Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) menyelenggarakan Forum Diskusi Budaya seri ke-63, Senin (07/08) secara daring. Tema yang dibahas mengenai peluang dan tantangan kesejahteraan mental masyarakat adat semasa reformasi politik di Indonesia. 

Topik pembahasan tersebut merupakan bagian bab yang diulas dalam buku “Indigenous Knowledge and Mental Health: A Global Perpective” karya bersama Tody Sasmihta Jiwa Utama,  Isnenningtyas Yulianti, dan Nurul Saadah Andriani.

Dalam sambutannya, Kepala PRMB Lilis Mulyani menyampaikan bahwa kegiatan tersebut merupakan ajang diskusi rutin dua mingguan. Salah satu tujuannya, mempertemukan berbagai gagasan, hasil riset, maupun hasil publikasi terkini dari para ilmuan ataupun peneliti dan akademisi yang bermita dengan PRMB.

Lilis mengatakan, forum diskusi ini juga menjadi sarana paling tepat untuk mendiseminasikan berbagai gagasan baik sesama periset dan juga masyarakat luas. Ia juga menginformasikan, kegiatan diikuti oleh peserta dari kalangan mahasiswa dan masyarakat umum

Tema kali ini juga merupakan tema yang penting dan sering kali disembunyikan di kalangan komunitas di Indonesia. Jangankan di daerah-daerah yang terjangkau sarana kesehatan yang baik seperti perkotaan, apalagi di sarana-sarana kesehatan yang kurang memadai seperti di daerah-daerah terpencil.

Isu tentang Mental Well-Being menjadi penting  karena sering kali isu ini   ditutupi oleh banyak  komunitas dan sudah waktunya untuk berbicara dan terbuka tekait dengan hal ini diseluruh lapisan komunitas di Indonesia.

Dan ini menjadi semakin menarik karena buku ini merupakan buku pertama yang bicara tentang kesehatan mental di kalangan kelompok  komunitas adat. Komunitas adat  di Indonesia tentunya memiliki keunikan-keunikan dan juga memiliki aturan-aturan ataupun kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat lain di Indonesia dan tentunya juga kita ingin belajar dan memahami bagaimana sebetulnya komunitas adat atau masyarakat adat mengelola anggota masyarakatnya atau mengelola kesehatan mental dikalangan anggota komunitasnya itu sendiri.

Bagaimana masyarakat adat ini mengalami tekanan-tekanan ataupun  juga mengalami marjinalisasi dari berbagai aspek yang tentunya akan menambah parah kesehatan mental mereka. contohnya  stres karena konflik  yang berkepanjangan, konflik tanah   dll.

Komunitas-komunitas adat  ini memiliki mekanisme pertahanannya atau reviliensinya sendiri untuk membangun kesehatan mentalnya di tengah berbagai gempuran  ataupun tekanan yang mereka hadapi selama ini baik dari masyarakat sekitarnya atau dari pemerintah yang tidak memahami keunikan atau karakteristik  dari identitas khusus mereka,

Diskusi ini juga semakin menarik dimana akan membahas komunitas adat di Indonesia dari presfektif yang baru yaitu presfektif kesehatan mental.   Diskusi ini menjadi yang pertama dan mudah-mudahan bukan yang terakhir dan ini akan menjadi bibit awal untuk membangun suatu komunitas epistemik yang terkait dengan isu yang penting ini. Dengan harapan agar diskusi ini dapat memberikan pencerahan bagi kita semua

Diskusi ini menghadirkan narasumber, Sandrayati Moniaga dari Komnas HAM, Isnenningtyas Yulianti selaku Periset PRMB BRIN, dan Nurul Saadah Andriani dari Yayasan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA).  

