Pemerintah Jerman melalui program Return and Emigration of Assylum Seekers (READ) mencoba memulangkan imigran ini dengan berbagai insentif. Walaupun demikian masih banyak juga imigran yang memutuskan untuk tetap tinggal di Jerman. Bagi imigran yang tetap tinggal, mereka harus berintegrasi dengan kondisi sosial di Jerman. Dengan kebijakan-kebijakan integrasinya pemerintah Jerman membantu proses integrasi sosial imigran Turki ini. Akan tetapi dalam perkembangannnya kebijakan integrasi sosial ini bertransformasi dengan kebijakan migrasi. Artinya kebijakan migrasi yang diberlakukan mengandung prasayarat integrasi sosial. Transformasi ini dipengaruhi oleh perubahan politik dalam negeri Jerman dan juga gejolak internasional dengan peristiwa 11 September yang mendorong munculnya kembali Islamic phobia di Eropa. Hal ini menjadikan tujuan dari kebijakan migrasi menjadi kabur antara pembatasan jumlah imigran dengan proses integrasinya.

Menghadapi realitas antara diterima dan ditolak dalam kehidupan sosial masyarakat Jerman, imigran Turki tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa pencapaian kondisi ekonomi imigran ini menjadi catatan bahwa imigran Turki mempunyai kontribusi yang penting dalam perekonomian Jerman. Berdasarkan paparan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk melihat dinamika sosial ekonomi imigran Turki di Jerman dan signifikansi mereka dalam proses pemulihan krisis eropa saat ini.

GELOMBANG MIGRASI INTERNASIONAL DI JERMAN


Sejak perang dunia kedua, Jerman setidaknya mengalami tiga kali gelombang migrasi dengan jumlah yang cukup besar. Gelombang pertama migrasi ke Jerman didominasi oleh kembalinya pengungsi etnis Jerman dari Eropa Timur dan Tengah yang diusir pada saat pendudukan pemerintahan Nazi. Terdapat sebanyak 11.6 juta orang etnis Jerman yang sebelumnya merupakan tenaga kerja paksa atau tahanan perang yang melakukan repratiasi ini (Fijalkowski,1998:86). Antara tahun 1945-1950, gelombang repratiasi didominasi oleh etnis Jerman yang berasal dari Polandia dan bekas Cekoslovakia dengan jumlah masing-masing 7 juta dan 3 juta orang (Fassmann,1998:207). Gelombang migrasi ini kemudian berakhir dengan dibangunnya Berlin Wall oleh Walter Ulbricht atas inisiasi Nikita Khrushchev untuk mencegah terjadinya “brain drain” dari Jerman Timur ke Jerman Barat (Wiegrefe,2009). Konstruksi tembok berlin ini membawa implikasi pada keseimbangan pasar tenaga kerja di Jerman Barat yang pada saat itu masih membutuhkan banyak tenaga kerja karena keajaiban perekonomian sebagai dampak dari program rekonstruksi paska PDII


Permintaan akan tenaga kerja baru di Jerman Barat ini dipenuhi dengan penandatanganan perjanjian pengiriman tenaga kerja dari Turki pada tahun 1961. Perjanjian ini menjadi penanda gelombang kedua arus migrasi etnis Turki ke Jerman. Gelombang ini berakhir pada tahun 1973 dengan adanya krisis ekonomi di Eropa sebagai akibat dari naiknya harga minyak dunia pada saat itu. Melalui READ program pemerintah Jerman mencoba memulangkan imigran ini. Tidak seperti Reintregation of Emigrants Manpower and Promotion of Local Opportunities for Development (REMPLOD) di Belanda dan Assisted Return Program (l’aide au retour) di Perancis, READ tidak menawarkan insentif seperti membangun bisnis di negara asal maupun uang saku (Kraniauskas,2010:15-17).

