Jakarta – Humas BRIN. Koneksi Asia Tenggara dan Australia tidak bisa dianggap biasa saja, negara kepulauan dan samudra yang menghampar menjadikan pulau dan perahu terkoneksi dengan akar sejarah hingga peradaban masa kini. Akar sejarah dan budaya inilah yang membuat Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) BRIN bekerja sama dengan Global Encounters Monash (GEM), Australia merangkai simposium “Pulau dan Perahu, Islands and Boats: Encounters and Mobilities within Maritime Southeast Asia and Indigenous Australia” yang diselenggarakan selama dua hari Rabu-Kamis, (19-20/10) di Jakarta.
Dalam sambutannya Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora (OR IPSH) BRIN, Dr. Ahmad Najib Burhani mengatakan bahwa, “Suku bangsa Indonesia seperti Minangkabau, Makassar, orang Bawean, Muloccan, dan Bajao terkenal dengan budaya mengembara atau dalam istilah Minangkabau ‘merantau’. Najib mencontohkan, orang Makassar dan Bawean misalnya, biasanya merantau ke Singapura, Malaysia, dan juga Australia. Terdapat sisa-sisa artefak, dan warisan hidup dari koneksi ini sehingga menjadi studi yang menarik bagi banyak peneliti di Australia dan Indonesia.
Najib berharap simposium ini menciptakan dunia baru (dalam ilmu penelitian), kolaborasi antara sesama peneliti dan cendekiawan tentang studi maritim, konektivitas global, rute budaya
seperti rute rempah-rempah, dan komunitas yang membangun dan hidup dalam pertemuan ini. Simposium ini akan memberikan perspektif global yang lebih kaya tentang hubungan manusia di masa lalu, antara orang Australia dan Asia Tenggara agar manusia bisa memahami karakter masyarakatnya dan yang lebih penting dirinya sendiri.
Memberikan pidato utama, Prof. Lynette Russell menyampaikan “Saya senang bisa melihat berbagai makalah mengenai penjelajahan maritim Asia Tenggara, Australia, dan koneksi antara kita serta sejarah,” ujarnya. Pertemuan ini memberikan kesempatan untuk mempertimbangkan konteks sejarah yang sudah berlangsung lama. Hubungan antara Asia Tenggara dan apa yang dikenal sebagai Tanah Selatan Besar (Australia), akan dibahas pada simposium ini. Tim Monash dan BRIN tentunya bersemangat untuk terlibat dengan para sarjana dan peneliti dari seluruh dunia dan mempertimbangkan cara-cara yang dapat dilakukan untuk berkolaborasi di masa depan.
Pembicara dari Monash Indigenous Studies Centre Melbourne, John Bradley (and Yanyuwa Families) menyampaikan judul mengenai “Stone lines, trepang, carved trees and turtle shell: Makassan contact stories from the south-west Gulf of Carpentaria in the Northern Territory of Australia”. Makassan (Macassan) adalah istilah untuk menyebut semua teripang yang datang ke Australia. Beliau menjabarkan mengenai Teluk Carpentaria di sebelah utara Australia. Di sana terdapat sekelompok etnis Yanyuwa. Mereka hanya datang untuk teripang, sirip hiu, cangkang penyu, dan sisik. Mereka tidak menginginkan negara, mereka ada di utara Australia untuk sementara waktu dan kemudian mereka akan pergi. Namun, mereka juga meninggalkan artefak berupa aksara di pohon asam dan daun lontar.
Paparan selanjutnya dilakukan akademisi dari Universitas Brawijaya Malang, Firstdha Harin Regia yang memaparkan “We Belong to The Sea: Orang Suku Laut’s Idea on Seascape”. Lalu dilanjutkan oleh Abdul Rahmad Hamid dari IAIN Radin Intan, Lampung diteruskan oleh Amorisa Wiratri dari University of Western Australia, Perth. Keduanya membahas sejarah kemaritiman dan pengembaraan salah satu suku di Nusantara.
Sesi selanjutnya diangkat tema pengetahuan adat, reklamasi, dan kebangkitan. Pada sesi ini Fadilla Mutiarawati dari University of Oulu, Finlandia menyampaikan mengenai hubungan pendidikan dan kebudayaan di daerah Lombok dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Paparan dilanjutkan oleh Nur Utaminingsih dari Universitas Islam Negeri Makassar dan Jacinta Walsh dari GEM. Acara pada hari pertama ini ditutup dengan diskusi yang mengangkat tema Global Encounters: Australia, Indonesia, and Beyond. (SGD)