Jakarta, KOMPAS-Penguasaan sebagian besar lahan dan hutan oleh perusahaan besar menciptakan kesenjangan, konflik dan ketersediaan pangan masyarakat. Pemerintah diimbau menghentikan pemberian izin lokasi, rekomendasi, ataupun konsesi skala besar.

Saat ini, pemerintah diminta membenahi system dan agenda reformasi agrarian untuk membangun rasa keadilan dan memperkuat daya tahan masyarakat. “Kebijakan Negara lebih mudah memberikan tanah kepada perkebunan besar. Terjadi ketimpangan penguasaan lahan oleh perusahaan-perusahaan skala besar yang belum tentu menyerap banyak tenaga kerja,” kata Suraya Afif, Direktur Pusat Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Selasa (8/4) di Jakarta.

Ia bersama Laksmi A Savitri (Universitas Gadjah Mada) dan Uke Muhammad Hussein (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) menjadi pembicara dalam Seminar Sehari “Masalah Agraria Kontemporer: Tantangan Kebijakan Agraria Masa Kini dan Akan Datang di Indonesia”. Kegiatan ini digelar Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Di Indonesia, rasio hini tanah adalah 0,72 dimana kosesi hutan seluas 35,7 hektar dikuasai pengusaha. Dari sisi usaha, perusahaan bermodal besar menguasai 11 juta hektar pertambangan. Di sisi lain, jumlah petani gurem menurun dan pertambahan jumlah petani berlangsung lebih dari tiga hektar.

Menurut Suraya Afif, penguasaan lahan-lahan masyarakat, terutama petani, hanya oleh segelintir orang menciptakan bom waktu. Warga yang kehilangan lahan akan mencari penghidupan lain, di antaranya menjadi tenaga kerja Indonesia yang tak terlatih hingga jadi korban perdagangan manusia.

“Pengabaian petani juga menimbulkan ancaman krisis pangan dan kemiskinan”. Kata dia. Ini karena sumber-sumber pangan dikuasai pengusaha. Perhitungan di lapangan umumnya pertimbangannyta dari sisi keuntungan, meski implikasinya mencekik daya beli masyarakat.

Laksmi mencontohkan praktik buruk proyek pemerintah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang membuka jutaan hektar lahan di Papua. Langkah itu merampas tanah dari masyarakat tradisional dan dipaksa jadi buruh.

Padahal, masyarakat setempat tak pernah mengenal bekerja sebagai buruh karena selama turun-menurun menggantungkan hidup dari alam. “Di kepala mereka sebagai tuan tanah atas perkebunan itu. Jadi, dibilang ‘piring bersama’(antara masyarakat dan investor) sehingga tidak ada disiplin dan seleksi yang berujung pemecatan,”kata dia.

Selanjutnya, orang Marind (Orang asli Merauke) itu tersingkir karena kehilangan tanah dan pekerjaan. Pekerjaan itu pun akhirnya diisi para buruh yang didatangkan dari luar Papua yang menciptakan kesenjangan social dan ekonomi.

Mengutip data Badan Pertanahan Nasional 2012, Uke Muhammad Hussein, Kepala Sub bidang Pertanahan Bappenas, mengatakan 7.196 kasus pertanahan dan baru 4.291 kasus diselesaikan. Pada 2013 bertambah 1.881 kasus baru dan dari jumlah oitu 2.771 kasus dapat diselesaikan. (ICH/LAS)

Sumber: KOMPAS, Rabu 9 April 2014