Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI bekerja sama dengan Jaringan Damai Papua (JDP) dan National Papua Solidarity (NAPAS) mengadakan acara bertajuk “Tribute to Dr. Muridan S. Widjojo” pada tanggal 4 April 2014. Acara ini diadakan di Gedung Auditorium LIPI bertepatan dengan hari ulang tahun ke 47 Dr. Muridan S. Widjojo. Acara ini dibuka oleh Prof. Dr. Syamsuddin Haris sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI.
Dr. Muridan S. Widjojo adalah peneliti senior di Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI yang memulai kariernya sebagai pegawai honorer di Kedeputian Ilmu pengetahuan Sosial dan kemanusiaan (IPSK) LIPI pada 1993. Beliau resmi bekerja untuk Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak 1995.
Setelah menamatkan studi doktornya di Universitas Leiden Belanda pada bidang sejarah politik pada tahun 2007, beliau dipercaya untuk memimpin tim kajian Papua pada tahun 2008 dan sejak 2010 menjadi koordinator bersama Jaringan Damai Papua (JDP) di Jakarta yang bertugas memfasilitasi persiapan dialog antara masyarakat Papua dengan Pemerintah.
Sejak akhir 2010 beliau menjadi Kepala Bidang Politik Lokal di P2P LIPI. Beliau menghembuskan nafas terakhir akibat kanker yang telah dideritanya selama kurang lebih 4 tahun terakhir pada 7 Maret 2014 di RS Mitra keluarga Depok. Beliau meninggalkan seorang istri, Suma Riela Rusdiarti dan dua anak, Galih Pradipta Muridan dan Naiyya Kasih Muridan.
Usai pidato pembukaan oleh Prof. Syamsuddin Haris, dilanjutkan dengan acara potong tumpeng oleh istri dan anak-anak dari Dr. Muridan S. Widjojo. Istri beliau, Suma Riela memberikan sambutan atas nama keluarga, kemudian acara dilanjutkan dengan pemutaran foto-foto Dr. Muridan S. Widjojo. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan mendengarkan testimoni dari rekan-rekan kerja dan kolega. Testimoni pertama dari Prof. Dr. Ikrar Nusa bakti, di mana beliau menceritakan sejarah karier dari Dr. Muridan S. Widjojo di P2P LIPI.
Berikutnya, testimoni dari Prof. Dr. Hermawan Sulistyo dari P2P LIPI, Dr. Bambang Setiadi dari UI, Dr. Hayono Isman dari DPR RI, Sydney Jones, Ivan Hadar dari UNDP, Daniel Darsik dari Kedutaan Swiss, Pendeta Socrates, Aryo Wisanggeni dari Kompas, dan Prof. Dr. Mochtar Pabottinggi.
Acara dilanjutkan dengan diskusi informal dengan tema “Masa Depan Dialog Jakarta-Papua”, dengan pembicara Kepala BAIS Mayjend. M. Erwin S mewakili Jenderal TNI, Jend. Muldoko, Mayjend Gde Sugiarta, Dr. Pater Neles Tebay (JDP Papua), Latifah Anum Siregar (ALDP), Aryo Wisanggeni (KOMPAS), Poengky Indarti (Imparsial) dan moderator Sholahudin.
Diskusi dimulai oleh penjelasan Mayjend Gde Sugiarta. Kehadirannya mewakili Jend. Muldoko untuk menghormati Dr. Muridan. Ia menyatakan bahwa Dr. Muridan adalah salah satu tink tank Panglima TNI dalam penyelesaian masalah Papua.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa tulisan-tulisan Dr. Muridan telah banyak membantu permasalahan-permasalahan di Papua, salah satunya dengan jalan dialog. Ia juga berharap perjuangan Dr. Muridan dapat dilanjutkan terkait perdamaian di Papua.
Mayjend M. Erwin S, lebih lanjut menyatakan bahwa beliau bertugas di Papua (Sentani dan Merauke) selama 10 tahun.
Ia juga menjelaskan adanya perubahan yang signifikan di Papua, khususnya adat dan kearifan lokal, misalnya acara bakar batu, dulu adalah acara yang sakral namun sekarang mudah sekali dilakukan dan banyak didomplengi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Banyak sekali dana-dana yang seyogyanya digunakan untuk mendamaikan perselisihan antar suku tidak digunakan tepat sasaran.
Terkait dengan masa depan dialog Jakarta dan papua, beliau meminta para pimpinan daerah untuk dapat dievaluasi, terutama terkait kehadirannya. Hal ini karena seringkali para pemimpin tidak dapat ditemui, khususnya pada saat terjadi masalah genting.
