Pada bulan ini, tepatnya tanggal 20 April, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan merayakan harlah yang ke-15. Dalam kurun waktu lebih dari satu dekade PKS merupakan sedikit partai dan mungkin satu-satunya partai menengah-besar yang tidak mengalami perpecahan internal yang serius. Lebih dari itu, PKS merupakan sebuah partai yang mampu mengelola faksionalisasi di dalam tubuhnya dengan relatif baik. Meski beberapa kalangan meyakini adanya faksi, namun bisa jadi apa yang dimaksud sebagai faksi itu sebetulnya hanya sebuah pengelompokan sementara (temporal) yang sifatnya cair. Tulisan ini akan menelaah keberadaan faksi di dalam partai ini.
Faksi Selayang Pandang
Ada baiknya jika kita luruskan sejenak makna faksi dalam konteks partai politik. Keberadaan faksi merupakan hasil dari sebuah perbedaan pandangan, kepentingan atau strategi yang tidak terjembatani di antara anggota partai yang mengarah pada munculnya sebuah klik atau pengkubuan yang bersifat relatif mapan untuk kemudian saling berlomba menanamkan pengaruhnya dalam partai ini. Menurut Zariski (1960) faksi adalah “any intra-party combination, clique or grouping whose members share a sense of common identity and common purpose and are organised to act collectively – as a distinct bloc within the party – to achieve their goals”.
Dalam definisi itu faksi menyaratkan adanya pengelompokan dalam partai atas dasar sebuah identitas dan tujuan bersama dari pada anggotaya sebagai sebuah blok atau kubu yang berbeda di dalam partai untuk meraih sebuah tujuan secara kolektif.Sementara itu Rose (1964) membedakan antara faksi dan kecenderungan pengelompokan yang disebutnya sebagai tendensi (tendency). Tendensi lebih bersifat cair di mana pengelompokan atau penyikapan sebuah kelompok dapat berubah-ubah atau bukan suatu hal yang permanen, tergantung isu yang berkembang. Dan karena tidak solid, maka tidak dapat diidentikan dengan kalangan atau orang tertentu.
Sementara faksi, menurutnya, merupakan sebuah pengelompokan yang ditandai adanya soliditas pengorganisasian yang tinggi, adanya disiplin dan kesadaran berkelompok, dan memiliki semacam keanggotaan yang kohesif.Beberapa sarjana lain seperti Beloni dan Beller (1978) dan Maor (1997) juga menyampaikan padangan mereka mengenai faksi yang pada dasarnya, tidak jauh berbeda dengan Zariski atau Rose, yang menyaratkan adanya pengelompokan permanen yang terorganisir baik. Di sini berarti harus ada semacam kepemimpinan, baik personal atau kolektif, yang bergerak secara kolektif dan saling bersaing secara relatif konsisten untuk memperebutkan pengaruh di dalam partai.
Momen-Momen Kemunculan “Faksi”
Ada beberapa momen dalam PKS yang kemudian menguatkan dugaan adanya faksi. Momen pertama melibatkan kalangan yang Pro-Amien dan Pro-Wiranto pada Pemilu Presiden 2004. Tokoh-tokoh seperti Hidayat Nurwahid, Rahmat Abdullah, dianggap mewakili kubu yang berbeda dengan kalangan yang mendukung Wiranto seperti Anis Matta, Fahri Hamzah atau Aus Hidayat Nur. Di sini, mulai muncul selentingan adanya kalangan yang lebih pragmatis dalam menentukan pilihan politik, yakni berorientasi kemenangan, versus kalangan idealis yang lebih mengedepankan ukhuwah islamiyah. Momen kedua, terkait dengan kelanjutan koalisi dengan SBY.
