Jakarta – Humas BRIN. Untuk mencapai tempat yang aman, banyak pengungsi yang memutuskan untuk mengarungi lautan walau menggunakan perahu yang tidak layak melaut. Meski berbahaya, migrasi massal maritim tersebut terjadi dalam situasi ketika tidak ada alternatif lain yang lebih aman. Hal tersebut diungapkan oleh Kepala Pusat Riset Politik (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Athiqah Nur Alami dalam sambutannya saat membuka kegiatan diskusi Public Lecture PRP BRIN bertajuk Uncertainty in forced maritime migration: studying the journeys of Rohingya and Vietnames “boat people”, pada Selasa, (01/08) di BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Lebih lanjut ia mengungkapkan mengenai bagaimana kita melihat perjalanan migrasi melalui laut yang dialui para pengungsi dari Vietnam dan Rohingya. Lalu bagaimana perilaku dan pengalaman mereka sebagai pengungsi selama mereka bermigrasi, seperti ketidakpastian dan risiko-risiko selama mereka transit di Indonesia dan harapannya akan resettlement ke negara ketiga.

Ia juga mengatakan bahwa konteks maritime transit merupakan hal penting dan menarik yang sayangnya belum banyak mendapatkan perhatian dalam banyak kajian dibanding dengan land based transit. Problemnya para pengungsi ini bukan hanya mengalami strandedness (keterdamparan) namun juga mengalami stagnan. “Diharapkan dengan kegiatan ini kita dapat menambah wawasan dan pengetahuan terkait kajian forced migration (migrasi paksa) selain itu juga menambah kesadaran terkait peran dan posisi Indonesia sebagai negara transit dalam perjalanan migrasi bagi pengungsi atau para pencari suaka,” katanya.

Profesor Mobilitas dan Migrasi di Universitas Bielefeld Jerman, Antje Missbach dalam paparannya menjelaskan mengenai berbagai faktor ekstrinsik dan itrinsik yang berkontribusi pada ketidakpastian bagi pengungsi yang bermigrasi melalui laut dengan mengacu pada kesulitan yang dihadapi oleh pengungsi laut Rohingya baru-baru ini dan juga catatan masa lalu yang dicatat oleh “manusia perahu” Vietnam.

Antje yang saat ini sedang mengikuti program Visiting Professor di PRP BRIN juga mengungkapkan, studi migrasi selama ini lebih banyak hanya memperhatikan mengapa orang meninggalkan negara kelahiran mereka dan bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka di negara tujuan. “Masalahnya, ketika berpindah antara dua negara, terutama sebagai migran paksa, orang menghadapi banyak rintangan, dan pergerakan mereka jarang langsung. Tantangan dan kemunduran juga berdampak besar pada para migran paksa karena mereka kehabisan dana dan kesehatan mereka mungkin terganggu,” ungkapnya.

Ia pun menceritakan bagaimana para pengungsi khususnya Rohingya dan manusia perahu Vietnam untuk memutuskan pergi meninggalkan negara asalnya. Diantaranya adalah konflik, kejadian genosida, serta penolakan dari masyarakat tempat asal mereka. Laut memungkinkan kemudahan mobilitas manusia, tetapi juga bisa berubah menjadi batas yang tak terkalahkan. Oleh karena itu, mobilitas maritime tidak bisa hanya disamakan dengan kebebasan dan kemerdekaan. “Mobilitas tidak boleh disamakan dengan kebebasan (freedom and liberty), ketidakpastian bagi pengungsi laut dapat menjadi pengalaman mendasar, tantangan sekaligus tata kelola bagi para pemangku kepentingan (governing tool),” ucapnya.

Profesor PRP BRIN, Tri Nuke Pudjiastuti yang bertindak sebagai moderator menjabarkan bahwa dari kegiatan diskusi Public Lecture ini kita belajar mengenai konsep ketidakpastian yang dialami oleh para pengungsi laut dari Rohingya dan Vietnam. Disamping itu memahami perbedaan maknanya jika dibandingkan dengan risiko. Berbagai contoh dan testimoni dari pengungsi Rohingya turut memperkuat seperti apa gambaran dan situasi mereka yang mengalami ketidakpastian di tengah lautan. “Sangat sulit melihat jawaban dari masa depan pengungsi Rohingya karena situasi mereka sangat rentan. Walaupun negara-negara di Asia Tenggara telah menandatangani Konvensi Hak Asasi Manusia, namun kondisi keinginan politik di tiap negara cukup sulit,” jabarnya. (RBA)