Absennya mekanisme insentif ditambah dengan mudahnya peraturan untuk pengajuan izin tempat tinggal, membuat imigran Turki memilih untuk tetap tinggal di Jerman. Hal ini yang menginisiasi terjadinya gelombang migrasi ketiga, yaitu migrasi reunifikasi keluarga. Gelombang migrasi ini telah menjadikan Jerman sebagai salah satu negara dengan status baru yaitu sebagai negara imigrasi. Dengan status ini, pemerintah Jerman melakukan pengukuran-pengukuran baru dalam kebijakan migrasinya seperti penerapan sistem quota di akhir tahun 1980-an. Pengukuran ini pada satu sisi berguna dalam mengontrol arus datang dan pergi para imigran. Namun pada sisi yang lain, pengukuran ini dipergunakan untuk membantu proses integrasi para imigran. Saat ini Turki merupakan komunitas imigran terbesar di Jerman dengan populasi sebesar 2.4 juta orang dimana 1.88 juta masih berstatus warga negara Turki dan 400.000 sedang dalam proses mendapatkan kewarganegaraan Jerman (Hochmuth,2012).

INTEGRASI SOSIAL IMIGRAN TURKI


Proses integrasi sosial para imigran ke dalam kehidupan sosial masyarakat “etnis Jerman” menjadi sesuatu yang sangat penting untuk negara ini. Hal ini dikarenakan dalam proses pembentukan negara, “Jerman” didefinisikan lebih pada aspek etnis daripada aspek legal. Kondisi ini berimplikasi pada karakter kebijakan migrasi yang mendasarkan pada darah atau ius sanguinis sebagai penentuan status kebangsaannya (Van Amersfoort,1998:126). Sehingga bagi para imigran menjadi “Jerman” adalah suatu keharusan untuk diterima secara sosial. Untuk memenuhi prasyarat kebangsaan ini, bahasa menjadi alat ukur yang utama terutama setelah peristiwa runtuhnya tembok Berlin pada akhir 1980-an. Dalam peristiwa ini, arus migrasi etnis Jerman yang sempat terhenti kembali terjadi. Akan tetapi publik menjadi sangat kritis dengan kehadiran imigran etnis Jerman ini mengingat hilangnya kemampuan berbahasa Jerman mereka (idem:127). Sejak saat itu pemerintah Jerman melakukan kebijakan imigrasi yang lebih restriktif.

Kebijakan ini menjadi lebih ketat untuk dilaksanakan setelah tahun 2000. Hal ini tidak hanya didorong oleh rendahnya prestasi sosial imigran termasuk imigran Turki dalam berinteraksi, mendapatkan pekerjaan dan tingginya performa kriminalitas tetapi juga munculnya phobia terhadap membanjirnya imigran berbasis Islam di Eropa. Pada konteks phobia ini, peristiwa 11 September menjadi katalis ketegangan sosial antara masyarakat Islam dan non Islam di Eropa. Dalam hasil wawancara penulis dengan beberapa keluarga imigran Turki di Rotterdam, Belanda, sampai beberapa minggu setelah peristiwa 11 September, imigran Turki tidak berani untuk keluar dari lingkungan tempat tinggal mereka karena adanya ancaman dan beberapa kejadian penyerangan. Menurut mereka hal yang sama juga terjadi pada relative imigran Turki di Jerman.


Dengan adanya realitas ini, European Union (EU) melalui the Hague Programme yang diadopsi pada tahun 2004 memberikan basis legal adanya kebijakan integrasi imigran di EU. Secara konkrit kebijakan integrasi sosial dibungkus dalam EU Common Basic Principle on Integration (CBP) yang secara singkat terdiri dari 11 prinsipal. Dari kesebelas principal tersebut aspek sosial seperti pendidikan, pengetahuan kebudayaan dan sejarah negara penerima serta pekerjaan menjadi indicator integrasi selain juga larangan diskrimisasi terhadap praktek budaya dari para imigran (Jones and Polo,2005:4-5). Pada masa pemerintahan kanselir Angela Merkel, kebijakan imigrasi di Jerman mensinkronisasi EU CBP. Transposisi kebijakan ini melahirkan beberapa kebijakan migrasi yang pada saat yang bersamaan mempunyai nuansa integrasi sosial yang bersifat wajib. Kebijakan yang sering disebut sebagai “integration course” ini meliputi antara lain penguasaan bahasa serta kursus tentang sejarah, justice system dan kebudayaan Jerman selama 900 jam. Pemerintah Jerman tidak lagi memberikan subsidi bagi imigran yang ingin mengikuti kursus integrasi tersebut dan memberikan pinalti bagi yang gagal dalam kursus. Untuk migrasi reunifikasi pemerintah menaikkan minimal umur pasangan dari 16 tahun menjadi 18 tahun (Leise,2007). Selain itu tidak seperti pada masa pemerintahan Konselir Gerhard Schroder, dalam kepemimpinan Angela Markel ini, kepemilikan dua warga negara dilarang. Hal ini menjadi ambigu mengingat imigran Turki lebih memilih untuk tetap memegang status kewarganegaraan Turkinya dan tanpa kewarganegaraan Jerman non-national residen masih berhak atas publik akses seperti kesehatan dan servis sosial yang lain.


