Salah satu cara mengukur kinerja KPU adalah dengan melihat pada jumlah surat suara terpakai di hari pemungutan suara. Dengan kata lain, tingkat partisipasi pemilih menjadi indeks keberhasilan kerja  KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Mendekati penyelenggaraan pemilu legislatif 2014, KPU semakin giat melakukan sosialisasi kepada pemilih. Dalam sosialisasi mutakhirnya, KPU menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan kampanye agar pemilih tidak menggunakan hak pilihnya (Kampanye Golput) diancam pidana.

Secara yuridis, Larangan kampanye Golput tercantum dalam Pasal 301 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UU nomor 8 tahun 2012. Aturan ini pada pokoknya tidak berbeda dengan aturan hukum yang menjadi dasar pemilu 2004 dan pemilu 2009. Yang membedakan hanya ukuran ancaman pidana yang dikenakan pada pelaku pelanggaran. dalam UU 8 tahun 2012 yang menggantikan UU nomor 10 tahun 2008 dan UU nomor 23 tahun 2003, pidana bagi pelaku kampanye golput bersifat kumulatif. Artinya, ancaman pidananya tidak hanya dengan pidana penjara tetapi juga disertai pidana denda. Akan tetapi, besaran denda dan masa hukuman dibedakan berdasarkan tempus delicti-nya.

Jika dilakukan dalam periode kampanye, ancaman penjara bagi pelaku adalah paling lama dua tahun sedangkan denda yang dikenakan paling banyak 24 juta rupiah. Lain lagi jika dilakukan pada masa tenang. Pada masa itu, pidana yang diancamkan lebih berat yaitu penjara paling lama empat tahun sedangkan denda paling banyak 48 juta rupiah. Terakhir, jika dilakukan tepat di hari pemungutan suara, ancaman penjara bagi pelaku adalah paling lama tiga tahun sedangkan denda yang dikenakan paling banyak 36 juta rupiah.  

Sebenarnya larangan kampanye Golput dan pengelompokkannya sebagai pelanggaran pidana pemilu diundangkan pada tahun 2003 dan diberlakukan pada pemilu 2004. Keputusan pembuat UU yang memasukkan kampanye golput sebagai tindak pidana pemilu merupakan politik hukum pembuat UU agar tujuan penyelenggaraan pemilu dapat tercapai (Supriyanto, 2008). Artinya,  para pembuat UU telah melihat atau setidaknya memperkirakan bahwa kampanye golput memiliki potensi yang dapat menghambat tercapainya cita cita diselenggarakannya pemilu.

Selain itu, dalam catatan pembahasan rancangan UU Pemilu, pengenaan hukuman pidana bagi pelaku kampanye golput dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Tingkat partisipasi pemilih ini diyakini berbanding lurus dengan tingkat legitimasi publik terhadap pejabat yang dihasilkan melalui proses pemilihan umum. Hal tersebut menjadi penting terutama untuk mewujudkan stabilitas pemerintahan karena ditopang oleh kepercayaan penuh dari pemilih pada wakil-wakilnya di pemerintahan.

Jika dikaitkan pada filosofi pengundangannya, ketentuan pidana bagi pelaku kampanye golput adalah larangan yang sifatnya mengarahkan tindakan manusia untuk menciptakan kebaikan ditengah masyarakat. karena sifatnya itu, pembuat UU seharusnya mempertimbangkan nilai kepatutan dan kebermanfaatan dari aturan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat filsuf, Jeremy Bentham, yang menyatakan bahwa penggolongan suatu tindakan kedalam pelanggaran atau kejahatan harus didasari pada prinsip kebermanfaatan (Bentham, 2010). Ditinjau dari perspektif hukum pidana, pengenaan pidana bagi pelaku kampanye golput merupakan over-criminalization yang melanggar prinsip-prinsip legislasi.

Dalam prinsip legislasi, hukuman harus disesuaikan dengan tujuan penghukumannya. Jika berlebihan, tidak hanya kejahatan yang sangat berlebihan yang tercipta, tetapi juga mengakibatkan banyak sekali masalah yang mengganggu tujuan pelaksanaan hukuman itu karena sudah melenceng dari kaedah tujuan legislasi (Bentham, 2010).

Dalam khasanah ilmu hukum pun, pidana hanya digunakan sebagai senjata terakhir untuk meminta pertanggungjawaban pelaku (Beccaria, 2011). Artinya, pembuat UU seharusnya tidak langsung meng-kriminalisasi setiap tindakan yang dianggap berbahaya dan atau mengganggu keterlaksanaan pemilu.

Lagipula, dalam konteks perpolitikan kita, menurut Yanuarti, gerakan kampanye golput ini muncul pada tahun 70-an sebagai counter culture untuk menggugat sistem politik yang ada. Bahkan, tingginya jumlah pemilih golput pada pemilu tahun 2004, disebabkan oleh kekecewaan pemilih terhadap kinerja politik dan tidak profesionalnya cara-cara pengelolaan pemerintahan oleh partai yang berkuasa (Yanuarti, 2008).

Terlebih lagi, dalam pemilu, apa yang diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan kepentingan perorangan secara langsung, betapapun itu menyangkut kepentingan umum yang luas. Untuk itu, peningkatan partisipasi pemilih harusnya dilakukan melalui perbaikan kinerja pemerintahan dan kualitasperformance partai politik dalam memperjuangkan aspirasi pemilih di parlemen. Bukan dengan cara instan melalui instrumen hukum yang berlebihan.

Dalam perkembangannya, tingginya angka golput diyakini tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat kepuasan pemilih terhadap kinerja parpol. Yanuarti berpendapat bahwa terdapat pergeseran faktor penyebab pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Pada pemilu masa orba dan awal reformasi dipengaruhi oleh sikap politis kritis seorang terhadap sistem politik dan kondisi pemerintahan yang berlangsung, sedangkan pada pemilu 2009, tingginya angka golput disebabkan oleh persoalan administratif, misalnya, tidak terdaftar dalam DPT (Nurhasim, 2008).

Oleh sebab itu, perbaikan kinerja KPU sebagai penyelenggara pemilu dan perbaikan kualitas kerja Parpol, Parlemen, maupun Lembaga pemerintahan lainnya adalah jawaban untuk menyelesaikan persoalan pemilih golput sekaligus mendorong tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu. (Devi Darmawan)