Ditulis oleh Sandy Nur Ikfal Raharjo, Selasa, tanggal 18 Desember 2012

Dalam dunia internasional, sumber energi-baik berupa minyak, air, maupun nuklir- sering menjadi isu yang mendasari kompetisi bilateral maupun multilateral. hal ini pulalah yang terjadi di kawasan Asia Timur, yang terdiri atas sub Asia Tenggara dan sub Asia Timur Laut. Salah satu kasus yang mengemuka adalah kompetisi energi antara China dengan negara-negara Asia Tenggara. China berkepentingan dalam pemenuhan kebutuhan energinya yang besar untuk industri, sedangkan negara-negara Asia Tenggara juga mulai tumbuh menjadi negara industri yang memerlukan pasokan energi yang besar pula. Namun, apakah kompetisi antara China dengan negara-negara Asia itu exist and matter? Jika jawabannya ya, lalu bagaimana mengelola kompetisi ini? Untuk menjawabnya, masalah persengketaan tersebut akan coba dicermati dengan kacamata liberalisme. 

Dalam perspektif liberalisme, ada beberapa fitur penting yang menjadi dasar asumsinya. Pertama, liberalisme mengusung nilai kebebasan[1] dan kesetaraan, yaitu kebebasan bagi aktor untuk mengembangkan diri, dan kesetaraan kesempatan untuk bisa membangun diri. Hal ini memunculkan tendensi kompetisi antar-negara karena masing-masing mempunyai kebebasan dan kesempatan yang sama untuk bisa menjadi maju. KeduaState is self-interested. Sifat ini mendorong negara untuk membuat pilihan-pilihan terbaik untuk mencapai kepentingannya.[2] Negara akan berusaha untuk mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya dengan pengorbanan sekecil mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan kata lain, efisiensi menjadi hal yang penting. Oleh karena itu, yang berperan dalam memandu negara untuk mendapatkan kebutuhannya adalah reason (untung-rugi). Ketiga, kompetisi bersifat konstruktif.[3] Walaupun liberal percaya bahwa individu (analogikan dengan negara) bersifat self-interested, tetapi karena ada atmosfer kompetisi (karena kebebasan dan kesetaraan), maka gabungan keduanya membuat persaingan kepentingan menjadi konstruktif karena negara akan semakin berusaha untuk mengembangkan diri agar lebih efisien dari yang lain. Pada akhirnya, kebutuhan/ kepentingan bisa dipenuhi secara “high quality but low price”.[4] Keempat, liberal percaya pada positive sum game, yaitu setiap aktor berpotensi untuk mendapatkan lebih dari apa yang aktor tersebut berikan. Dalam hal ini, ketika suatu negara melakukan hubungan positif seperti kerja sama atau perdagangan, maka semua negara bisa mendapatkan keuntungan, tidak peduli siapa yang keuntungannya lebih banyak. Hal ini tergambar dalam konsep absolute advantage dan comparative advantage.[5] Dengan penekanan pada poin ketiga dan keempat, maka liberalisme sangat menganjurkan kerja sama dalam menangani masalah-masalah internasional, termasuk juga persaingan dalam memperebutkan energi antara China dengan negara-negara Asia Tenggara. 

Karena perspektif liberalisme ini berakar pada ilmu ekonomi liberal, maka dalam esai ini pembabakan akan didasarkan pada alur ilmu ekonomi, yaitu adanya kebutuhan energi yang besar (cenderung tak terbatas), sementara sumber daya energi untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Hal ini menyebabkan kelangkaan sehingga terjadilah kompetisi antar-negara untuk memperebutkan sumber daya energi yang terbatas tersebut, dimana cara yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut adalah memalui kerja sama. 