Kondisi ini tentu saja berbeda ketika masa perekrutan tenaga kerja tamu dimana kebijakan migrasi di Jerman kurang begitu jelas apakah berorientasi terhadap Eingliederung (integrasi) atau Einschmelzung (asimilasi). Hal ini dikarenakan tenaga kerja ini diasumsikan hanya akan berada di Jerman selama masa kontrak kerja dan bukan untuk menetap dalam jangka waktu yang lama. Sehingga dengan kebutuhan terhadap tenaga kerja yang sangat mendesak, syarat utama perekrutan adalah faktor kesehatan. Baru ketika fenomena migrasi dari tenaga kerja tamu ini menjadi berkarakter jangka panjang, perdebatan dalam pemerintahan mulai terjadi antara menggunakan politik segregasi melalui penempatan pemukiman bagi imigran atau melalui bahasa and volkstum programme bagi para migran. (Schonwalder,2006:84-86).

Sehingga apabila melihat sejarah migrasi imigran Turki sendiri, pada masa perekrutan tenaga kerja, imigran Turki tidak begitu mengalami tantangan sosial dengan kondisi sosial ekonomi dan politik Jerman. Akan tetapi saat ini tantangan tersebut harus dilalui oleh imigran ini seiring dengan keputusan mereka untuk menetap di negara ini. Proses-proses komunikasi antara dua kebudayaan yang berbeda terus dilakukan selain juga tetap mengikuti ketentuan imigrasi yang berlaku. Salah satu usaha yang nyata untuk menjembatani perbedaan kebudayaan tersebut diinisiasi oleh menteri dalam negeri Jerman Wolfgan Scahube yang menyelenggarakan Konferensi Islam yang pertama di Jerman. Konferensi ini menjadi dasar pembentukan Coordination Council of Muslim (CCM) di Jerman sebagai wadah representasi kepentingan bagi para muslim. Representasi ini sangat penting untuk menyuarakan kebebasan dalam melaksanakan kegiatan keagamaan maupun tradisi yang dimiliki seperti pelaksanaan Hari Raya Qurban yang secara konstitusi baru di jamin pada tahun 2002 dan pemakaian jilbab dalam praktek-praktek pendidikan diperbolehkan secara konstitusi pada tahun 2003. Hal ini dikarenakan Islam belum memiliki status legal dalam kerangka pemerintah Jerman yang sejajar seperti yang diterima oleh Judaism, Catholicism dan Protestanism. Sehingga dalam beberapa pelaksanaan hak-hak beragama beberapa negara bagian menerapkan peraturan local yang berbeda (Leise,2007).

KEWIRAUSAHAAN IMIGRAN TURKI DAN PEREKONOMIAN JERMAN: NO MORE TALES OF KEBAB


Entrepreneurship atau kewirausahaan merupakan elemen yang sangat penting untuk mengurangi penganguran dan penurunan tingkat kesejahteraan melalui pencitaan lapangan pekerjaan atau dalam konteks yang paling minimal adalah mempekerjakan diri sendiri. Dalam hal kewirausahaan itu sendiri Jerman memiliki aktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan US maupun negara imigrasi lainnya di Eropa. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi ini, namun salah satu penjelasan cukup menarik adalah tentang ideology breadwinner dalam sistem keluarga Jerman. Dalam ideology ini dijelaskan bahwa, perempuan Jerman Barat mempunyai tradisi yang sangat panjang untuk memilih tidak bekerja dan hanya mengurus anak serta kebutuhan rumah tangga. Sedangkan untuk kebutuhan financial keluarga akan menjadi tanggung jawab suami. Hal ini menjadikan wirausaha sebagai sumber pendapatan menjadi sangat riskan untuk dipilih menjadi sumber utama keuangan (Constant et all,2003:20-21).

