Memahami Eksistensi Perseroan Perorangan dari Berbagai Kajian Dasar Hukum

Memahami Eksistensi Perseroan Perorangan dari Berbagai Kajian Dasar Hukum

Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Hukum (PRH), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan, Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar Legal Research Discussion (LRD) Seri 15 mengenai Eksistensi Perseroan Perseorangan Dalam Cipta Kerja, Kamis (27/07). Acara ini berlangsung secara online dengan narasumber Hendri Donald Lbn Toruan, peneliti senior PRH dan Yetty Komalasari Dewi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Diskusi dipandu oleh moderator Al Araf Assadallah Marzuki.

Kepala PRH, Laely Nurhidayah dalam sambutan pembukaan menyampaikan isu yang akan dibahas yaitu Perseroan Perseorangan. Dijelaskannya, Perseroan Perseorangan yang dapat didirikan oleh perseorangan memang sedang menjadi isu yang mengemuka akhir-akhir ini. ”Semoga melalui diskusi ini dapat memberikan pencerahan bagi kita mengenai bagaimana konsep hukum dan impilikasinya yang selanjutnya akan dijadikan sebuah tulisan oleh Pak Hendri,” harapnya.

Hendri Donald Lbn Toruan dalam paparannya membahas mengenai “Eksistensi PT Perorangan”. Ia membahas mulai dari bentuk-bentuk usaha (civil law dan anglo saxon), Perseroan Terbatas dengan berbagai peraturan dan perubahan peraturannya, serta UU Cipta Kerja khususnya yang mengatur tentang PT Perorangan. Menurutnya, dari bentuk usaha baik dalam system continental (civil law) maupun anglo saxon tidak mengenal usaha Perseroan Perorangan UMKM.

Hendri mengungkap beberapa perubahan peraturan, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diubah menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Bagian Kelima tentang Perseroan Terbatas, yaitu Pasal 109 telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Peseroan Terbatas (PT).

Beberapa di antaranya, berdasarkan ketentuan Pasal 153 A ayat (1) bahwa Perseroan dapat didirikan oleh 1 (satu) orang, asal memenuhi kriteria modal usaha sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (5) PP No. 7 Tahun 2021. Hal ini bertolak belakang dengan UU PT di mana modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham atau sero, sehingga disebut sebagai Perseroan. Paling sedikit 25% dari modal dasar harus disetor penuh. Kemudian, dalam Pasal 153 A ayat (2) bahwa pendirian Perseroan Perorangan tidak perlu dituangkan dalam akta notaris (cukup dengan surat pernyataan pendirian yang didaftarkan secara elektronik ke Kementerian Hukum dan HAM dengan mengisi format isian).

Hendri juga mengatakan dalam kesimpulannya bahwa pemberlakuan prinsip-prinsip hukum dalam doktrin perusahaan hanya dapat diterapkan dalam peraturan UU PT. Karena badan hukum PT merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Sehingga, ”Pemegang saham yang tidak terlibat dalam pengurusan perseroan memiliki tanggung jawab terbatas sesuai prinsip-prinsip hukum dalam doktrin perusahaan yang diaplikasikan ke dalam UU PT,” urainya.

Selain itu, tambahnya, penamaan Perseroan Perorangan juga dinilai kurang tepat karena kata Perseroan diartikan sebagai sero-sero atau saham yang akan diambil atau dibagi oleh para pendiri Perseroan. “Jadi kalau digunakan kata PT Perseroan Perseorangan menurut saya kurang pas,” ujar Hendri.

Sementara, Yetty Komalasari Dewi memaparkan terkait “Eksistensi Perseroan Perseorangan dalam UU Cipta Kerja”. Tema tersebut membahas tentang perubahan definisi PT dan akibatnya serta perbandingan PT Perseorangan. Yetty mengatakan bahwa istilah Perseroan Perseorangan sebenarnya bentuknya PT yang didirikan oleh satu orang. Bagi beberapa orang mungkin ini adalah salah satu hal baru. Karena di Indonesia sendiri sejak Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang basisnya perjanjian menjadi basis yang dipertahankan dalam pendirian PT, yaitu berdasarkan perjanjian 2 orang atau lebih. Padahal di luar negeri pun PT dapat didirikan oleh satu orang.

