Piagam ASEAN merupakan sebuah pencapaian penting bagi ASEAN karena untuk pertama kalinya ASEAN menyatakan komitmennya untuk menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Meskipun pada dasarnya, ASEAN telah tergerak untuk lebih memperhatikan isu HAM sejak tahun 1990-an yang antara lain disebabkan oleh perubahan peta politik internasional pasca Perang Dingin dan Konferensi Wina 1993 yang menghasilkan Deklarasi Wina dan Program Aksi Wina. Seluruh negara ASEAN (saat itu masih 6 negara) berpartisipasi dalam Konferensi Wina tersebut. Dalam ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-26 bulan Juli 1993, yang dilaksanakan setelah Konferensi Wina, negara-negara ASEAN menyetujui untuk mempertimbangkan sebuah mekanisme HAM regional yang dituangkan dalam Komunike Bersama yang dihasilkan pada AMM tersebut. Komitmen ASEAN ini kemudian dilanjutkan pada Hanoi Plan of Action (1997) dan Vientiane Action Program (2004).
Selanjutnya, sesuai dengan amanat pasal 14 Piagam ASEAN, maka pada tahun 2009 kemudian dibentuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) sebagai mekanisme HAM regional di kawasan Asia Tenggara. ASEAN pun kini telah mempunyai ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) yang dihasilkan pada KTT Phnom Penh tahun 2012. Namun demikian, setelah hampir lima tahun AICHR terbentuk, komisi ini menuai kritik terkait beberapa hal.
Pertama, kegiatan AICHR hanya sebatas pada promoting HAM, belum secara jelas merumuskan mekanisme untuk melindungi (protecting). Hal ini bisa dilihat pada Rencana Kerja Lima Tahun (2010-2015) AICHR yang dikembangkan dari 14 mandat dan fungsi yang termaktub dalam Term of Reference (ToR) AICHR di mana kegiatan AICHR lebih didominasi oleh kegiatan yang bersifat promosi HAM. Penjelasan terkait kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari semangat konsensus dan konsultasi yang sangat melekat di ASEAN, termasuk di AICHR. Kedua, sifat AICHR yang inter-governmental menjadikan wewenangnya sebagai badan regional sangat dibatasi dan secara substansi lebih bertanggung jawab kepada negara anggota. Ketiga, cara pandang negara-negara ASEAN terhadap HAM masih sangat beragam. Hal ini tidak terlepas dari beragamnya kondisi sosial politik masing-masing negara anggota. Beberapa negara ASEAN masih menghadapi proses transisi ke demokrasi, masalah impunitas, dan masih berlakunya Internal Security Act (ISA), seperti di Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Kamboja. Selain itu, di antara negara ASEAN juga terdapat perbedaan interpretasi HAM antara universalis versus partikularis.
- sangat terasa dalam ToR AICHR, yaitu pada butir 1.4: “to promote human rights within the regional context, bearing in mind national and regional particularities and mutual respect for different historical, cultural, and religious backgrounds, and taking into account the balance between rights and responsibilities”. Itu sebabnya AICHR tidak dapat mempersoalkan isu-isu nasional. Ditambah lagi, non-interference dan kedaulatan nasional masih menjadi prinsip-prinsip utama AICHR (butir 2.1: “respect for the independence, sovereignty, equality, territorial integrity and national identity of all ASEAN member states” dan 2.2: “non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States).
Kritik-kritik ini menimbulkan pesimisme di banyak kalangan akan masa depan AICHR. Setidaknya nuansa itulah yang ditangkap penulis dalam diskusi bertajuk “Peran Indonesia dalam Penguatan Lembaga HAM Regional AICHR” yang diadakan oleh Kontras di Universitas Indonesia pada 14 Maret 2014. Untuk itu, penguatan AICHR tentu menjadi agenda penting karena bagaimanapun juga eksistensi AICHR tetap diperlukan sebagai mekanisme pemajuan HAM di ASEAN. Agenda ini tentu saja bukan hanya menjadi agenda penting bagi ASEAN, melainkan juga secara khusus bagi Indonesia yang sejak awal mempunyai komitmen tinggi akan mekanisme HAM regional di ASEAN.