Situasi ini dipicu dengan naiknya harga BBM di tahun 2005. Beberapa kalangan dalam PKS menyuarakan untuk meninggalkan koalisi. Di sini tokoh-tokoh sepeti Anis Matta dan Mashadi yang dalam momen tertentu berbeda pandangan, memiliki suara yang sama. Keduanya menginginkan adanya evaluasi atas koalisi yang dirasakan semakin tidak mengutungkan rakyat dan citra partai. Dalam hal ini, sikap Anis yang menyarankan partai keluar dari kabinet menjadi lebih “idealis”, ketimbang gerbong besar elit partai, termasuk beberapa tokoh yang berbeda pandangan pada kasus Pemilu 2004, yang memilih bersikap hati-hati dan melihat langkah keluar koalisi sebagai langkah yang tidak bijak.
Dalam perkembangannya, di dalam partai muncul seolah pengelompokan antara kalangan yang lebih berorientasi eksklusif dan moderat, terutama dalam menjalin kerjasama dan mengembangkan political networking, dengan kalangan yang lebih hati-hati dan cenderung “text book” dalam soal-soal pengembangan kerjasama dan menafsirkan arah perkembangan partai. Kalangan yang pertama ini ditengarai digerakan oleh Anis dan Fahri. Sementara kalangan yang kedua diyakini digerakan oleh mereka yang “non-Anis“, yakni mereka yang tidak terlalu sejalan dengan perspektif politik Anis yang kerap “terlalu canggih”. Uniknya kalangan kedua dalam hal ini dipandang lebih idealis ketimbang Anis.Pendukung Anis selanjutnya kerap disebut sebagai “kalangan muda”, yang kemudian dikonfrontir dengan tokoh-tokoh “tua” seperti Rahmat Abdullah atau Yusuf Supendi.
Namun pengelompokan “muda versus tua” ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sepenuhnya benar. Karena “tokoh tua” seperti KH Hilmi Aminuddin kenyataannya justru kerap memuluskan jalan kalangan muda. Sementara figur-figur muda seperti Al-Muzzamil atau Untung Wahono cenderung bersikap hati-hati cenderung tidak sejalan dengan kalangan muda meski mereka tidak dapat disebut kalangan tua. Pada akhirnya sifat pengelompokan itu lintas generasi dan lebih pada style dalam menjalankan kepentingan partai. Dengan kata lain lebih disebabkan pada startegi perjuangan. Tidak lama setelahnya muncul stereotype yang lebih fenomenal lagi, yakni akan adanya “Faksi Kesejahteraan” dan “Faksi Keadilan”.
Faksi Kesejahteraan” dianggap sebagai kalangan extravaganza yang berbeda dengan kalangan “Faksi Keadilan” yang menunjukan sebuah kesederhanaan. Dalam perkembangannya Faksi Kesejahteraan terlihat lebih mengambil peran, tercermin dari sikap partai yang menjadi lebih terbuka, nasionalistik dan fleksibel, termasuk pemberian Award kepada tokoh-tokoh Nasional termasuk Soeharto, hingga keputusan untuk menjadi “partai terbuka” secara resmi di tahun 2010.
Faksi atau Tendensi?
Di satu sisi kemunculan “faksi”. Namun di sisi lain, berbagai pertanyan mendasar seperti tentang siapa saja tokoh dan penggerak utama di antara faksi yang ada?, dimana mereka biasa mengasah dan mengorganisir kekuatan untuk menguasai partai?, agenda apa yang membedakan degan jelas antar faksi?, adakah militansi untuk saling bersaing?, dan apakan ada “konsistensi rivalitas” dalam memperjuangkan hal-hal yang dianggap penting?, belum dapat dijabarkan secara definitif dan terang benderang.
Kalaupun seandainya ada terdapat kemungkinan besar untuk dibantah oleh mereka sendiri yang “dituduh” telah berfaksi itu. Jika dilihat dari tokoh-tokoh dan figur yang berperan penting dalam mewarnai keputusan-keputusan partai secara objektif tidak ada sebentuk pengelompokan yang demikian kokoh dalam partai ini. Ada suatu masa seseorang itu bisa menjadi anggota satu faksi, namun ada kalanya mereka berbeda.Kenyataannya pengelompokan itu bersifat “sporadis”, tergantung pada isu yang berkembang. Munandar (2011) menyebutnya sebagai “faksionalisasi dinamis” yang ditandai dengan berbagai irisan dan kemiripan antar faksi dan memungkinkan adanya perpindahan antar anggota faksi.
