[JAKARTA] Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diminta berhati-hati dalam menyusun materi atau buku pelajaran Sejarah. Penyusunan buku Sejarah tidak boleh sarat propaganda dan kontrovesi.
Ahli Sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan pelajaran Sejarah tidak hanya bertujuan menanamkan nasionalisme tetapi juga sikap kritis dari para siswa.
Berdasarkan pengalaman masa Orde Baru, buku Sejarah kerap dimanfaatkan sebagai legitimasi pemerintah yang berkuasa untuk menjatuhkan para lawan politiknya. “Buku Sejarah tidak boleh kontroversial. Misalnya mau dijelaskan tentang Gerakan 30 September 1965 (G30S), harusnya semua versi diberikan. Siswa terutama yang duduk di SMA juga bisa mendiskusikan versi mana yang lebih tepat atau masuk akal. Dari pelajaran Sejarah, siswa belajar kritis dan berani mengajukan argumentasi,” tandas Asvi saat dihubungi SP di Jakarta, Jumat (13/9).
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menjamin objektivitas dalam penulisan buku Sejarah Kurikulum 2013. Nuh sempat diprotes oleh Wakil Ketua Komisi X DPR Utut Adianto karena adanya nuansa pencemaran nama baik Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam materi Sejarah pada pelatihan guru di Universitas Negeri Malang.
Terkait hal itu, Asvi mengatakan pemerintah memang belum merevisi buku-buku pendidikan Sejarah Indonesia yang ditulis sejak masa Orba. Dia mencontohkan buku terbitan Balai Pustaka (BP) berjudul Sejarah Nasional Indonesia edisi pemuktahiran. Buku tersebut merupakan buku sejarah untuk pegangan para guru.
Menurut Asvi, ada sejumlah masalah dalam buku tersebut. Misalnya dalam peristiwa kerusuhan tanggal 27 Juli 1996 yang sering disebut sebagai peristiwa Kudatuli. Di dalam buku itu, opini pembaca diarahkan bahwa kasus 27 Juli 1996 terjadi karena ulah pengikut Megawati Soekarnoputri. Buku itu juga mencatat hal yang salah terkait akhir rezim Soeharto.
Di dalamnya disebutkan Soeharto mengundurkan diri tahun 1998, bukan menyatakan diri berhenti sebagai presiden. “Sangat berbeda definisi mengundurkan diri dengan menyatakan diri berhenti sebagai presiden. Kalau berhenti, dia (Soeharto) harus mengajukan surat ke MPR, tapi ini kan tidak. Bagaimana jadinya jika buku yang dijadikan pegangan guru seperti itu kualitasnya?” kata Asvi.
Guru Tak Mampu Beli
Asvi menambahkan buku Sejarah lainnya terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2012 berjudul Indonesia dalam Arus Sejarah, juga mengandung kontroversi pada bagian Masa Reformasi. “Buku Indonesia dalam Arus Sejarah terdiri dari 8 jilid dan 1 jilid indeks. Bentuknya ensiklopedia dengan harga Rp 6 juta per paket.Bagaimana juga guru bisa beli?” tandasnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Bambang Wibawarta meminta Kemdikbud untuk mengevaluasi secara menyeluruh buku-buku dalam Kurikulum 2013. Khusus buku Sejarah, dia bertanya apakah sudah ada kontrol yang baik khususnya keterlibatan para ahli Sejarah dalam penyusunan buku. “Harus ditinjau ulang segera. Ada 6.000 lebih siswa yang menerapkan Kurikulum 2013, jangan sampai mereka menjadi korban,” tandasnya.
Bambang menuturkan penulisan buku Sejarah harus lepas dari berbagai tendensi. Penulis buku juga harus memiliki target (goal) dari setiap bahasan
» Sumber : Suara Pembaruan, 13 September 2013
» Kontak : Asvi Warman Adam |