Kondisi ini berbeda apabila melihat dinamika imigran Turki sendiri dimana aktivitas kewirausahaan dalam etnis ini sangat tinggi. Arastimalar dan Vakfi menyebutkan bahwa pada tahun 2002 saja kewirausahaan etnis Turki di Jerman merepresentasikan 69 persen dari seluruh aktivitas kewirausahaan di EU (Constant et all,2003:6). Tingginya tendensi imigran Turki untuk beriwirausaha di Eropa tidak hanya disebabkan oleh adanya tradisi kewirausahaan tetapi juga strategi imigran ini untuk menghindari bentuk-bentuk diskriminasi di negara tujuan migrasi. Sejak masuk dalam struktur sosial masyarakat Jerman sebagai pengisi struktur pasar tenaga tenaga kerja sebagai pekerja low-skilled, tenaga kerja tamu ini telah memulai bentuk-bentuk kewirausahaan kecil. Diawali dengan membuka toko kelontong untuk memenuhi kebutuhan etnis Turki yang tidak tersedia di negara tujuan imigrasi, kewirausahaan ini bertransformasi menjadi usaha makanan yang memenuhi selera orang Eropa secara umum seperti catering dan restouran kebab, pizza serta ice cream. Salah satu restouran cepat saji yang sangat terkenal adalah Doner Kebab. Sehingga tidak mengherankan apabila imigran Turki di Eropa sangat identik dengan usaha kebab.

Dalam perkembangan kewirausahaan itu sendiri, asosiasi imigran Turki dengan usaha kebab mungkin sudah tidak lagi menjadi stereotype yang representative. Hal ini dikarenakan bentuk kewirausahaan imigran Turki sudah berkembang sangat pesat dari sector jasa sampai IT. Mehmet Aygun, pekerja tamu yang datang ke Jerman sekitar tahun 1970-an, yang pada awalnya bekerja di sebuah restoran cepat saji, sekarang memiliki 7 restoran (1 Italian Restoran dan 6 Hasir Restoran) serta Titanic Resort and Hotel yang beroperasi baik di Jerman dan Turki. Hotel dan resort ini memiliki 600 kamar dengan tingkat okupansi 94 persen. Bahkan pada saat musim dingin Hotel ini menjadi langganan tim-tim sepakbola ternama Eropa seperti Werder Bremen. Selain itu ada juga Crytek sebuah perusahaan permainan untuk PC’s yang juga didirikan oleh generasi kedua imigran Turki yaitu Avni, Cevat dan Faruk Yerli. Perusahaan ini bermarkas di Frankfurt namun memiliki studio Ukraina, Hunggaria, Bulgaria, Korea Selatan dan UK. Contoh sukses kewirausahaan Turki yang lain adalah Solitem sebuah perusahaan yang memproduksi sistem pendingin ruangan dengan memanfaatkan tenaga matahari. Perusahaan ini didirikan oleh Hero of the Environment versi Majalah Time, Ahmet Lokurlu (Dowling,2011)

Dengan aktivitas kewirausahaan dan kontribusi yang signifikan ini, imigran Turki memilik peran yang vital dalam iklim perekonomian di Jerman. Dalam kondisi krisis ekonomi Eropa saat ini, Jerman menjadi satu-satunya negara di Eropa yang tergabung dalam Eurozone yang masih mempunyai peringkat AAA menurut Standard & Poor’s. Peringkat ini membuktikan bahwa kepercayaan pasar terhadap kemampuan Jerman untuk membayar utang baik public maupun swasta yang masih sangat kuat. Hal ini tidak terlepas dari kapabilitas tekhnologi dan industry serta kapasitas pasar di Jerman yang sehat. Tentu saja sebagai imigran terbesar dengan tingkat kewirausahaan yang tinggi, imigran Turki mempunyai kontribusi dalam membangun rumah tangga ekonomi Jerman Lebih lanjut menurut Independent Industrialis and Businessman Association, Musiad, yang mempunyai cakupan operasi di Turki dan Jerman dengan 15 persen perwakilan dari Turki sendiri, menyebutkan bahwa sejumlah 100.000 wirausaha imigran Turki di Jerman berhasil memperkerjakan 400.000 ribu orang dengan total investasi 10 billion Euro (Hurriyet Daily Nesw,2010).