A. Kebutuhan Energi yang Besar 

Masalah energi di Asia Timur menjadi penting karena pasca Perang Dunia II; dan terutama pasca Perang Dingin; karena negara-negara di wilayah ini menunjukkan performa ekonomi yang bagus. Jepang, Korea, China, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia mempunyai reputasi yang bagus dalam memajukan ekonomi mereka. Jepang, Korea, dan Indonesia bahkan pernah mendapat julukan sebagai macan Asia. China dan Jepang  juga masing-masing menduduki peringkat kedua dan ketiga sebagai negara dengan kapasitas ekonomi terbesar di dunia.[6] 

Performa ekonomi yang bagus ini umumnya dimotori oleh sektor industri. Sebagai konsekuensinya,  kebutuhan energi juga menjadi besar. Peningkatan kebutuhan energi yang drastis ini terutama terlihat dari China. Menurut statistik International Energy Agency, permintaan minyak oleh China tumbuh dari 2,3 juta barel perhari pada tahun 1989 menjadi 5,5 juta barel perhari pada tahun 2003. permintaan minyak ini meningkat menjadi 7,15 juta barel perhari pada 2006 dan diperkirakan akan mencapai 13,5 juta barel perhari pada 2030.[7] Padahal, pada 1989 China masih bisa mengimpor minyak ke Jepang. Namun mulai 1993, China menjadi negara pengimpor minyak. Bahkan, sejak tahun 2005, China menjadi pengimpor minyak terbesar kedua setelah Amerika Serikat, yaitu sebesar 31% dari total permintaan minyak dunia. Pada 2005, total konsumsi energi China mencapai 2,225 miliar ton, sedangkan produksi domestik hanya bisa memenuhi 2,060 miliar ton, sehingga terjadi kekurangan minyak sebesar 165 juta ton.[8] Kekurangan energi sebesar itu tidak bisa dipenuhi dari sumber energi alternatif seperti nuklir dan gas alam, karena China hanya bisa memproduksi 7% dari total energinya.[9] Oleh karena itu, jalan yang bisa ditempuh untuk memenuhi defisit energi adalah dengan mengimpor dari negara lain atau mencari dan membuka tambang minyak baru. Sementara itu, negara-negara Asia Tenggara juga memerlukan energi dalam jumlah besar. Minyak dan sumber energi lainnya adalah komoditas yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan memiliki nilai komersial yang tinggi untuk diekspor ke negara lain. 

B. Sumber Energi yang Tersedia Terbatas 

Walaupun sumber energi sangat penting, tetapi tidak semua negara dianugerahi dengan cadangan minyak yang melimpah di dalam teritorialnya. Cadangan minyak yang ada pun semakin lama akan semakin berkurang dan pada akhirnya akan habis sama sekali. Di sisi lain, kebutuhan akan energi justru semakin meningkat. Akibatnya, negara-negara yang dulu mengekspor minyak, kini menjadi negara pengimpor seperti yang terjadi pada Indonesia dan China. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tersebut bergantung pada impor dari negara lain yang cadangan minyaknya masih banyak. Dalam kasus ini, China dan beberapa negara di Asia Tenggara bergantung pada minyak negara-negara Timur Tengah sebagai sumber energi utama. Akan tetapi, kondisi politik Timur Tengah yang tidak stabil sering melambungkan harga minyak secara mendadak dan drastis. Perang di Timur Tengah pada 1974 mennaikkan harga minyak dari US$1,8/ barel menjadi US$10/barel. Ketika terjadi Revolusi Islam Iran 1979, harga minyak naik menjadi US$20/barel. Perang Teluk II juga menaikkan harga minyak menjadi US$40/barel, dan mencapai US$60/barel saat perang saudara di Irak berlangsung pada 2005.[10] Perang dan kegiatan teroris biasanya menyebabkan kenaikan harga minyak karena supplay menjadi berkurang sementara permintaan cenderung meningkat, sehingga perhitungan ekonomis dalam mencapai economy of scale susah didapat karena ketidakstabilan dan ketidakpastian supplay dan harga. 

