Masyarakat Tionghoa memperkenalkan beragam masakan, hidangan dan kiat-kiat pengawetan makanan. Hal itu wajar jika diingat kembali pada masa silam, masa lampau, awal abad ke-20. Bahwa, hampir di setiap kota di Nusantara, restoran dikelola oleh orang Tionghoa. Kuasi-monopoli itu hanya disisipi sedikit oleh rangkaian restoran Padang, yang sejak beberapa tahun dikelola oleh orang Minangkabau, dan di Jawa, disisipi oleh warung sederhana yang terbuka. Yang penting disini adalah bahwa masakan yang dihidangkan tidak benar-benar eksotis. Hanya beberapa Muslim saleh yang menolak makanan Tionghoa karena ada risiko bahwa daging yang dimasak dan minyak yang digunakan di situ berasal dari babi. Dalam bentuk yang lebih sederhana dan merakyat, masakan Tionghoa ditawarkan di jalan-jalan oleh para penjaja dengan pikulan. Masakan tertentu yang asalnya khas Tionghoa, seperti soto ayam dan soto babat, telah menjadi bagian masakan setempat. Di Jawa, pakar soto yang paling ahli, sebenarnya dewasa ini adalah orang Madura.
Namun ialah fakta bahwa dalam kelengkapan masak-memasak masakan Jawa, banyak alat yang berasal dari Tionghoa. Kecuali cobek dan ulegan yang digunakan untuk membuat sambal, dan besek serta barang anyaman lain yang digunakan untuk membuat nasi, semuanya atau hampir semuanya berasal dari Tionghoa. Baik bentuk maupun seriang kali buatannya. Tidak hanya berbagai wadah dari keramik, yang terutama digunakan untuk tempat air dan berbagai bahan. Tetapi kuali atau penggorengan, dan terutama pisau dan golok yang berkat beratnya memungkinkan untuk mengiris bahan menjadi kecil-kecil. Perlu dicatat juga bahwa anglo yang terbuat dari tembikar dan menggunakan bahan bakar arang, mengingatkan kita pada tungku di Fujian. Dan di antara istilah teknik yang menunjuk tipe-tipe utama cara memasak, tiga berasal dari bahasa Tionghoa: ca, tim, dan kuah, di samping goreng dan panggang serta bakar, yang merupakan istilah Nusantara.
Dari pada memrinci banyak makanan yang namanya mengesankan kata-kata Tionghoa, yang dikonsumsi terutama di restoran, dan yang pada umumnya masih diketahui asalnya seperti puyonghai, atau capcai, lebih baik di majelis cerita ini ditekankan berbagai masakan khas yang hampir seluruhnya melembaga.
Dapat disebutkan empat paling merata: mi, pangsit, tim sum, dan bakso. Jangan dilupakan bahwa mi merupakan makanan yang sekaligus bergizi dan cara mengawetkan yang sangat berguna. Penggunaannya di Jawa sudah ada sejak zaman Majapahit, karena istilah laksa, yang masih digunakan di Semenanjung Malaka untuk menyebut semacam bihun, muncul dalam sebuah piagam yang bertahun 1391. Kata laksa itu kemungkinan berasal dari India. Tetapi, kecuali kata itu, seluruh kosakata yang kaya di sektor masakan yang khas itu berasal dari Tionghoa. Mi (mian) adalah istilah umum untuk menyebut mi dari tepung beras maupun dari tepung terigu. Bihun (mifen) dan misoa (mianxian) terbuat dari tepung beras. Lomi (lumian) dan kuetiao (Guotiao) termasuk jenis mi lebar yang berasal dari Fujian. Pangsit (bianshi), arti harfiahnyanya makanan lonjong. Anehnya, kata itu dalam Bahasa Tagalog menunjuk apa yang dalam Bahasa Melayu disebut mi. Mi biasanya direbus atau digoreng. Mengenai tim sum, jenisnya sangat beragam. Dapat disebutkan di sini misalnya bapao (roubao), bacang (rouzong), lumpia (nunbing). Terakhir bakso yang ada dua macam. Baso (rousu), dan kekian, yaitu campuran cacahan udang dan tepung terigu yang digoreng.
Di sini perlu disebutkan kembali peran kedelai dan produk-produk yang dihasilkannya, sebagai makanan pokok dan bergizi tinggi, seperti tahu dan tempe, oncom, maupun pelezat kasakan dengan berbagai rasa yakni tauci, tauco, dan kecap.
Mohon jangan diabaikan kudapan manis beraneka jenis yang dibuat dari ketan, santan, dan gula merah. Ketiga bahan dasar itu merupakan warisan Budaya Jawa dan kombinasinya jelas dikenal sebelum pengaruh dari luar. Meskipun demikian. Satu-satunya istilah yang dikenal dalam Bahasa Melayu dan Jawa adalah kue, yang tidak lain berasal dari Bahasa Hokkien ge, Bahasa Mandarin guo. Boleh dibilang bahwa para tukang kue Tionghoa menyumbang banyak di dalam mengembangkan variasi yang dewasa ini tersebar luas dari pada yang disebut kue basah artinya kue segar, yang banyak di antaranya dibungkus dengan duan pisang atau pandan, atau dikusus.
