Tradisi Tionghoa terutama berdasarkan pemujaan leluhur tidak berbeda secara mendasar dengan animisme. Permainan ritual dan seaji yang njlimet yang bertujuan menyenangkan arwah leluhur. Meskipun dalam bentuknya yang resmi yakni Konfusius, kepercayaan itu sangat halus dan bermoral, ternyata terdapat sekian banyak versi rakyat, khususnya di Fujian, yang sangat dipengaruhi oleh syamanisme, yang juga sangat penting di Asia Tenggara. Kemudian kepercayaan itu ditambah dengan pemujaan beberapa tokoh historis yang dianggap sebagai pahlawan.

Pada abad ke-20 Islam ortodoks, dan juga gerakan politik, berusaha menuduh kepercayaan Tionghoa sebagai takhayul asing dan menyebut klenteng-klenteng yang atapnya bercula dua sebagai tempat yang aib. Namun, sesungguhnya tidak perlu menengok jauh ke masa silam untuk melihat bahwa klenteng-klenteng itu mash berfungsi sebagai titik penggabungan spiritual dan kultual, tidak hanya di mata kaum peranakan tetapi juga di mata rakyat jelata yang tinggal di sekitar klenteng.

Beberapa di antara klenteng kuno di Jawa yaitu, klenteng Gedung Batu dekat Semarang an kelenteng Ancol dekat Jakarta, merupakan tempat ziarah bagi banyak orang Jawa atau Sunda yang datanfg bersemedi di makam-makam yang dianggap sebagai tempat peristirahatan terakhir para pengawal Laksamana Sampo, atau Zheng He. Di Ancol, pada masa silam, penduduk muslim yang saleh begitu banyaknya sehingga sejak awal dilarang untuk memberi sesaji berupa daging babi (Cl. Salmon & D. Lombard, MSH, 1980). Sebelum tahun 1966, saat klenteng-klenteng itu dilarang berfungsi, arak-arakan keliling kota yang mempertontonkan patung-patung dewa utama dari setiap klenteng, yang diletakkan di atas tandu, merupakan kesempatan bagi pesta pora kolektif dan merakyat, serta bukan hanya orang Tionghoa yang berperan serta. Di kota-kota besar dan di kampung-kampung penanggalan Tionghoa memberi irama berbagai pesta seperti juga penanggalan Islam. Tahun baru dimulai dengan pesta capgome, hari kelima belas dari bulan pertama, biasanya jatuh pada bulan Februari, dan banyak orang Indonesia masih ingat barongsay, transposisi Jawa dari Singa Tionghoa (Cl. Salmon & D.Lombard, BEFEO LXII, 1975), yang diarak di jalan-jalan. Kemudian datang pecun atau pesta perahu yang diadakan pada hari kelima dari bulan kelima untuk memperingati pengorbanan Qu Yuan. Di semua kota Pesisir, khususnya di Tangerang, Jakarta, dan Tegal pesta itu merupakan kesempatan perlombaan perahu yang sangat meriah. Pesta-pesta itu telah hilang. Namun ritus antik Budha, avalambana, masih diperingati, berlangsung di halaman setiap klenteng pada hari kelima belas dari bulan ketujuh, sekitar bulan Agustus. 1401. Peringatan itu bertujuan menenangkan arwah penasaran dari mereka yang matu tanpa kubur yang jelas atau tanpa upacara yang memadai. Untuk memberi makan arwah-arwah itu, hidangan besar diletakkan di atas panggung-panggung besar. Dan ketika isyarat telah dberikan, kaum fakir dari sekitar tempat itu datang, menyerbu makanan tersebut. Untuk menghindari rebutan yang sering terjadi, makanan dibagi-bagikan secara teratur. Setiap orang miskin menerima kupon dan antre untuk menerima bagiannya.  

Berkat penyelenggaraan pesta-pesta yang semarak dan ritus-ritusnya yang mengesankan berjalan di atas bara dan pertunjukan trans, klenteng-klenteng Tionghoa yang selalu terbuka untuk siapapun, tampaknya masih berfungsi sebagai titik-titik yang menarik pengunjung dari pada sebagai ruang yang tertutup. Karena sangat terbuka terhadapa lingkungannya, di dalam klenteng-klenteng itu sering kali terdapat patung-patung setempat yang sama sekali tidak dikenal di dalam tradisi Tionghoa. Oleh sebab itu di dalam suatu kajian sistematis atas klenteng-klenteng di Jakarta, didapati bahwa di antara 115 dewa atau pahlawan yang dipuja, ada 23 dewa yang berasal dari Jawa atau Sunda.

Keterbukaan itu menjelaskan mengapa didapati kembali pengaruh Tionghoa, di luar klenteng, bahkan di batas-batas kebatinan Jawa. Faktanya jelas terlihat di Jawa Timur, karena tampaknya Komunitas Tionghoa sejak lama telah berperan serta di dalam spiritualitas. Di beberapa klenteng di Tuban dan di Surabaya didapati patung kuno Majapahit misalnya Durga yang diurus dengan cermat dan dipamerkan untuk dapat dipuja oleh para pengikutnya. Denys Lombard (2008: 331) menyebutkan tiga tokoh, di antara mereka yang paling menggambarkan sintesis itu. Pertama adalah Mbah Jugo (Denys Lombard, 2008: 331), yang nama Tionghoanya sudah dilupakan karena sudah sedemikian melembaga dengan namanya yang baru.  Ia dilahirkan di Tiongkok. Karena terlibat dalam revolusi Taiping, ia melarikan diri ke Jawa sekita tahun 1850 dan mengasingkan diri ke Gunung Kawi, dekat Kota Malang. Ia segera dikelilingi para murid baik peranakan maupun Jawa. Setelah wafat pada 1879, pertapaannya menjadi tujuan sejumlah besar peziarah. Sekarang ini, beribu-ribu orang Tionghoa dan Jawa datang memohon kepada Mbah Jugo agar permohonan mereka dikabulkan. 1403. Yang kedua adalah Cekong Mas atau Kiai Mas, seorang keturunan keluarga kaya Han di Surabaya yang pada sekitar abad ke-19 memilih memeluk agama Islam dan mengasingkan diri di Prajekan sebelah selatan Situbondo, dipojok timur Pulau Jawa. Ia juga mempunyai banyak murid. Ia menulis syair yang isinya pencarian spiritual. Setelah ia meninggal, makamnya, seperti juga makam Mbah Jugo, sangat sering dikunjungi peziarah. Yang ketiga adalah Tan Khoen Swiey, yang lahir pada tahun 1884 di Kediri, yang pada awal abad ke-20 membuat karya besar dengan menulis berbagai teks spiritual yang paling beragam khususnya sejumlah besar primbon Jawa (Leo Suryadinata, 1981: 130-131).

Peneliti Adalah Pusat Penelitian Sumber Daya Regional LIPI