JALAN PANJANG KEADILAN MUNIR 

Penulis : Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti 

Penobatan Suciwati, istri almarhum Munir, sebagai People of The Year 2008 Bidang Hukum oleh SINDO sangat wajar dan tepat waktu.

Suci (begitu dia akrab dipanggil) begitu gigih dalam memperjuangkan keadilan bagi suaminya, yang berarti pula keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun sayang, di hari terakhir 2008, bukan kado keadilan yang diterima Suciwati dan putra-putrinya, Soultan Alief Allende dan Diva Syuuki Larasati, melainkan kado yang pahitnya tak terperikan.

Di hari itu, Rabu, 31 Desember 2008, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Suharto,memvonis bebas mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono, terdakwa pembunuh Munir yang sebelumnya dikenai tuntutan 15 tahun penjara oleh jaksa penuntut.

Menurut majelis hakim yang terhormat, berbagai tuduhan jaksa tidak terbukti, karena itu Muchdi Purwopranjono (Muchdi Pr) harus dibebaskan dan dikembalikan hak-hak serta kehormatannya. Menyikapi putusan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga menyatakan akan mengajukan kasasi, dan dia optimis kasasinya akan dikabulkan Mahkamah Agung.

Sebelumnya kasasi Jaksa ke Mahkamah Agung (MA) dalam kasus mantan pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, terdakwa dalam kasus yang sama juga dikabulkan MA. Pollycarpus diganjar hukuman 20 tahun penjara karena diduga dialah yang memberikan racun arsen kepada Munir. Kini jalan masih panjang bagi Suciwati untuk memperoleh keadilan bagi suaminya.

Pengadilan yang sudah berjalan sejak 2005 belum tuntas memberikan rasa keadilan publik bagi Suci, Alief, dan Diva atas kehilangan nyawa suami dan ayah yang mereka cintai. Kasus Munir yang sebelumnya dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai batu ujian ”seberapa besar Indonesia telah berubah” kini masih tanda tanya besar.

Kita masih menantikan apakah memang Indonesia sudah benar-benar berubah dari sebuah negara otoriter pada masa Orde Baru ke era demokrasi sejak tumbangnya mantan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Kita juga masih bertanya, apakah ”politik ketakutan” (the politics of fear) masih merupakan ”the name of the game” di negeri yang sudah menganut transparansi dan keterbukaan politik ini.

Untuk sang Merah Putih

Di malam pembebasannya Muchdi Pr mengadakan ”charity event” (selamatan dan bagi-bagi hadiah) untuk merayakan kebebasan. ”Ini merupakan kado bagi Indonesia,” katanya. Muchdi, yang merupakan Wakil Ketua Partai Gerindra, telah lama mengaku (mengklaim) bahwa dia merupakan ”korban dari intervensi asing” (The Jakarta Post, 2 Januari 2009).

Karena propaganda itu, tidaklah mengherankan jika dalam setiap sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mereka yang berambut pendek serta anak-anak muda dan orang-orang tua pendukung Muchdi menggunakan kaus biru muda bertuliskan ”Brigade Merah Putih” di bagian depan, sedangkan di punggungnya tertulis ”Lawan Intervensi Asing”.

Namun, tepat komentar di editorial The Jakarta Post, 2 Januari 2009, ”But we fear more for the safety of civilians here, with or without foreign intervention” (Namun kita lebih khawatir akan keselamatan kaum sipil di negeri ini, dengan atau tanpa intervensi asing). Kita juga patut bertanya, apakah penghilangan nyawa aktivis prodemokrasi dan HAM seperti Munir adalah demi Sang Merah Putih?

Apakah tindakan Munir yang mengungkap penculikan para aktivis prodemokrasi yang dilakukan anggota Tim Mawar Kopassus TNI AD pada akhir masa Orde Baru dapat dikategorikan sebagai ”pengkhianat bangsa?” Padahal pada masa hidupnya almarhum Munir juga tidak jarang membantu TNI dalam membebaskan beberapa anggota Kopassus dan Polri yang disandera oleh kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat Aceh masih merupakan daerah konflik.

