Belum lama ini kawasan Timur Tengah kembali menghangat seiring dengan pemutusan hubungan diplomatik sejumlah negara Teluk, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain terhadap Qatar. Blokade serta penutupan wilayah baik udara, laut maupun darat diberlakukan untuk semua akses transportasi menuju Qatar. Negara-negara GCC di bawah pimpinan Arab Saudi mengklaim bahwa Qatar talah mendukung dan mendanai gerakan Islam radikal di berbagai negara. Sebenarnya apa yang terjadi ini tidaklah begitu mengejutkan, berhubung pada tahun 2002, Arab Saudi pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Kasus serupa juga pernah terjadi pada tahun 2014, ketika negara pendukung Saudi, seperti Bahrain dan UEA ikut menarik Duta Besarnya dari Doha. Konflik perbatasan yang belum selesai serta sengketa pulau dengan negara sekitar, memicu semakin panasnya krisis politik Qatar. Krisis diplomatik Qatar saat ini pun sudah diprediksi oleh Tim Agama dan Politik, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2016. Krisis terjadi akibat Qatar tidak mengindahkan norma-norma yang telah dibangun di kawasan, sehingga membuat negara-negara disekitarnya menjadi “gerah”.
Untuk membahas hasil penelitian tersebut secara lebih dalam, pada Senin 19 Juni 2017, Pusat Penelitian Politik (P2P) bekerjasama dengan Kedeputian Bidang IPSK dan BKHH LIPI, menyelenggarakan Media Briefing untuk sharing knowledge dengan para awak media massa nasional dan para peneliti terkait hasil penelitian Tim Agama dan Politik, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI tentang Qatar dan Krisis Diplomatik Terkini di Timur Tengah”. Hadir sebagai narasumber, yaitu Drs. M. Hamdan Basyar, M.Si dan Nostalgiawan Wahyudhi, MA, dua peneliti Agama dan Politik P2P LIPI. Acara ini dibuka oleh Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, selaku Deputi IPSK LIPI.
Bertindak sebagai pembicara pertama, peneliti senior LIPI, Drs. Hamdan Basyar, M.Si menyampaikan analisisnya tentang sosio-politik dan keagamaan di Qatar. Menurutnya, penelitian tentang Qatar merupakan basis of the research dari Tim Agama dan Politik P2P LIPI yang dilakukan pada tahun 2016. Dari hasil temuan tim, terindikasi adanya potensi yang muncul kepermukaan saat ini. Lebih lanjut mas Hamdan mengutarakan bahwa dilihat dari sisi geografis, Qatar adalah sebuah negara yang berbatasan dengan Arab Saudi, namun karena punya akses laut yang luas, sepertinya blokade tidak begitu berpengaruh terhadap Qatar. Sementara itu, dalam konteks keagamaan, Qatar menganut mazhab Wahabisme, namun tidak persis sama dengan Wahabisme yang ada di Arab Saudi. Ketika mazhab Wahabi berusaha untuk melebarkan sayapnya di wilayah Arab termasuk di wilayah hasta di pinggiran pantai, daerah ini tidak berkenan dengan penyebaran paham Wahabi, sehingga mereka mengungsi ke beberapa wilayah lainnya, termasuk Qatar. Akibatnya, pada tahun 1975 terjadi kericuhan antara Qatar dan Arab Saudi karena persoalan mazhab. Wahabi yang dianut Qatar adalah Wahabi yang lebih moderat, sampai ada istilah “Wahabism the Sea dan Wahabism of the Land”. Jika diibaratkan Qatar adalah “Wahabism of the Sea”, terang mas Hamdan.