Masalah lain yang juga harus dihadapi; terutama oleh China; adalah jauhnya rute perjalanan impor minyak dari Timur Tengah. Hal ini menyebabkan biaya transportasi menjadi mahal. Artinya, efisiensi kurang bisa dicapai karena biaya semakin besar. Untuk itulah, China mulai melirik negara-negara Asia Tenggara. Adapaun beberapa alasannya adalah sebagai berikut.[11] Pertama, Selat Malaka yang merupakan wilayah milik tiga negara Asia Tenggara, yaitu Indoesia, Singapura, dan Malaysia merupakan jalur maritim terpendek bagi minyak yang diimpor dari Timur Tengah dan Afrika untuk sampai ke China. Kedua, jalur lain yang juga digunakan dalam pengiriman minyak dari Timur Tengah dan Afrika juga harus melewati wilayah negara Asia Tenggara, yaitu Selat Sunda yang dilewati 80% impor minyak China dan Selat Lombok milik Indonesia.[12] Ketiga, jika China ingin membangun rute yang lebih pendek (yang berarti lebih efisien), maka China bisa membuat kanal di wilayah Thailand dan Myanmar. Keempat, walaupun cadangan minyak di negara-negara Asia Tenggara makin menipis, tetapi cadangan gas alam sebagai energi alternatif minyak masih sangat besar. 

Di sisi lain, negara-negara Asia Tenggara juga mempunyai ekonomi yang bertumbuh. Kebutuhan energinya juga cukup besar, sehingga harus melakukan impor dari Timur Tengah, seperti Indonesia. Namun, kebutuhan energi ini tidak sebesar China. Pertama, kapasitas industri negara-negara Asia Tenggara tidak semasif China. Kedua, kebutuhan energi ini sebenarnya masih bisa dipenuhi oleh domestik dan atau regional ASEAN dengan mengeksplorasi sumber-sumber energi baru seperti LNG dan Biotermal (Indonesia) dan Tambang Lepas Pantai (Vietnam, Thailand, Filipina). Jadi, untuk mengatasi masalah sumber energi yang terbatas ini, negara-negara Asia Tenggara cukup bergantung pada regional Asia Tenggara sendiri yang tersebar di Laut Jawa (biotermal), Kepulauan Spratly, Blok Ambalat, dan lain-lain. 

C. Kompetisi Untuk Memperoleh Sumber Energi 

Seperti sudah diutarakan sebelumnya bahwa negara-negara di Asia Tenggara sebenarnya bisa mandiri dari ketergantungan energi dari wilayah lain dengan mengoptimalkan eksplorasi sumber-sumber energi di wilayahnya. Di sini, sumber energi tersebut dilihat sebagai sumber daya yang terbatas, sehingga banyak aktor yang ingin menguasai wilayah itu demi kepentingan negara masing-masing. Salah satu contoh wilayah yang diperebutkan adalah kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Dalam kasus ini, China, Taiwan, dan Vietnam mengklaim diri sebagai pemilik kepulauan Spratly beserta perairan sekitarnya. Sedangkan Malaysia, Brunei, dan Filipina mengklaim beberapa pulau yang berdekatan dengan pantai mereka. Klaim ini berlanjut dengan rencana eksplorasi masing-masing negara dengan menggandeng perusahaan-perusahaan minyak multinasional. BUMN Vietnam, yaitu PetroVietnam bekerja sama dengan Exxon untuk mengeksplorasi pantai Vietnam, sedangkan untuk eksplorasi wilayah selatan Vietnam dikerjakan bersama dengan BP dari Inggris. Hal yang sama juga dilakukan oleh China dengan mengadakan kerjasama antara China National Offshore Oil Corp sebagai BUMN China dengan Husky Energy Inc asal Kanada untuk mengeksplorasi gas di bagian utara Laut China Selatan, yang merupakan perairan antara Vietnam dengan kepulauan Spratly.[13] Namun, sejauh manakah perebutan sumber energi tersebut dianggap penting? 