Ada suatu kisah menarik yang perlu penulis ungkapkan. Saat Munir ikut menjadi anggota Tim Pusat Penelitian Politik LIPI yang membahas rancangan UU Perbantuan TNI bersama tim dari SESKO TNI di Bandung, saat kami berkunjung ke Pusat Persenjataan Infanteri (PUSSENIF TNI AD) kami bertemu dengan Kolonel Chairawan, salah seorang perwira menengah Kopassus yang pernah kena kasus penculikan aktivis prodemokrasi.

Malamnya kami makan sate Chudori di belakang Stasiun Kereta Api Bandung. Kolonel Chairawan juga sedang makan sate bersama istrinya. Ketika kami akan membayar sate, betapa terkejutnya kami karena menurut pemiliknya semua sudah dibayar oleh bapak yang tadi makan bersama istrinya. Itu tak lain Kolonel Chairawan. Pada kesempatan ini penulis atas nama almarhum dan tim LIPI ingin mengucapkan terima kasih pada Kolonel Chairawan.

Penulis pernah sekamar di Melbourne, Australia, saat menghadiri Konferensi Internasional Hubungan Segitiga Indonesia-Australia- Timor Timur pada 2000. Di seminar itu Munir tidak mencaci apa yang dilakukan para oknum TNI di Timor Timur, melainkan justru membela martabat bangsa.

Munir termasuk aktivis HAM yang memang kritis dalam menyuarakan ketidakadilan di negeri ini, tapi hampir-hampir tidak pernah menjelekkan nama bangsa di negeri orang. Bagi Munir, ”Ke dalam kita boleh kritis, namun ke luar kita harus membela Sang Merah Putih!” Apakah itu yang disebut ”pengkhianat bangsa”? Munir memang aktif dalam proses reformasi sektor keamanan sejak 1998 bersama ProPatria.

Dalam setiap pembahasan RUU Pertahanan Negara dan RUU TNI Munir selalu memperjuangkan agar kesejahteraan para prajurit TNI diperhatikan. Mereka yang gugur dalam tugas atau cacat seumur hidup harus mendapatkan asuransi dan jaminan hidup agar keluarganya tidak mengalami kesulitan hidup dalam membesarkan dan menyekolahkan putra-putrinya.

Pasal kesejahteraan prajurit yang masuk di dalam UU TNI kami beri label sebagai ”Pasal Munir” untuk menghormati kegigihan almarhum membela para prajurit TNI. Aktivitas Munir dalam membahas RUU Pertahanan Negara dan RUU TNI bukan kemauan pribadi semata, melainkan dilegalkan dengan surat tugas sebagai anggota tim perumus yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan melalui Biro Hukum Departemen Pertahanan RI.

Perjuangan Munir adalah agar negeri yang kita cintai ini menjadi negeri yang beradab dan dihormati bangsa-bangsa di dunia. Kami memang menentang aktivitas intelijen hitam yang melakukan penculikan, penghilangan, atau pembunuhan terhadap WNI sebagai sesama anak bangsa. Peran positif intelijen akan terasa jika aparatnya ”dapat mencegah terjadinya pendadakan strategis, seperti serangan terorisme atau invasi dari luar, tanpa orang mendengar jatuhnya jarum di malam yang sunyi”.

Kestabilan politik dan keamanan negara serta persatuan bangsa tidak dapat diciptakan melalui ”politik ketakutan” atau ”integrasi dengan paksaan”, melainkan dengan keadilan sosial, pemerataan, dan penegakan HAM. Dalam kaitan itu Munir termasuk salah seorang anak bangsa yang mendambakan agar aparat TNI, Polri, dan intelijen bekerja secara profesional, dididik dan dilatih, dilengkapi peralatan dan persenjataannya, serta diperhatikan kesejahteraannya. Itulah sumbangsih Munir bagi negeri yang amat dia dan kita cintai bersama, Indonesia.(*)

Dimuat di Koran Seputar Indonesia: 4 Januari 2009. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/201880/