Secara terminologi, istilah penyebutannya bukan PT Perorangan seperti yang disebut pada UU tetapi yang tepat ialah PT Perseorangan. Karena fokus penekanannya bukan didirikan oleh orang (pendiri badan usaha) tetapi oleh berapa jumlah orang yang mendirikannya. Istilah PT Perseorangan ini akan konsisten dengan istilah hukum yang digunakan pada beberapa yurisdiksi.

Hal lain yang disoroti oleh Yetty yaitu terkait definisi PT yang saat ini ada di dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurutnya unsur dari definisi PT yang sebelumnya termuat dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT jangan dihapus. Unsur tersebut itu harus terpenuhi dan bersifat kumulatif bukan aternatif. Maka PT harus memenuhi unsur yaitu berupa badan hukum, ada persekutuan modal dari dua orang atau lebih dan harus melakukan kegiatan usaha. Modal tersebut terbagi dalam saham, jadi tidak harus terbagi dalam saham-saham.

“Yang paling penting yaitu PT harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam UU PT dan peraturan pelaksanaannya. Tapi kalimat penting ini dihapus,” ujarnya.

Penambahan definisi pada peraturan terbaru sebenarnya untuk melengkapi peraturan UU PT. Tapi karena ada penghapusan kalimat tadi maka memunculkan pertanyaan apakah PT saat ini masih tunduk pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT. “Padahal PT seharusnya tunduk pada UU PT dan peraturan pelaksanaannya. Tidak apa-apa ada peraturan tambahan. Jadi nanti PT tidak hanya tunduk pada UU PT tapi juga pada UU UMKM dan peraturan pelaksanaannya,” tambah Yetti.

Menurut Yetti yang harus diingat bahwa yang diatur khusus hanya tentang PT Perseorangannya saja. Hal-hal yang diatur yaitu mekanisme pendirian, mekanisme permodalan, persyaratan permodalan, persyaratan siapa yang dapat mendirikan, dan formalitas pendiriannya, termasuk laporan keuangannya. Selain hal tersebut, jika ketentuan lainnya tidak ada di UU Cipta Kerja yang mengubah, maka logikanya UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT masih berlaku. Namun karena ada perubahan pada definisi, dalam konteks hukum dan lainnya hal itu berarti membatasi ruang lingkup.

Sebenarnya keinginan Pemerintah untuk memberikan atau mengakomodir PT yang didirikan oleh satu orang adalah dalam rangka fleksibilitas. Hal ini untuk memberikan ruang agar UMKM mampu berkompetisi. Yang menjadi masalah adalah karena adanya ketidakhatihatian yang berimplikasi terhadap hukum. “Saya sebenarnya menghargai atau sangat mendukung adanya pengakomodiran pendirian PT oleh satu orang. Berarti saat ini jika bicara PT ada dua macam yaitu, PT Persekutuan Modal (modal dari dua atau lebih orang) dan PT Perseorangan (modal dari satu orang),” jelasnya.

Terkait permodalan juga mengalami beberapa kali perubahan yaitu modal dasar minimum dan rasionya. Perubahan yang terjadi karena adanya situasi ekonomi sosial kemasyarakatan sehingga perlu diatur terkait modal dasar minimum. Tujuannya bukan hanya untuk mengerakkan perekonomian tetapi juga agar masyarakat yang berinteraksi dalam kegiatan perekonomian juga dilindungi. Artinya, perusahaan-perusahaannya dapat dipertanggung jawabkan dan partner-partner nya pun terlindungi.

Jadi unsur kehati-hatian inilah yang menjadi perhatian kedepannya. Sehingga, berapapun modal dasar minimum yang ditentukan pendiri harus tetap ada rasionya. Terkait laporan keuangnnya cukup dilaporkan kepada Menteri Hukum dan HAM secara elektronik melalui pengisian isian. yang perlu ditindaklanjuti selanjutnya ialah proses check and balance nya.

Selanjutnya, Yetti menjelaskan bahwa setiap pendiri PT harus mengambil bagian saham. PT juga harus terdiri dari 3 organ yaitu RUPS, direksi, dan dewan komisaris. Jadi, pemegang saham boleh merangkap menjadi direksi atau dewan komisaris. Untuk kekosongan posisi lainnya dapat diisi dengan merekrut orang lain sebagai direksinya (pengurus). Di akhir paparan beliau menjelaskan perbandingan PT Perserorangan di Amerika Serikat dan Belanda. (RPS/ ed: And – dok. RPS)