”Congratulations @SadiqKhan. Can’t wait to work with you to create a London that is fair for all! #YesWeKhan”
Demikian pesan singkat yang disampaikan Jeremy Corbyn, ketua Partai Buruh, kepada Sadiq Khan sesaat dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan wali Kota London. Pesan singkat itu mencerminkan ikut bergembiranya ketua Partai Buruh yang terpilih tahun lalu di tengah kemunduran perolehan suara partainya pada pemilihan lokal 2016 yang dilakukan serempak di beberapa wilayah Inggris baru-baru ini.
Dapat dikatakan, kemenangan Khan adalah pelipur lara bagi Corbyn, bahkan menurut Maajid Nawaz—seorang kolumnis The Daily Beast, satu-satunya yang bisa dirayakan oleh Corbyn dari hasil yang tidak memuaskan dalam pemilihan kali ini. Hubungan Khan dan Corbyn sendiri sebenarnya tidak begitu erat.
Berbeda dengan pesaingnya dari Partai Konservatif Zac Goldsmith yang memiliki hubungan cukup harmonis dengan PM David Cameron dan Wali Kota London Boris Johnson, Khan cenderung membangun jarak dengan Corbyn. Salah satu alasannya, agar citra Corbyn yang kekiri-kirian dan (dikesankan) cenderung menganut anti-Semitism tidak mengena kepadanya.
Hubungan yang kurang harmonis inilah yang mungkin menjadi jawaban dari ketidakhadiran Corbyn saat perayaan kemenangan Khan. Kendati demikian, hubungan dingin itu tidak sampai pula mendorong Corbyn sebagai pimpinan partai untuk melakukan langkah-langkah destruktif pencalonan Khan.
Hal ini karena mekanisme pemilihan internal partai yang baku, yang menyebabkan potensi seorang politisi terlindungi dari intervensi pimpinan partai. Atas dasar mekanisme yang ditaati itu, seorang pimpinan partai seperti Corbyn tidak dapat mendikte apa yang harus dilakukan Khan yang dikenal memiliki ide-ide cemerlang dan brilian.
Tampak jelas bahwa dalam kasus Khan ini kekuatan ide dan pesona individu berada di atas kekuasaan pimpinan partai, yang tidak bisa tidak, akhirnya harus mengakomodasinya. Kekuatan ide ini pulalah yang menyebabkan Khan dapat diterima oleh mayoritas masyarakat London atau kerap disebut Londoners.
Kemenangan 44% pada perhitungan pertama dan 57% pada perhitungan kedua, yang berarti sekitar 1,3 juta pemilih, mengindikasikan mengenanya pilihan isu dan alternatif kebijakan yang dikedepankan Khan. Sejak awal Khan memfokuskan diri pada penciptaan lebih banyak lagi perumahan (termasuk menyediakan 80.000 rumah per tahun dan penyewaan rumah layak tinggal yang murah) bagi masyarakat London.
Sebuah program yang akan, yang memang amat, dinanti oleh masyarakat London pada masa-masa belakangan ini, di samping tentu saja persoalan keamanan, lingkungan, pengurangan pengangguran, dan transportasi.
Selain program yang tepat, Khan juga berhasil menjelmakan dirinya sebagai sosok yang seutuhnya Londoners. Dia mencitrakan dirinya sebagai bagian dari kaum pekerja yang dibesarkan dari keluarga menengah (ayahnya adalah imigran yang bekerja sebagai supir bus dan ibunya adalah tukang jahit) dan tinggal di perumahan yang disediakan pemerintah.
Kondisi ini adalah kondisi umum masyarakat London, yang sekitar 37% (sensus 2011) adalah mereka yang lahir di luar Inggris, dengan tingkat pendapatan yang sedang-sedang saja. Khan memang ”diuntungkan” dengan situasi London yang memang kota pekerja dan secara tradisi memiliki pendukung Partai Buruh yang kuat.
Di berbagai kesempatan dia menekankan bagaimana dia bangga kepada London, kota yang telah memberikan banyak kebahagiaan dan kesempatan. Karena itu, Khan mengatakan akan terus menciptakan kesempatan untuk dapat hidup lebih baik itu bagi semua kalangan. Selain itu, Khan juga menyadari hakikat London sebagai melting pot atau kota untuk semua ras dan penganut beragam latar belakang agama.
Karena itu, dia menghormati keberagaman, yang terakhir terlihat dengan kesediaannya menghadiri acara peringatan Holocaust beberapa hari setelah dilantik. Sebagai seorang muslim yang mengaku menjalankan salat dan puasa secara tertib, dia juga seorang pengacara yang banyak berkutat dengan persoalan hak-hak minoritas.