Hubungan Wahabisme di Qatar dan Arab Saudi, meski memiliki kesamaan pemikiran dengan pendirinya Muhammad bin Abdul Wahhab, namun dalam prakteknya di Qatar lebih terbuka. Karena itu, tidak mengherankan jika mayoritas Wahabisme di Qatar menerima dengan terbuka tokoh fenomenal Ikhwanul Muslimin (IM), Yusuf Qardhawi seorang ulama yang terusir dari Mesir yang kemudian dilindungi rezim monarki Qatar. Yusuf Qardhawi difasilitasi dan diberikan kemudahan dalam menyebarkan pemikirannya. Inilah yang kemudian menjadi persoalan dalam keagamaan, khususnya bagi Saudi, dimana ada pengikut Wahabi yang mendukung pemikiran Qardhawi.
Lebih lanjut mas Hamdan menyatakan, bahwa di wilayah Teluk, yang paling kuat hegemoninya adalah Arab Saudi dan semua negara sekitar tunduk pada Saudi, termasuk Qatar, namun Qatar selalu menjadi negara yang kerap bermanuver dan ingin beda. Karenanya, kerap terjadi persoalan dengan Arab Saudi. Pada tahun 2002, misalnya, Arab Saudi pernah menarik Dubesnya dari Qatar, karena manuver kantor berita Aljazeera, begitu juga pada tahun 2014, Saudi dan pendukungnya menarik Dubesnya dari Doha. Krisis saat ini dapat dikatakan lanjutan dari konflik hubungan kurang mesra Qatar dan negara sekitarnya.
Sementara itu, pembicara kedua, Nostalgiawan Wahyudhi, MA, menyatakan bahwa krisis diplomatik Qatar tidak begitu mengejutkan, berhubung tidak ada manuver yang berarti dari rezim monarki baru. Melalui hasil analisisnya, mas Wawan menyampaikan, bahwa ketika isu blokade diplomatik terjadi di Timur Tengah dan banyak media massa di Barat yang mengatakan krisis terjadi karena adanya Fake Statement dari Syeikh Tamim, muncul pertanyaan, benarkah Fake Statemen tersebut menjadi sumber utama keributan diplomatik di Timur Tengah, apakah kawat diplomatik tidak berfungsi sama sekali, sehingga keretakan diplomatik negara sekitar terhadap Qatar terjadi sekarang, dan apakah ketegangan diplomatik pilihan rasional ditengah pergolakan yang terjadi di Timur Tengah, apakah ketegangan ini akan berujung pada perang, dan bagaimana sikap Indonesia dalam menyikapi konflik ini.
Alumnus IIUM Malaysia ini mengatakan, bahwa Qatar adalah negara kecil yang kemudian menjadi negara yang diperhitungkan. Posisi Qatar sangat strategis sebagai kawasan jalur lalu lintas minyak dunia yang mencapai 1412,4 juta barel. Melalui investasi dana yang besar melalui proyek LNG, Qatar pun menjadi negara dengan GDP perkapita tertinggi di dunia.
Selain itu, secara teologis Qatar memiliki kesamaan dengan Saudi, yakni penganut Sunni dan pendukung Wahabi, bahkan nenek moyang mereka adalah dari Bani Tamim, yang sama dengan Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Wahabi dan menjadi mayoritas di Qatar. Namun, Qatar memiliki tipologi keagamaan yang berbeda, yaitu Wahabi pesisir yang dihadapkan pada realitas untuk membuka diri atau moderat. Menurut peneliti muda ini, persinggungan Qatar dengan gerakan Islam moderat, seperti Ikhwanul Muslimin (IM) terjadi pada era 1950-an, ketika banyak guru maupun dosen dari Mesir yang berhaluan IM didatangkan ke Qatar, sehingga banyak tersebar pemikiran IM di kalangan masyarakat Qatar. Keterbukaan Qatar pun menurut mas Wawan, semakin terlihat ketika Qatar menerima ulama fenomenal IM, Syeikh Yusuf Qardhawi. Fenomena Yusuf Qardhawi pun melejit ketika diorbitkan oleh Aljazeerah.
