Akhir-akhir ini publik diramaikan oleh beragam hasil survei tentang elektabilitas para kandidat presiden dalam pemilu 2014. Meskipun pemilu masih dua tahun lagi, berbagai lembaga survei telah merilis tingkat popularitas nama-nama yang diperhitungkan untuk maju dalam hajat lima tahunan tersebut. Praktis topik elektabilitas calon presiden mendominasi ruang-ruang media dan diskusi. Tetapi ada satu hal yang tampaknya lepas dari perhatian publik, yakni terselip hasil-hasil survei tentang intoleransi masyarakat. CSIS, LSI, dan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI adalah beberapa lembaga yang dalam empat bulan terakhir merilis hasil surveinya tentang isu intoleransi. Dari temuan-temuan lembaga tersebut, terbukti intoleransi di dalam masyarakat merupakan kenyataan dan harus segera disadari.

Temuan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam rilis hasil surveinya beberapa waktu lalu tentang toleransi beragama amat memprihatinkan. Dalam rilisnya, LSI memaparkan bahwa 15,1 persen responden mengaku tidak nyaman hidup berdampingan dengan tetangga berbeda agama. Angka persentase tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang sebesar 8,2 persen. Opini pengesahan penggunaan kekerasan dalam penegakan prinsip agama pun meningkat dari 9,8 persen pada 2005 menjadi 24 persen pada 2012. Artinya, 1 dari 4 orang di Indonesia menganggap sah untuk menggunakan kekerasan dalam isu agama. 

CSIS pun mendapati tren serupa dalam isu yang sama. Sekitar 33,7 persen responden menjawab bahwa mereka berkeberatan tinggal bertetangga dengan orang yang beragama lain. Lebih jauh lagi, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya akan pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Dalam Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi 2011, The Wahid Institute mencatat ada 49 kasus pelarangan pendirian rumah ibadah di Indonesia. Padahal pada tahun sebelumnya (2010) hanya tercatat 19 kasus pelarangan pendirian rumah ibadah. Fenomena ini adalah sebuah ironi di dalam komunitas politik yang mengklaim dirinya demokratis.

Deretan ironi ini tetap berlanjut dengan afirmasi yang diberikan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI dalam rilis hasil surveinya pada 11 Oktober 2012 lalu. Sebanyak 14,7 persen responden percaya bahwa orang yang berbeda agama akan merugikan diri mereka. Survei yang dilakukan secara nasional, dengan sampel sebanyak 1.700 orang yang dipilih secara bertingkat (multistage random sampling), ini memperoleh temuan lain bahwa 13,8 persen responden berkeberatan tinggal bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Angka persentase ini senada dengan hasil temuan survei LSI. Dalam kaitan dengan sistem politik, responden yang berkeberatan memilih calon legislatif beda agama mencapai 35,6 persen. Sungguh sebuah tantangan berat yang harus dihadapi untuk demokratisasi ketika sentimen primordial seperti agama mendominasi preferensi politik. 

Angka dan realitas
Paparan statistik tersebut bukan berhenti pada angka semata. Angka-angka persentase yang dipaparkan menggambarkan realitas kekinian dan problematikanya yang harus segera diatasi agar tidak semakin meningkat. Sinyal akan adanya persemaian benih-benih intoleransi yang sedemikian masif di dalam masyarakat adalah kenyataan yang harus segera dicarikan solusinya. Terlebih jika sentimen sektarian ini digunakan oleh elite-elite oportunis sebagai amunisi untuk memantik konflik demi mendatangkan keuntungan ekonomi-politik. 

Amat disayangkan, dalam banyak kompetisi politik seperti pemilihan kepala daerah di berbagai tempat, agama masih digunakan sebagai komoditas politik. Efek destruktifnya sangat dalam sehingga merusak proses elektoral yang notabene manifestasi dari demokrasi. Kasus pemilukada Jakarta lalu, yang pekat dengan penggunaan sentimen agama, jangan sampai terulang. Sebab, dengan derajat intoleransi yang menguat, potensi konflik amat terbuka jika terseret masuk dalam medan politik. Terlebih di daerah-daerah yang masyarakatnya belum terlalu maju.

Bersemainya benih-benih intoleransi adalah fakta yang tidak boleh ditutup-tutupi. Semakin kita mengabaikan, daya ledaknya nanti di kemudian hari pasti akan sangat besar. Sangat disayangkan komentar salah seorang pimpinan lembaga tinggi negara yang tidak mempercayai hasil survei mengenai adanya peningkatan intensitas benih-benih intoleransi di dalam masyarakat. Ini contoh buruk dari perilaku elite politik kita yang seharusnya menjadi lokomotif penyadaran publik tentang bahaya intoleransi bagi usaha demokratisasi yang tengah dirintis bersama. 

Pengakuan akan adanya sentimen intoleransi yang mulai menguat merupakan satu hal krusial yang harus dilakukan. Tanpa adanya pengakuan, persoalan ini akan terus diabaikan dan diremehkan oleh segenap anak bangsa. Jangan sampai kita hanya terlelap dinina-bobokan mitos tentang harmoni yang sudah mendarah daging. Dengan adanya pengakuan bahwa sinyal intoleransi menguat, akan bangkit kesadaran kolektif bahwa kita berjalan di atas bara dalam sekam. 

Tenun kebangsaan seperti yang ditulis Anies Baswedan di Kompas (23 Oktober 2012) tidak akan terajut sempurna tanpa penghormatan kepada sesama warga negara dengan apa pun atributnya. Negara yang mengklaim demokratis harus memihaki prinsip kewargaan dan toleransi. Demokrasi mensyaratkan adanya toleransi atas perbedaan dan keterbukaan akan pluralitas gagasan. Dengan demikian, demokrasi bisa dimaknai sebagai sarana resolusi konflik yang memediasi benturan berbagai kepentingan dengan motif apa pun, agama, etnisitas, ekonomi, dan sebagainya, melalui jalan nirkekerasan.

Jelas berarti bahwa intoleransi mengancam demokrasi. Hal ini harus dijadikan peringatan oleh elite-elite politik kita agar tidak menggunakan sentimen agama dalam mobilisasi dukungan politik. Ia layaknya bola liar yang mampu memantul ke sana kemari tanpa dapat dikendalikan lagi. Bagi para kandidat presiden yang disebut-sebut dalam hasil-hasil survei, jangan pernah memainkan isu agama sebagai pendongkrak popularitas dan elektabilitas. (Yogi Setya Permana)

Artikel ini pertama kali di muat di Opini Koran Tempo Senin, 05 November 2012