1335328952Pasca reformasi kebebasan berserikat kaum buruh dimulai saat presiden saat itu, BJ Habibie, meratifikasi Konvensi The International Labour Organization(ILO). Langkah tersebut lalu dilanjutkan oleh mantan Presiden Abdurrhaman Wahid lewat UU No. 2 tahun 2000 tentang Serikat Buruh. Meski demikian kasus konflik perburuhan justru menunjukkan kecenderungan peningkatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Berdasarkan data PHI dan Jamsos, jumlah kasus perselisihan hubungan industrial pada 2011 adalah 4.242 kasus, meningkat dari tahun 2010 yang sebanyak 3.993 kasus. Sedangkan jumlah pemogokan mencapai 303 kasus dengan pekerja yang terlibat sebanyak 64.820 orang yang membuat jam kerja hilang 1.891.387 jam.



Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Nasional “peluang dan Tantangan Gerakan Buruh Indonesia Pasca Reformasi” yang berlangsung pada Selasa (24/4) lalu di Widya Garaha , Kampus LIPI Gatot Subroto, Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan LIPI ini menghadirkan Dr.Hari Nugroho (Lab Sosio Universitas Indonesia), Rekson Silaban (Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), Surya Tjandra (Trade Union Rights Centre), Said Iqbal (Dewan Eksekutif Nasional KOnfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), dan Nawawi (Pusat Penelitian Kependudukan LIPI). Sebagai pembicara kunci adalah Mr. Simon Field dari ILO dan Sri Nurhaningsih, SH dari Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).

“Persoalan upah dan kesejahteraan buruh menjadi pemicu utama. Selain itu pola hubungan industrial antara buruh dengan pengusaha kurang berjalan dengan baik ,” ujar Kepala LIPI Prof.Dr.Lukman Hakim dalam sambutannya. Selain itu, menurut Lukman, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan cenderung berpotensi menimbulkan konflik.

Kajian P2 Kependudukan LIPI menunjukkan UU tersebut mengandung kelemahan substansi maupun implementasi. “UU ini merupakan produk reformasi namun justru menjadi sumber konflik ,” ujar Nawawi. “Revisi UU No. 13 harus segera dilakukan agar tidak terjadi bom waktu,” sambungnya. Menurutnya, selama ini solusi terhadap peroalan konflik perburuhan cenderung bersifat sesaat seperti mobil pemadam kebakaran.

Meski proses revisi ini mendapat resistensi cukup kuat dari kalangan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, Nawawi mengharapkan agar proses revisi ini harus dilaksanakan secara transparan, mengedepankan dialog dan kejujuran. “Termasuk tidak memanfaatkan persoalan konflik perburuhan sebagai sarana politik untuk mencari dukungan PIlkada maupun Pemilu,” pungkasnya.