Selain itu tradisi Tionghoa Selatan dalam kudapan manisan buah, yang disale atau direndam, dan gula-gula pada umumnya. Sebagian tradisi itu kurang lebih identik dengan manisan, sangat dikenal di Jawa. Nama manisan dari kata dasar manis dan manakal nama teknik dari kue khas ternyata berasal dari Bahasa Vina, pastilah resepnya datang dari Fujian atau Guangdong. Sebagai contoh hunkue (fenguo) atau kue dngan bahan dasar tepung kacang ijo. Muaci, maci, atau kue dengan wijen, kiambue, xianmei atau prun asin, kuaci (guazi) atau biji semangga yang dikeringkan. Etimologi nama kudapan yang tidak jelas dapat menimbulkan keragu-raguan. Masalah itu timbul misalnya pada kata cendol atau pada kata dodol yang lazimnya dibuat dengan bahan dasar durian, yang didapati di seluruh Asia Tenggara.
Masyarakat Tionghoa sejak lama datang di Laut Tionghoa Selatan untuk mengambil sarang burung dan tripang, sirip hiu, dan abalon yang berkhasiat menguatkan badan dan bentuknya seperti agar-agar atau agak lengket dan sangat dicari.
Terakhir Es. Di masa silam Es adalah lambang kenyamanan yang sudah mutlak di negeri tropis ini. Orang Tionghoa meminati perdagangan Es dan kemudian juga pembuatan produk yang sangat dicari nitu. Pada pertengahan abad ke-19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berblok-blok es ke beberapa pelabuhan besar di Nusantara, dan nampak bahwa sekitar tahun 1869 keluarga-keluarga kaya di Batavia hanya minum air yang berasal dari es mencair, yang didatangkan dari Boston.
Prosedur pembuatan amoniak, temuan Eropa, diimpor ke Jawa sekitar tahun 1880 dan suksesnya yang cepat segera memutarbalikkan kondisi penyimpanan bahan cadangan. Dalam sepuluh tahun, pabrik es berlipat ganda di kota-kota besar dan kebiasaan minum minuman dingin menyebar lebih luas. Tahun 1895 musafir Prancis, Delmas, singgah di Batavia mencicipi segelas besar sidre syampanye, minuman lezat, yang dibuat dengan buah-buahan negeri itu, es dan soda. Dan sekitar akhir abad ke—19, ChailleyBert mencatat dengan agak melebih-lebihkan bahwa didapati es dari ujung ke ujung Pulau Jawa, sampai ke gunung, sampai ke desa. Pada awalnya perusahaan es adalah milik Masyarakat Eropa. Namun dengan sangat cepat Masyarakat Tionghoa pandai memanfaatkan prosedur baru itu.
Salah satu pelopor dalam bidang ES adalah pengusaha dari Semarang Kwa Wan Hong lahir tahun 1861. 1374. Ayahnya dilahirkan di Tionghoa dan pernah menjadi sekretaris Walikota dan ia sendiri kemungkinan besar telah mendapat pendidikan yang cukup baik. Mula-mula ia menekuni usaha dalam pengusahaan kayu, kemudian kapur. Pada tahun 1895 ia mendirikan N.V. Ijs (dibaca Es) Fabriek Hoo Hien, yang memperoleh sukses besar di kota kelahirannya. Kemudian ia mencoba membuka pabrik limun, kemudian percetakan. Namun pada tahun 190 ia kembali ke usaha es membangun tiga pabrik di Semarang, Tegal, dan Pekalongan. Hasilnya demikian positif sehingga ia membangun dua lagi di Surabaya, taka kemudian, yaitu pada tahun 1924 alu 1926. Pabrik terakhir yang didirikan di wilayah Pasar Turi menelan biaya tidak kurang dari 280.000 gulden. Terakhir pada tahun 1928 Raja Es itu menetap di Batavia, di wilayah Rawa Bangke, yang harga tanahnya masih terjangkau. Untuk menyindir, ia memberi nama pabriknya N.V Ijs (dibaca ES) Fabriek Rawa Bening. Uang yang diperolehnya dari usaha itu membantu beliau untuk berperan secara giat dalam berbagai usaha sosial dan budaya dan pendidikan Tiong Hwa Hwe Koan. Beliau muncul sebagai salah seorang tokoh besar di dalam kelompoknya. Pada awal tahun 1970-an meskipun penggunaan lemari es listrik maju dengan cepat, kebiasaan membeli es setiap hari pada orang Tionghoa masih sangat luas.
Sumber Bacaan
Philip Leo, Chinese loanwords spoken by the inhabitants of the city of Jakarta, Lembaga Research Kebudayaan Nasional, L.I.P.I. 1975
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Bagian 2, Jaringan Asia, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
Penulis adalah peneliti Pusat Sumber Daya Regional LIPI