Peran Indonesia dalam penguatan mekanisme HAM regional tidak bisa kita lihat dari sekarang saja ketika Piagam ASEAN dibentuk tahun 2008, tanpa melihat proses proses jauh ke belakang yang kemudian mengkristalisasi. Meskipun situasi HAM di Indonesia juga masih mengalami sejumlah masalah, Indonesia sudah sejak lama memperjuangkan mekanisme HAM di kawasan. Tahun 1991 Indonesia “berani” menjadi tuan rumah Regional Conference on Human Rights di Jakarta. Sebelum Konferensi Dunia di Wina, 25 Juni 1993, cikal bakal Komnas HAM juga sudah terbentuk dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang pembentukan Komnas HAM tanggal 7 Juni 1993. Indonesia kemudian memasukkan penghormatan HAM menjadi bagian penting dalam cetak biru pilar komunitas politik keamanan, yang dipromosikan oleh Indonesia.
Hingga kini komitmen Indonesia terus ditunjukkan, diantaranya dengan inisiatif melakukan Dialog HAM dengan AICHR meniru konsep UPR (Universal Periodical Review), sistem pelaporan HAM Dewan HAM PBB-Jenewa. Pada tanggal 25 Juni 2013, Indonesia menjadi negara anggota pertama yang secara sukarela menyampaikan ke negara-negara ASEAN lainnya melalui AICHR untuk ditinjau proses promosi dan proteksi HAM di Indonesia. Dengan inisiatif ini, Indonesia telah melaksanakan salah satu butir Terms of Reference AICHR, yaitu butir 4.10: “To obtain information from ASEAN Member States on the promotion and protection of human rights.” Indonesia berharap proses ini terus bergulir karena melalui so-called UPR di ASEAN ini aspek proteksi dari HAM bisa lebih seimbang dengan aspek promosi.
Keberadaan Piagam ASEAN, AICHR, dan AHRD pada satu sisi merupakan proses kemajuan di ASEAN terkait komitmen politik anggotanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa negara ASEAN, seperti Vietnam dan Myanmar, telah menunjukkan kemajuan yang berarti terkait komitmennya terhadap HAM. Myanmar kini bahkan telah memiliki komisi HAM Nasional, menyusul Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, yang sebelumnya sudah memiliki lembaga serupa. Namun demikian, secara umum negara-negara ASEAN masih cenderung ambigu terkait komitmen mereka terhadap HAM dan melihat hal ini sebagai sesuatu yang sensitif atau bersinggungan dengan sovereignty. Meskipun prosesnya berjalan lamban, peran AICHR penting dalam pemajuan HAM di kawasan, setidaknya untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran negara anggotanya akan pentingnya penegakan HAM.
Sebagai negara pertama yang mendorong mekanisme HAM di kawasan, Indonesia telah menunjukkan upaya konkret bagi pemajuan HAM di ASEAN. Namun demikian, Indonesia masih harus melakukan beberapa hal penting untuk penguatan AICHR. Pertama, Indonesia harus terus mendorong agar perwakilan (representatives) masing-masing negara di AICHR berasal dari masyarakat sipil, bukan dari negara atau ditunjuk oleh negara. Hingga saat ini baru Indonesia dan Thailand yang perwakilannya berasal dari masyarakat sipil. Hal ini penting agar perwakilan AICHR tidak hanya menyuarakan suara dan kepentingan pemerintahnya saja. Ini memang akan berdampak pada aspek organisasi AICHR sendiri yang hingga kini pendanaannya masih di bawah Kementerian Luar Negeri. Jika AICHR ingin lebih independen, tentu harus juga dipikirkan aspek pendanaan dari AICHR ini.
Kedua, Indonesia harus mengupayakan bagaimana meningkatkan kepercayaan negara anggota ASEAN kepada organisasi yang mereka bentuk sendiri, terutama dengan mendorong UPR di ASEAN. Padaprinsipnya, tidak ada lagi negara ASEAN yang imun terhadap proses HAM di internasional. Apalagi, seluruh negara ASEAN sudah mengikuti UPR Dewan HAM PBB di Jenewa. Jika demikian, mengapa hal yang sama tidak dapat mereka lakukan dengan badan HAM-nya sendiri?
Ketiga, tidak dapat dipungkiri proses perumusan ketiga instrumen HAM yang ada di ASEAN cukup alot dan menuai banyak kritik, terutama karena belum sepenuhnya melibatkan kelompok masyarakat sipil. Bentuk yang ada sekarang boleh dikatakan sebagai hasil “transaksi” yang paling minimal demi eksistensi mekanisme HAM regional di ASEAN. Untuk itu, Indonesia perlu mendorong dilakukannya peninjauan ulang (review) terhadap instrumen HAM ASEAN untuk memperkuat mekanisme HAM itu sendiri. Tahun 2014 ini menjadi tahun yang tepat sesuai dengan komitmen awal untuk meninjau kembali ToR AICHR yang telah diadopsi sejak tahun 2009 setiap lima tahun sekali. (Lidya Christin Sinaga)