Jika mencermati penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa China masih sangat bergantung pada impor dari Timur Tengah dan Afrika untuk memenuhi defisit supply energinya. Kemudian, China tidak terlalu mengandalkan sumber energi alternatif seperti LNG dan nuklir dan hanya berkisar 7% dari total kebutuhan energinya. Selain itu, China juga melihat Asia Tenggara lebih sebagai wilayah strategis untuk rute pengiriman minyak impor dari Timur Tengah dan Afrika ke China. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah perebutan sumber energi ini tidak terlalu matter. Kepentingan yang lebih utama bagi China adalah bagaimana caranya agar pengiriman minyak impornya bisa efisien dan aman. Dengan kata lain, China cenderung akan memilih berdamai dengan negara-negara Asia Tenggara yang wilayahnya menjadi rute perjalanan pengiriman minyak dari Timur Tengah ke China tersebut. Dalam kasus sengketa Laut China Selatan, walaupun ada aktivitas-aktivitas provokatif yang dilakukan, tetapi tetapi perlu digarisbawahi bahwa China tetap mengandalkan jalur diplomasi, baik secara bilateral maupun melalui fasilitasi ASEAN. 

D. Kerja sama untuk mutual benefits 

Jika masalah kompetisi ini dianggap tidak terlalu matter,  apa yang bisa dilakukan untuk meredam potensi konflik di Laut China Selatan? Dalam masalah kompetisi minyak, ada 3 model yang bisa ditempuh:[14]

Model I: masing-masing negara melakukan eksplorasi sendiri-sendiri. Hal ini bisa berakibat pada terjadinya konflik karena wilayah yang dieskplorasi bisa diklaim oleh lebih dari satu negara seperti halnya kepulauan Spratly.

Model II: semua negara yang terlibat dalam kompetisi minyak terlibat dalam kerjasama eksplorasi dengan peran yang sama-sama aktif.

Model III: hanya satu negara yang mengelola eksplorasi secara aktif, sementara negara lainnya hanya berperan pasif sebagai pengawas dan pemodal. 

Jika dianalisis dari perspektif liberalis, model yang harus ditempuh adalah model yang akan memberikan keuntungan absolut (positive sum game). Inti dari masalah minyak ini adalah adanya kebutuhan energi, baik dari China maupun dari negara-negara Asia Tenggara. Oleh karena itu, cara yang paling mungkin menguntungkan keduanya adalah model II, dan mungkin juga model III tergantung dari mana yang lebih efisien (besarnya selisih output dengan input) antara berperan aktif dengan berperan pasif yang sangat bergantung pada kondisi negara dalam penguasaan teknologi, dan lain-lain. Model kedua dipilih karena jika model satu, berarti ada negara yang diuntungkan dan ada negara yang dirugikan. Model ketiga juga berpotensi menimbulkan kerugian dalam pengertian opportunity deficit[15]. Sementara dengan model kedua, kebutuhan energi masing-masing negara bisa ditopang pemenuhannya dengan eksplorasi yang dilakukan bersama. Pilihan kedua inilah yang terlihat dari berbagai kerja sama yang dilakukan. Misalnya, pada tahun 2002 ditandatangani Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea yang dikembangkan menjadi kerjasama survey bersama, eksplorasi dan perdagangan gas Asia Tenggara ke China dalam The Cebu Declaration for East Asian Energy Security 2007.[16] kesuksesan pengelolaan ini dilakukan dalam kerangka ASEAN +Three sehingga bisa dikatakan bahwa ASEAN berperan besar dalam mengatasi kompetisi energi di Asia Timur.[17] Dalam liberalisme, ASEAN bisa dianggap sebagai sebuah rejim di Asia Timur, dimana rejim ini menjadi standar bagi hukum atau aturan yang berlaku di kawasan tersebut. Model II ini juga nampak diterapkan dari perjanjian China Offshore Oil Corporation sebagai wakil China yang membeli 17% saham gas alam Tangguh.[18] Disini, terlihat bahwa non-state actors menjadi pemain dalam hubungan internasional. Bahkan, China dan Vietnam (yang dianggap sebagai rivalry dalam kasus Spratly) bersama dengan Filipina menandatangani Working Agreement for Joint Survey in South China Sea pada 2005. dengan kerjasama-kerjasama tersebut, masing-masing pihak diuntungkan. 