Lantas, kenapa IM tidak berkembang di Qatar, seperti di tempat asalnya Mesir? Dalam hal ini ada sejumlah poin yang dikemukakan mas Wawan. Pertama, gerakan Islam cenderung tumbuh di negara memiliki kesenjangan sosial, ekonomi politik yang tinggi dan dihadapkan pada iklim politik otoritarian dan kemiskinan yang akut dan pengaguran. Kedua, keberadaan IM di Qatar dibatasi oleh regulasi dan kurikulum pendidikan yang diatur pemerintah, sehingga guru dan dosen dari luar tidak mempunyai ruang yang luas di sektor keagamaan, mereka mempunyai keterbatasan secara politik dan ekonomi. Institusi keagamaan pun belum terbentuk di Qatar dan selalu berada di bawah pengawasan Emir.
Terkait krisis diplomatik Qatar, mas Wawan menyatakan, bahwa krisis pertama kali terjadi ketika ada politik intervensi Saudi terhadap Qatar, khususnya saat Syeikh Hamad melakukan kudeta terhadap ayahnya, Syeikh Khalifa yang dekat dengan Saudi, sehingga monarki Saudi melakukan manuver untuk mengarahkan keluarga Emir untuk melakukan kudeta secara internal tetapi gagal. “Jadi jika saat ini ada pemutusan diplomatik, sejak awal sudah ada konflik yang sedemikian dalam”, ujar mas Wawan.
Menurut mas Wawan, dengan adanya pengucilan, justru menjadi inspirasi Syeikh Hamad untuk mengeluarkan kebijakan luar negeri yang berbeda dengan Saudi. Qatar pun selalu hadir sebagai mediator di berbagai wilayah konflik, baik intra maupun internasional, seperti konflik di Lebanon yang melahirkan Doha Accord, konflik di Palestina, Yaman, Libya, Djiboti maupun Eritria, bahkan ketika terjadi konflik di Afganistan Qatar mampu memediasi AS dan pemimpin Taliban.
Dalam hal hubungan dengan Saudi, mas Wawan lebih lanjut menyatakan, bahwa Qatar telah melakukan standar ganda. Dalam kasus Libya, misalnya, Qatar bekerjasama dengan Saudi kerap mempersenjatai kelompok oposisi, termasuk membangun aliansi untuk menyerang kelompok Al-Houti. Disamping itu, Qatar kerap melakukan aksi tunggal, seperti bantuan kemanusiaan dan mendukung kelompok oposisi pro demokrasi di wilayah konflik, seperti pada saat terjadinya Arab Spring dimana Qatar mendukung kelompok Ikhwanul Muslimin. Aljazeera dijadikan Qatar sebagai corong pendukung gerakan Arab Spring dan menjadi konsumsi publik Timur Tengah. Banyak opini dari Aljazeera yang dapat merubah opini publik Timur Tengah. Bagi negara Arab lainnya, apa yang dilakukan Qatar adalah dukungan terhadap gerakan separatis dan makar terhadap pemerintah. “Dua presepsi ini yang menyebabkan Qatar dianggap sebagai duri dalam daging”, ujar mas Wawan.
Menurut mas Wawan, dalam jangka panjang, pemutusan diplomatik terhadap Qatar akan berdampak pada konflik yang sangat serius, tapi tidak sampai terjadi adanya konflik militer, karena anggaran militer Qatar sangatlah kecil dan sepertinya Qatar akan lebih mengedepankan jalur diplomasi dibandingkan perang.
Di akhir paparannya, mas Wawan menyinggung posisi Indonesia dalam krisis diplomatik Qatar. Menurutnya, Jokowi harus lebih serius membangun jalur-jalur diplomatik ke Timur Tengah yang terputus sejak jatuhnya presiden Soekarno. Indonesia harus bisa mengambil posisi yang netral dan tidak berisiko untuk merajut kembali hubungan diplomatik negara Teluk dengan Qatar. Indonesia bisa menggandeng kekuatan dunia Internasional untuk gerakan rekonsiliasi antara Qatar dengan sejumlah negara yang bersengketa. Dalam hal ini, Indonesia bisa menawarkan diri menjadi negara fasilitator perdamaian bukan sebagai mediator. (M. Fakhry Ghafur)