BKHH – LIPI, 11 Agustus 2015

Sistem jaminan sosial merupakan suatu sistem pelayanan sosial yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakatnya melalui perlindungan akibat dari kecelakaan kerja, sakit, kehamilan, masa tua, dan juga kehamilan. Namun demikian, dalam implementasinya masih belum dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu, Biro kerjasama, hukum dan humas (BKHH) LIPI mengadakan diskusi publik untuk membedah lebih dalam lagi mengenai manfaat dan kendala dari SJSN. Dalam kesempatan kali ini, narasumber terdiri dari Dr. Sri Sunarti dan Triyono, peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan, dan Teddy Lesmana dari Pusat penelitian Ekonomi. Mereka bersama dengan tim telah banyak melakukan kajian mengenai jaminan kesehatan. Bahkan dalam diskusi kali ini hadir pula Prof. Bambang Purwoko yang merupakan Kepala Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Diskusi dipandu oleh Ibu Ade Latifah dan dimulai dengan pemaparan dari Teddy Lesmana mengenai tantangan dalam implementasi SJSN di Indonesia. Menurut paparannya, sistem jaminan sosial dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah di Indonesia. Ini disebabkan proses terbentuknya perundangan yang mendasari sistem perlindungan sosial di Indonesia cukup panjang. Adapun tantangan dalam implementasinya dari sisi masyarakat antara lain karena masyarakat kurang aktif dan peduli dengan pentingnya asuransi, prosedur migrasi yang membingungkan bagi masyarakat yang sudah memiliki Askes dan Jamsostek untuk berganti ke BPJS, akses yang tidak terjangkau bagi wilayah-wilayah di pelosok daerah di Indonesia, dan sebagainya. Sedangkan dari sisi pemerintah/penyelenggara jaminan sosial kendala yang dihadapi adalah, kurangnya sosialisasi terinci kepada masyarakat dan penyedia layanan kesehatan sehingga mengakibatkan perbedaan pemahaman mengenai asuransi social, infrastuktur pelayanan kesehatan yang belum siap, keterbatasan SDM (dokter, bidan, perawat), kurangnya saranan kesehatan, dan ketidaksepahaman antara BPJS dan pemberi pelayanan memungkinkan terjadinya fraud (kecurangan). Untuk itu, sosialisasi sangat penting untuk dilakukan agar seluruh masyarakat sadar dan paham akan pentingnya jaminan kesehatan. Khususnya bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki kemampuan membayar maka sudah selayaknya setiap orang wajib masuk dalam sistem jaminan Kesehatan nasional agar terjadi gotong royong antar peserta, yang ringan sama dijinjing yang berat sama dipikul dengan demikian saling membantu antara peserta.

Selanjutnya, Dr. Sunarti mengatakan bahwa berdasarkan hasil kajiannya mengenai implementasi JKN pada migran miskin perkotaan di Makasar, terdapat 400 rumah tangga miskin yang tidak terjamin sebagai peserta jaminan kesehatan. Hal ini disebabkan menurut skema BPJS Kesehatan, PBPU dikategorikan sebagai peserta mandiri yang wajib untuk membayar sendiri iuran / premi besarnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kemudian, pemilikan identitas kependudukan setempat tetap harus menjadi syarat utama bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang terjangkau. Dengan demikian ibu dan anak dari rumah tangga migran miskin yang tidak mempunyai KTP tersebut akan tetap tidak dapat memiliki akses untuk pelayanan kesehatan murah. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut maka sangat diperlukan mobilisasi masyarakat untuk menolong ibu melahirkan dan penguatan ekonomi rumah tangga. Selain itu diperlukan juga sosialisasi yang lebih menyeluruh tentang pentingnya kepemilikan jaminan kesehatan, serta mengenai hak dan kewajiban peserta jaminan sosial.

Paparan selanjutnya adalah mengenai BPJS Ketenagakerjaan dari Triyono. Menurut Triyono, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Surabaya tahun 2011, mayoritas responden (99,3%) pekerja sektor informal tidak pernah mendengar tentang UU SJSN (Soewartoyo,dkk  2012). Di samping itu kurangnya sosialisasi juga terlihat ketika PP No.46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua dikeluarkan dan menjadi polemik di masyarakat. Kendala lain adalah  ketidaktahuan prosedur administrasi, keterbatasan keuangan, pertimbangan urgensi dan minimnya prioritas (Soewartoyo dkk, 2012). Sosialisasi secara menyeluruh kepada pengusaha, organisasi pekerja, paguyupan sektor informal merupakan langkah yang harus segera dilakukan kepada pekerja baik formal maupun informal, pengusaha dan pekerja bebas. Dengan adanya sosialisasi diharapkan masyarakat semakin mengerti manfaat mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan. Kemudian di bidang pengawasan yaitu memperketat  kepatuhan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya untuk mengikutsertakan karyawannya dalam program BPJS ketenagakerjaan. Demikian beberapa catatan mengenai implementasi BPJS Ketenagakerjaan.

Kemudian, Prof. Bambang menambahkan bahwa sistem jaminan sosial yang sedang berjalan saat ini dapat dikategorikan sebagai asuransi sosial. Artinya asuransi yang tidak bisa disertakan ke pihak swasta dan bukan mengenai halal atau haramnya suatu produk. Untuk permasalahan mendasar yang ada dalam polemik hal haram BPJS adalah lebih karena ketidakpahaman akan sistem jaminan sosial itu sendiri.