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa persaingan atau kompetisi tidak selalu berujung pada konflik atau pertentangan. Kompetisi sangat mungkin diarahkan menjadi sebuah kerja sama yang pada akhirnya menguntungkan semua pihak dalam pengertian positive sum game. Sifat self-interested yang ada pada negara justru bisa membawa kepada penciptaan kerjasama dan perdamaian, karena inti dariself-interested adalah menguntungkan diri sendiri seoptimal mungkin, dan keuntungan ini bisa diperoleh bila masing-masing negara mau bekerja sama, sehingga efisiensi yang merupakan hakikat dari keuntungan bisa dicapai. (Sandy Nur Ikfal Raharjo)

Endnote:

[1] David N. Balaam dan Michael Veseth, Introduction toInternational Political Economy 3rd Edition (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2005), hal. 47.

[2] Ibid. hal. 49-50.

[3] Ibid. hal. 49.

[4] Ibid. hal. 50.

[5] Dalam kedua konsep ini, keuntungan adalah kebutuhan bisa dipenuhi dengan seefisien mungkin, yaitu kualitas bagus tetapi harga tetap murah. Masalah barang kebutuhan tersebut diproduksi sendiri atau tidak, bukan menjadi persoalan. Misalnya Indonesia melakukan perdagangan dengan Jepang. Indonesia menjual tekstil, sementara Jepang menjual mobil. Indonesia mendapatkan nilai ekspor tekstil sebesar 50 miliar, sementara Jepang mendapatkan nilai ekspor sepeda motor sebesar 75 miliar. Walaupun Indonesia mendapatkan angka ekspor yang lebih kecil, tetapi Indonesia secara absolut mendapatkan 50 miliar. Selain itu, Indonesia juga dapat memenuhi kebutuhan sepeda motor dengan harag 75 miliar yang jika sepeda motor diproduksi sendiri, biaya yang harus dikeluarkan akan lebih besar dari 75 miliar. Selengkapnya, lihat Dominick Salvatore, International Economics, 8th Edition (New Jersey: John Wiley and Son, 2004).

[6] Ming Lee dan Kuo-hsiung Lee, “Energy Security in the Contemporary East Asian Strategic Relations”, (Taipei: National Chengchi University). hal. 6.

[7] Arthur S. Ding China’s Energy Security Demands and the East China Sea: A Growing Likelihood of Conflict in East Asia?” The China and Eurasia Forum Quarterly, · Vol 3, No. 3. hal. 35.

[8] Ming Lee dan Kuo-hsiung Lee, Ibid. hal. 2.

[9] Ryan Ong, Huang Ping “Power to the People: The Energy Game in East Asia”, diakses dari http://www.sfgate.com/cgi-bin/article.cgi?f=/c/a/2005/06/13/htm.

[10] Ming Lee dan Kuo-hsiung Lee, Ibid.

[11] Ibid. hal. 23.

[12] Zhang Xuegang“Southeast Asia and Energy: Gateway to Stability”, China Security Vol  3 No 2 Spring 2007, hal. 2.

[13] Michael Richardson:”Asia’s Hunger for Oil and Natural Gas” http://www.istockanalyst.com/article/viewiStockNews+articleid_2451150~title_Singapore-Paper-Views.html

[14] Hurst Groves, “Offshore Oil and Gas Resources: Economics, Politics and the Rule of Law in theNigeria – SaoTome E Principe Joint Development Zone,” Journal of International Affairs 59 (2005).

[15] Opportunity deficit ini adalah penganalogian terhadap opportunity cost dalam teori ekonomi mikro.

[16] Zhang Xuegang, Ibid.

[17] Michael Richardson: “Asia’s Hunger for Oil and Natural Gas”http://www.istockanalyst.com/article/viewiStockNews+articleid_2451150~title_Singapore-Paper-Views.html

[18] Zhang Xuegang, Ibid.

Sumber: http://politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/759-persaingan-energi-antara-china-dengan-negara-negara-asia-tenggara-sebuah-pandangan-liberalis