Dalam paparannya, Isnenningtyas Yulianti menyampaikan tentang bagaimana masyarakat adat mengartikulasi tekanan yang datang kepadanya ketika dalam posisi bertransformasi. Dijelaskannya, pasca runtuhnya orde baru, masyarakat adat mendapatkan momentum untuk bangkit kembali dan mengekspresikan identitas serta kepribumian mereka. Kondisi ini memicu dilema dalam masyarakat adat.

Lebih lanjut ia mengurai, pada saat yang sama mereka juga mengambil bagian dalam proses modernisasi dan pembangunan. Dampak yang ditimbulkan kemudian tidak hanya mempertajam konflik dengan negara atau perusahaan, melainkan juga mendorong gangguan sosial dan disintegrasi di kalangan masyarakat adat.

Dengan begitu, tekanan psikososial yang dialami masyarakat adat dan yang terus mereka alami tetap menempatkannya pada penderitaan, serta tingginya tingkat masalah neuropsikiatri dan perilaku. Risikonya, mereka mengalami depresi dan kecemasan. Dilema dan kontestasi juga membawa trauma dan kesedihan, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, pemisahan keluarga secara paksa, pengangguran, penyerangan terhadap integritas budaya, dan hilangnya wilayah atau dislokasi.

Menurut Isnenningtyas, kesehatan mental pada masyarakat adat sendiri dipicu oleh dua hal, yaitu ekternal stressor dan internal stressor. Ekternal stressor itu bisa dari proyek-proyek pembangunan yang ada, perampasan tanah, dan orang rimba yang tergusur. Internal stressor bisa dari revivalisme adat post-authoritarium yang mengubah cara masyarakat menjalankan keyakinan dan normanya.

Perubahan tersebut muncul karena kebutuhan mereka untuk mengartikulasi kembali identitas adat dan adat mereka. Tujuannya untuk memenuhi persyaratan struktur kekuasaan saat ini dan terus menunjukan signifikasinya sebagai kelompok sosial budaya yang khas.

”Masyarakat adat menganggap, masalah kesehatan jiwa sebagai masalah domestik,” ungkapnya. Paragdigma ini menyebabkan lembaga adat kurang memperhatikan jaminan kesejahteraan mental masyaraka. Selain itu, kesehjateraan individu dipandang lebih mungkin berada di ranah domestik keluarga, di mana otoritas adat kurang berkepentingan. Dengan demikian kolektivitas dilakukan hanya dalam perjuangan politik untuk pengakuan negara. Ini jarang ditunjukkan dalam mencapai kesehjateraan mental individu.

Sementara Nurul Saadah Andriani mengisahkan saat melakukan penelitian di beberapa daerah Indonesia, berkaitan dengan peran dan posisi penyandang disabilitas, khususnya perempuan yang ada di masyarakat adat. Ia mengamati peluang yang dimiliki dalam perangkat hukum adat. Diamati juga kebiasaan untuk memastikan bagaimana para penyandang disabilitas mendapatkan kesejahteraan di dalamnya. Fungsinya juga menjaga kesehatan mental mereka agar tidak mendapat tekanan.

Selanjutnya, Sandrayati Moniaga memberikan catatan penting dari bab – bab yang ada pada buku yang dibahasnya ini. ”Tulisan ini adalah satu referensi penting dan menjadi sangat penting karena selama ini tidak banyak tulisan hak untuk penyandang disabilitas, khususnya disabilitas mental di Indonesia,” ungkapnya. Maka ia memberikan masukan seperti gerakan masyarakat adat, perkembangan hukum, gerakan penyandang disabilitas, isu disabilitas mental dalam masyarakat adat, kearifan lokal, dan peran strategi masyarakat adat dalam peningkatan kesehjateraan mental (mental well being) dari masyarakat adat. Maka ia menyarankan, perlu ada publikasi tulisan serupa atas tulisan tersebut, terutama dalam versi bahasa Indonesia.  ”Buku ini bukan hanya untuk konsumsi akademis tetapi juga mendukung perlindungan dan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas mental. (AMN)