Setiap kali partai politik melaksanakan kongres, muktamar, atau munas, salah satu isu yang menjadi sorotan adalah siapa pemimpin partai yang akan dipilih. Siapa yang akan menakhodai partai mendapat cermatan lebih karena posisi pemimpin partai memiliki pengaruh yang signifikan atas banyak aspek kehidupan partai.
Pemimpin partai bisa memainkan perannya dalam mendefinisikan dan mengamankan kebijakan-kebijakan partai (Andre Blais, 2011). Karena pentingnya posisi pemimpin seperti itu, mengharuskan partai tidak meleset dalam menentukan siapa figur yang layak mendudukinya karena masa depan partai juga menjadi pertaruhannya.
Dinamika internal
Figur yang diharapkan tentunya mereka yang memiliki sejumlah keunggulan kepemimpinan yang dibutuhkan partai, baik itu dari sisi integritas, platform, maupun rekam jejaknya. Juga apakah bertipe ideolog dengan sandang karismanya, pembangun konsensus, atau mungkin seorang bergaya kepemimpinan manajer. Alternatif pilihan seperti itu biasanya akan berkaitan dengan corak organisasi kepartaiannya. Untuk itu, setiap partai memiliki pertimbangan yang berbeda dalam memilih karakteristik pemimpinnya.
Mengingat partai bukanlah entitas monolitik yang meniscayakan adanya silang pendapat di dalamnya, maka untuk mendapatkan figur yang dipercaya memimpin tidaklah mudah. Sebagian partai melewatkannya dengan kompetisi internal yang tak jarang melahirkan kegaduhan, bahkan menyisakan pertentangan yang rumit. Untuk itu, kemampuan partai dalam mengelola kompetisi internal tersebut bisa mengurangi implikasi negatif yang menggerus masa depan partai. Dalam ruang ini, derajat institusionalisasi partai—termasuk kedewasaan para elite yang terlibat—jadi aspek yang bisa menentukan soliditas partai.
Proses pemilihan pemimpin partai sendiri, yang dalam sejumlah literatur dinilai sebagai salah satu bentuk implementasi demokrasi internal, setidaknya mensyaratkan adanya transparansi dan partisipasi anggota partai. Hal tersebut dimaksudkan bahwa seluruh proses pemilihan berlangsung terbuka, akuntabel, dan sesuai dengan mekanisme yang diatur rumah tangga partai. Tidak hanya itu, dimungkinkan proses pemilihan memberikan kesetaraan bagi siapa pun untuk maju dalam kompetisi. Tidak kalah penting untuk dipertimbangkan adalah semua anggota partai dipastikan memiliki suara berpartisipasi dalam pemilihan.
Meskipun mekanisme pemilihan sering kali disesuaikan sedemikian rupa dengan aturan partai, bukan tidak mungkin ditemui beragam praktik yang mencederai. Antar-kelompok pendukung kandidat pemimpin bisa saling jegal, baik melalui rekayasa atas celah-celah aturan pemilihan maupun melakukan praktik politik transaksional atau politik uang. Terlebih bagi kelompok oligarki, praktik buram semacam itu bisa dilakukan dengan tujuan melanggengkan dominasi kekuasaannya di partai dengan cara apa pun.
Ketika beragam praktik pencederaan terjadi, proses pemilihan pemimpin jadi manipulatif. Secara prosedur barang kali bisa dianggap cukup memenuhi persyaratan pemilihan, tetapi dari sisi substansi—bahwa dengan menerapkan demokrasi internal akan memiliki kesempatan memilih kandidat yang memiliki kecakapan untuk memimpin partai, yang bisa merumuskan kebijakan-kebijakan partai yang sekiranya nanti bisa memberikan keuntungan positif di pemilu—sulit didapatkan. Sebab, partai akan memperoleh pemimpin yang keterpilihannya sejak awal didorong aneka proses ketercelaan.
Kompetisi internal pemilihan pemimpin semestinya juga tidak cukup berhenti pada aspek transparansi dan derajat partisipasi anggota dalam bersuara. Partai juga perlu mengarahkan pada tilikan mengenai bekal utama kepemimpinan apa yang dibawa para kandidat yang akan memimpin partai. Bekal kepemimpinan ini terutama tentang visi dan gagasan besarnya, sikap dan pandangan politiknya, yang kemudian membuat pemimpin itu bisa mengarahkan kompas pandu akan dibawa ke mana partainya.
Sering kali karena minimnya perbincangan mengenai hal-hal yang mendasar dalam proses pemilihan tersebut membuat isu- isu di luar itu bisa menimbun. Sebagai gantinya,momentum pemilihan pemimpin partai lebih disesaki isu-isu politik uang ataupun gelaran adu kuat antar-pendukung semata. Minim sekali ditunjukkan kompetisi gagasan yang produktif. Padahal, pada setiap kali pemilihan pemimpin semestinya juga sekaligus ajang tawaran akan ide perubahan apa yang akan dilakukan dalam rentang periode kepemimpinan ke depan. Inilah yang kerap absen dalam proses pemilihan.
Momentum bagi partai
Selain itu, terdapat faktor lain yang perlu dicermati, yakni situasi kekinian internal partai. Partai yang internalnya relatif solid dan tak mengalami ancaman perpecahan akan berbeda dengan partai yang situasi internalnya cenderung berkebalikan. Pada kondisi yang terakhir, kandidat pemimpin yang dibutuhkan tidak saja mereka yang mampu memulihkan kondisi partai, lebih jauh juga mereka yang bisa menjamin bahwa keterpilihannya akan jadi daya tarik pihak-pihak yang berseberangan untuk bisa duduk bersama dengan nyaman. Bukan potensi sebaliknya, keterpilihannya justru akan menumbuhkan bibit perselisihan baru.
Tidak bisa juga diabaikan adalah faktor eksternal: bagaimana citra partai di mata publik. Citra partai terbangun salah satunya melalui kinerja partai dan pemimpinnya. Sebagiannya bahkan muncul dengan pengidentikkan bahwa wajah partai sedikit banyak juga merupakan wajah ketua umumnya. Ketika citra partai pada posisi yang tidak menguntungkan, kehadiran kandidat- kandidat pemimpin akan dipertautkan dengan ujian apakah mereka bisa menaikkan citra partai ke arah yang lebih baik. Dalam artian, penerimaan publik akan pemimpin partai terpilih juga dikaitkan perolehan suara partai di pemilu berikutnya.
Momentum memilih pemimpin partai dengan demikian menempatkan partai pada timbangan kelangsungannya di kemudian hari. Di sisi lain, keberhasilan melewati tahapan itu sekaligus menguji bagaimana kualitas demokrasi internal di partai. Tidak mudah bagi partai untuk bisa bersaing dalam kompetisi elektoral ketika partai ternyata gagap dalam melaksanakan ujian awal dalam memilih pemimpinnya. ●
Ridho Imawan Hanafi ; Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
Sumber: Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul “Memilih Pemimpin Partai”