Masalah lain yang juga harus diselesiakan di Papua adalah minimnya infrastruktur penunjang pembangunan, seperti jalan dan jembatan. Ia menutup pembahasannya dengan menyatakan bahwa komunikasi antar pimpinan daerah (putra daerah) dapat menjadi kunci keberhasilan dialog Jakarta dan Papua.
Pater Neles Tebay memulai pembahasannya dengan mengutip pernyataan Dr. Muridan bahwa “masalah Papua merupakan beban politik masyarakat Indonesia”. Sampai November 2009, dialog Papua masih dianggap tabu karena dianggap mengacu pada Papua merdeka. Akhirnya orang mulai menggunakan kata dialog setelah 2009, kata “dialog’ sudah menjadi kata kunci dalam perdamaian Papua.
Ini adalah hasil dari perjuangan Papua. Dialog ini dapat menyelesaikan konflik dua arah, vertikal antar Pusat dan Papua serta konflik horisontal di Papua, antara Papua dengan Papua maupun Papua dengan luar Papua. Sekarang ini, sudah terjadi perubahan di pusat terkait masalah Papua, di mana mereka mulai mengutamakan dialog.
Isu yang harus diangkat sekarang ini adalah mempersiapkan sebuah dialog untuk menyamakan persepsi tentang permasalahan di Papua. Untuk itu, dibutuhkan fasilitator sebagai jembatan dalam pelaksanaan dialog tersebut.
Selanjutnya Latifah Anum Siregar menjelaskan tentang pentingnya dialog dalam hati, pikiran dan semangat keseharian kita. Mengutip Dr. Muridan, “Dialog itu tidak membunuh, jika gagal kita bisa coba lagi”. Dalam kaitan masa depan dialog, ini adalah tantangan yang menggelisahkan.
Hingga kini, kekerasan masih sering terjadi dan tidak ada kaitannya dengan NKRI harga mati maupun Papua merdeka harga mati. Sulit sekali mengidentifikasi siapa yang melakukan kekerasan. Dialog lebih dibutuhkan sekarang daripada masa yang lalu.
Lebih lanjut, JDP harus menjalankan fungsinya sebagai fasilitator yang tidak hanya bersikap pasif. JDP sebagai jembatan harus siap diinjak oleh semua. JDP harus bekerja lebih keras untuk merespon semua tantangan yang ada. Peran pemimpin lokal masih sangat kurang.
Poengky Indarti membahas tentang dukungan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan dialog damai antara Jakarta dan Papua.
Dukungan Jend. Muldoko dapat dilihat sebagai good sign, tapi harus dilihat siapa pemimpinnya.
Pemimpinnya yang akan memutuskan keberlanjutan dukungan tersebut yang hingga kini belum terlihat jelas. Perdamaian Papua ini membutuhkan good will dari Presiden, melihat dari kasus Aceh. Ia mendorong untuk memilih calon wakil rakyat yang peduli pada permasalahan Papua.
Lebih lanjut, pemerintah perlu untuk mereformasi struktur TNI dan POLRI dalam penyelesaian masalah Papua melalui dialog.
Selain itu juga dibutuhkan institusi-institusi independen untuk mendorong dialog. JDP harus makin efektif sepeninggal Dr. Muridan untuk melanjutkan jejak beliau. JDP harus dapat merangkul tidak hanya pemerintah, maupun kelompok Papua merdeka, rakyat Papua dan masyarakat Indonesia.
Selanjutnya, Aryo Wisanggeni wartawan senior KOMPAS menyatakan bahwa perdamaian Papua tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh Dr. Muridan dan Pater Neles Tebay. JDP harus diperluas dan melibatkan banyak aktor untuk dialog.
Otsus tidak akan berhasil jika tidak menggunakan dialog dalam penyusunannya. Para aktor harus dapat menahan diri untuk menawarkan solusi karena solusi hanya dapat dirumuskan oleh mereka yang terlibat dalam permasalahan tersebut.
JDP perlu mengidentifikasi lebih luas, siapa saja aktor-aktor yang perlu diajak dialog untuk penyelesaian masalah Papua.
Acara ditutup dengan catatan Dr. Adriana Elisabeth. Terkait dialog, terdapat perdebatan tentang perlu tidaknya dialog dalam buku Papua Road Map, namun akhirnya dialog menjadi kata kunci dalam penyelesaian masalah Papua.
Masa depan dialog ini bergantung pada kita sendiri, yang paling penting adalah pendekatannya. Pendekatan apapun yang digunakan harus dapat membangun trust antara orang Papua dan non Papua.
Pendekatan dialogis harus terus kita lakukan. Perdamaian Papua adalah perdamaian di Indonesia. (Amorisa Wiratri)