KESIMPULAN


Tidak dapat dipungkiri munculnya nama seperti Mezut Ozil sebagai pemain sepakbola national Jerman membuktikan bahwa pertama Jerman tidak hanya sebagai negara imigrasi di Eropa akan tetapi juga mempunyai struktur masyarakat yang multicultural. Kedua, imigran Turki yang pada awalnya merupakan pekerja tamu, saat ini telah mempunyai kontribusi dalam perekonomian tidak sebagai pekerja dengan ketrampilan rendah tapi wirausaha yang berorientasi multinasional. Sehingga dengan kondisi ini setidaknya pemerintah Jerman,terutama pemerintahan negara bagian untuk menerima keberadaan imigran Turki dan menjalin komunikasi intensif dengan imigran Turki untuk menghindari bentuk-bentuk diskriminasi sosial. Selain itu, dalam 50 tahun keberadaan imigran Turki di Jerman, tendensi kewirausahaan dalam imigran Turki harus terus didorong dalam proses integrasi sosial di Jerman.

REFERENSI


Constant, Amelie et all.2003. What Makes an Entrepreneur and Does It Pay? Native Men, Turks and Other Migrats in Germany. Discussion Paper no:940. Iza.Bonn Germany.
Dowling, Siobhan.2011. Building New Empire. CNBC Megazine [online] Available : http://www.cnbcmagazine.com/story/building-a-new-empire/1442/1/
Fassman, Heinz.1998. The Regulation of East-West Migration: Political Measurement in Austria and Germany. Dalam Regulation of Migration International Experiencess, Bocker, Anita et.all. Het Spinhuis Publisher.Amsterdam.
Fijalkowski, Jurgen.1998. Germany Europe’s Biggest Magnet Principal Categories of International Migrants and The Policies Concerning Them. Dalam International Migration Processes and Intervention, Van Amersfoort, Hans and Doomernik, Jeroes (eds). Imes.Amsterdam.
Hurriyet Daily News.2010. Turkish Entrepreneur Provide Jobs in Germany, Business Group Says.Istanbul.[online] Available: http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&;n=turkish-entrepreneurs-provide-employment-in-germany-musuad-chief-2010-09-01
Hochmuth, Henrike.2012. Turks in Germany Are They a Bridge or an Obstacle to Turkey’s EU Memberships. The Journal of Turkish Weekly. [online] Available: http://www.turkishweekly.net/article/146/turks-in-germany.html. Diakses 6 Januari 2012.
Jones, Hywel Ceri & Polo, Christina Pineda. 2005. Beyond the Common Basic Principle on Integration:The Next Step. Issue Paper No 27. EPC & King Baudouin Foundation. [online] Available : http://www.epim.info/wp-content/uploads/2011/01/EPC-Issue-Paper-27-Basic-Principles-on-Integration.pdf
Kraniauskas, Liutauras.2010. Return Home: Best Practice Study of Assisted Voluntary Return Programmes in the Eu Member States. IOM. [online] Available : http://www.emn.lt/uploads/documents/avr_bestpractise_study.pdf. Diakses 6 Januari 2012.
Leise, Eric.2007. Germany strives to Integrate Immigrants with New Policy. Migration Policy Institute.[online] Available : http://www.migrationinformation.org/Feature/display.cfm?ID=610
Schonwalder, Karen.2006. Assigning the State its Rightful Place? Migration, Integration and the State in Germnay. Dalam Paths of Integration Migrants in Waestern Europe 1880-2004. Lucasen Leo et.all (eds). Imiscoe Research. Amsterdam University Press.
Van Amersfoort.1998.Governments and Immigrants: Similarities and Dissimilarities in the Western European Experience. Dalam Regulation of Migration International Experience. Bocker, Anita et.all (eds). Het Spinhuis Publisher. Amsterdam.
Wiegrefe, Klaus.2009.Who Ordered the Construction of Berlin Wall. [online] Available: http://www.spiegel.de/international/germany/0,1518,628052,00.html, diakses 5 januari 2012.