Industri dan berbagai macam kegiatan ekonomi lainnya di daerah perkotaan telah berkontribusi terhadap peningkatan suhu serta memburuknya kualitas udara di perkotaan. Selain itu juga berdampak pada terjadinya fenomena urban heat island (UHI). Indikasi terjadinya fenomena ini ialah wilayah pusat kota yang dominan bangunan akan lebih panas dibandingkan dengan daerah pinggir kota.

Pada Rabu, 14 November 2012 pukul 10.00-12.00 yang lalu, telah dilaksanakan seminar yang berjudul “Adaptasi Masyarakat Perkotaan Terhadap Perubahan Kualitas Udara: Kota Semarang dan Kota Bandung” di Ruang Seminar Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) LIPI. Seminar ini merupakan media sosialisasi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti Kota*), Bidang Ekologi Manusia, PPK LIPI pada tahun 2012. Penyaji dalam seminar ini adalah Gusti Ayu Ketut Surtiari, MSi sebagai koordinator penelitian. Drs.Yayat Supriatna, MSP , dosen Antropologi FISIP UI yang mengeluti studi-studi perkotaan, juga hadir dalam seminar ini sebagai narasumber. Seminar yang dipandu oleh Rusli Cahyadi, MSi ini membahas bagaimana adaptasi masyarakat Kota Semarang dan Kota Bandung dalam mengatasi perubahan kualitas udara.

Penyaji mengemukakan Kota Semarang identik dengan kawasan pesisir, kota industri serta memiliki suhu rata-rata yang tinggi. Sementara itu, Kota Bandung dikenal sebagi kota yang terletak di dataran tinggi dan merupakan wilayah cekungan dimana aliran udara menjadi lebih terbatas, serta mempunyai suhu rata-rata yang rendah. Berdasarkan hasil kajian Tursilawati (2007), Kota Semarang dan Kota Bandung merupakan dua kota diantara beberapa kota besar di Indonesia mengalami kenaikan suhu yang cukup tinggi sejak tahun 1990an yang dapat dilihat dari meningkatnya luasan kawasan UHI dalam kurun waktu 1994-2002. Luasan UHI di Kota Semarang bertambah sebesar rata-rata 8,4 persen per tahun dan di Kota Bandung juga naik sebanyak 4,47 persen per tahun.

Terkait dengan adaptasi, penyaji menyampaikan bahwa pola adaptasi masyarakat di kedua kota tersebut termasuk adaptasi positif dan negatif. Maksud adaptasi positif adalah adaptasi yang tidak menambah emisi di udara, sedangkan adaptasi negatif ialah adaptasi yang justru meningkatkan emisi di udara. Masyarakat Kota Bandung merasakan kondisi yang lebih panas dibandingkan lima tahun yang lalu sehingga mereka banyak yang menaikkan daya listrik untuk menambah penggunaan alat-alat pendingin atau AC. Lain halnya dengan masyarakat Kota Semarang yang sudah terbiasa dengan udara panas, mereka cenderung tidak banyak yang menambah penggunaan pendingin ataupun dengan menambah daya listrik. Tetapi, masyarakat Kota Bandung lebih responsif mengubah tata ruang rumah untuk menyempurnakan sirkulasi udara. Artinya, mereka lebih cenderung berusaha mengurangi penambahan jumlah emisi di udara.

Menurut Yayat Supriatna, sebelum mengamati adaptasi masyarakat perlu ditinjau terlebih dahulu gejala-gejala apa yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Lalu, hasil yang disajikan belum banyak mengungkapkan adaptasi pada tingkat komunitas, dan pemerintah. Selain itu, beliau juga mempertanyakan “Apakah adaptasi yang dilakukan rumah tangga tersebut merupakan ancaman atau tidak? Apakah pilihan-pilihan adaptasi tersebut terkait dengan kondisi ekonomi rumah tangga?”. Sementara itu, dari segi kebijakan, bagaimana adaptasi masyarakat tersebut secara struktural dapat dimasukkan dalam kebijakan pemerintah Kota Semarang maupun Kota Bandung. Untuk itu, sebenarnya kebijakan menjadi variabel yang penting dan dapat mempengaruhi adaptasi masyarakat.

Tim peneliti: Gusti Ayu Ketut Surtiari (Koordinator), Fadjri A, Toni Soetopo, Laksmi R, Rusli Cahyadi, dan Rusida Yuliyanti.