Kecuali itu, mereka yang berbeda nampak keburu tersingkir atau menyingkirkan diri ketimbang mampu untuk membangun blok tersendiri dalam partai ini.Kemudian masing-masing partai juga tidak secara jelas menyebutkan jati dirinya. Sebagai perbandingan pada Partai Konservatif Inggris misalnya salah satu faksi dalam tubuh partai itu menyebut diri misalnya sebagai “The Monday Club”, yang menaungi kalangan muda sayap kanan militan, berdiri 1961; atau “Tory Reform Group” yang berdiri tahun 1975 yang beorientasi pro state intrevention. Begitu juga dengan faksi dalam Partai Buruh, seperti “Tribune Group” yang pro deprivatisasi total, atau“Fabien Society”, yang pro pada peran terbatas negara. Faksi-faksi ini kerap secara konsisten terlibat konflik wacana dengan faksi-faksi lainnya.
Dalam perkembangannya meski kemudian muncul seolah-olah “faksi” dalam kalangan yang tergabung dalam Forum Kader Peduli (FKP), namun forum ini lebih tepat disebut sebagai sempalan, yang memang beroperasi dalam level wacana di luar partai. Situasi yang kurang lebih sama muncul dalam kasus Yusuf Supendi. Tokoh yang sebelumnya banyak berperan di balik layar ini merupakan tokoh yang dipandang mewakili “kalangan kritis”, sebuah kalangan yang berinteraski secara cair dan sporadis. Namun keberadan Yusuf sendiri bukan mewakili sebuah faksi atau kalangan tertentu di dalam tubuh partai.
Yusuf bergerak atas namanya sendiri, dengan bermodalkan titel mantan petinggi dan deklarator partai. Terbukti hingga kini tidak ada pengelompokan dalam PKS yang menyatakan dukungan atas aksi Yusuf – hingga akhirnya dia berlabuh ke Hanura – selain tentu saja beberapa tokoh atau simpatisan kritis yang telah lama tidak aktif di partai lagi.Terakhir, situasi internal partai paska penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) menunjukan lemahnya faksionalisasi dalam partai ini. Seandainya faksi itu ada, kasus LHI ini akan dijadikan pintu masuk bagi faksi tertentu untuk menguasai partai, sebagaimana yang misalnya terjadi di Demokrat. Di sisi lain, upaya itu tentu saja akan memicu perlawanan faksi saingan untuk mempertahankan kedudukan pendukung LHI.Namun semua dapat menyaksikan bahwa proses pergantian pimpinan partai di PKS berjalan mulus. Bahkan konsolidasi internal relatif tidak terganggu.
Terbukti kemudian mesin partai berjalan dengan baik untuk memenangkan kursi Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara.Berbagai kecenderungan di atas sedikit banyak menunukan bahwa potensi faksi dalam PKS tidaklah kecil. Namun berbagai kenyataan juga menunjukan bahwa keberadaan faski masih dalam level embriotik, sehingga lebih tepat menyebut berbagai fenomena perbedaan dalam partai ini sebagai sebuah tendensi ketimbang faksi. Dan nampaknya disinilah konsistensi pengkaderan yang sistematis yang dimiliki partai ini menuai hasilnya. (Firman Noor, Ph.D)
Bibliografi
Belloni, F and Beller, D.C, (eds). (1978) Faction Politics: Political Parties and Factionalism in Comparative Perspective, Santa Barbara-California: ABC-Clio.
Maor, M. (1997). Political Parties and Party Systems Comparative Approaches and British Experience, London: Routledge.
Munandar, A. (2011) Antara Jemaah dan Partai Politik Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, Disertasi Doktoral. Depok: Program Pasca-sarjana Sociologi, Facultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Rose, R. (1964), ‘Parties, Factions and Tendencies in Britain’, Political Studies, 12 (1) : 33-46.
Zariski, R. (1960). ‘Part Factions and Comparative Politics: Some Preliminary Observations’, Midwest Journal of Political Science, 4 : 1.