara reflektif. Antropologi juga bersifat holistik karena ada semacam menyatunya subjek dan objek tentang hal lain.
Makna ketiga, tafsir antropologinya tentang hidup dan kehidupan yang penuh dengan kontradiksi dan ambiguitas. Di sinilah judul singkat pidatonya “Siap Kejut” memperoleh maknanya, yaitu sebuah sikap atau cara pandang yang diambil dalam posisinya selaku seorang antropolog. Siap Kejut merepresentasikan keyakinannya, bahwa yang dibutuhkan dalam menghadapi hidup yang penuh perubahan, ambiguitas, serta mengesankan adanya kontradiksi yang tidak lain yaitu rendah hati dan jujur.
Ulil Amri, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN menyampaikan bahasan paparan berjudul “Selamat Bekerja Pak Laksono”. Menurutnya, PM Laksono bukan pensiun tetapi melanjutkan kiprahnya sebagai guru besar di universitas yang baru yaitu universitas kehidupan. Ia berharap Laksono akan terus mengajar, mencerahkan, dan membimbing banyak orang.
Ulil mengungkapkan, Laksono dipandang sebagai individu yaitu menjadi ayah, guru, juga antropolog, dan aktivis yang memberikan dampak positif terhadap sekelilingnya. Menurut pandangannya, Laksono sebagai antropolog mempunyai konsep, mencoba melepaskan diri dari kepentingan kolonial dengan membangun suatu tradisi baru untuk kepentingan pengetahuan, serta membongkar pengetahuan demi kepentingan kemanusiaan atau masyarakat lokal.
Seperti dikutip pada pidato PM Laksono, bahwa ber-antropologi itu berilmu untuk orang lain bukan sekadar tahu tentang orang lain. “Antropologi itu mengajak kita bersiaga, terbuka, mengerti efek simbolisasi kehadiran lain yang mengejutkan,” ucapnya. Jadi, beretnografi atau berantropologi itu menjadi langkah memulai sejarah baru, karena antropologi selalu siap mengadakan apa yang belum ada.
Selanjutnya Ulil mengimbuhkan, “Pak Laksono mewariskan banyak hal kepada kami antropolog- antropolog muda dan sebuah pondasi baru untuk antropologi Indonesia. Dalam pidatonya beliau mengajarkan pentingnya teori, praktik dan transformasi, serta keanekaragaman. Sehingga kita bisa menghargai perbedaan, juga ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan, kedaulatan, serta dekolonialisasi,” pungkasnya. (rsa/ ed:And)