Dengan demikian, instingnya sebagai pembela masyarakat tertindas sudah relatif teruji. Pelajaran dari Khan oleh karenanya adalah kemampuannya menjadi bagian dari rakyat yang diwakili dan dipimpinnya. Dia tidak mencoba menarik garis permusuhan kepada siapa pun, melainkan menghormatinya dengan tulus.
Setidaknya itu yang dirasakan para pendukungnya. Dia, sekali lagi, ingin menjadi wali kota bagi seluruh Londoners. Tidak heran jika kemudian banyak kalangan dari berbagai latar belakang agama, ras, status sosial, bahkan orientasi seksual mendukungnya. Tepat jika dikatakan bahwa dia terpilih bukan karena statusnya sebagai seorang muslim, melainkan karena program-programnya dan sosok dirinya tidak memiliki jarak psikologis dengan kebanyakan masyarakat London.
Kecuali, bagi kalangan yang cenderung Islamofobia atau mereka yang termakan dengan pencitraan negatif Khan sebagai sosok ekstremis. Kemenangan mutlak ini juga ditopang oleh kegagalan Partai Konservatif dalam mencari sosok yang tepat bagi para Londoners.
Meski berusaha mati- matian mendekati masyarakat menengah bawah, citra Zac sebagai orang mapan tidak cukup menarik perhatian Londoners. Tidak itu saja, Zac dan timnya juga gagal mengembangkan strategi kampanye yang tepat. Ketika Khan sibuk membangun argumentasi yang solid tentang akan seperti apa London pada masa-masa datang, pada saat yang sama Zac dan timnya sibuk melakukan serangan personal (black campaign) kepada Khan dengan terus-menerus mengulik latar belakangnya sebagai seorang muslim.
Zac misalnya terus mengingatkan potensi anti-Yahudi kepada komunitas Yahudi dari sosok Khan, selain juga figur yang tidak menguntungkan bagi kalangan keturunan India, mengingat dirinya seorang Pakistani- Brit yang juga kelihatannya akan menaikkan pajak bagi barang-barang berharga dan termasuk perhiasan yang banyak dikelola oleh orangorang India.
Khan juga dicitrakan sebagai muslim moderat yang bersedia bekerja sama dengan kalangan fundamentalis Islam dan teroris. Uniknya, dalam konteks pemilihan kali ini banyak kalangan konservatif sendiri yang kecewa dan muak dengan strategi kampanye yang dipilih Zac.
Sebagian elite Konservatif, termasuk mantan pimpinan Partai Konservatif Lady Sayeeda Warsi mengutuk dikedepankannya kampanye negatif yang berpotensi memecah belah masyarakat London. Bahkan ada beberapa konservatif yang terang-terangan tidak memilih Zac. Tidak kurang Jemima Goldsmith, adik Zac, menyayangkan model kampanye abangnya dengan mengatakan tidak mencerminkan Zac yang dia tahu selama ini.
Situasi ini memberikan pelajaran lain bagi kita semua bahwa tema-tema yang mengedepankan sentimen-primordial selalu ada dalam momen-momen pemilihan politik, bahkan di negara Barat sekalipun. Ingat juga kasus Obama yang pernah dipersoalkan karena latar belakang keluarganya.
Kendati demikian, setidaknya dalam kasus terpilihnya Khan dan Obama, pengedepanan sentimen semacam itu gagal total. Baik Khan maupun Obama sekali lagi memperlihatkan kekuatan ide, pesona, dan daya tarik pribadi mampu mengungguli kampanye negatif berlandaskan primordial.
Kemenangan Khan mengisyaratkan dan memberikan pelajaran lagi kepada kita bahwa setiap orang hendaknya dilihat dan dinilai dari kemampuannya (termasuk apa yang telah dibuatnya), bukan dari warna kulit, keturunan, status sosial, dan hal lain yang tidak relevan.
Ini berarti pula seorang pemilih harus mampu dengan cerdas melihat calon pemimpinnya atas dasar kapabilitasnya, bukan primordialitas. Apalagi, terhipnosis oleh aksi-aksi sensasional hasil rekayasa tanpa makna. Saya percaya pada masamasa datang kita semua sebagai makhluk rasional dapat melakukan itu. Yes we Khan.
FIRMAN NOOR, PH.D
Peneliti Puslit Politik LIPI dan Dosen FISIP UI,
Saat ini Bermukim London
Sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=1&date=2016-05-12