Komisi Pemilihan Umum Kamboja akhirnya mengumumkan kemenangan Partai Rakyat Kamboja (Cambodian People’s Party/CPP) dalam pemilu tahun 2013 ini pada Sabtu, 7 September 2013 waktu setempat. CPP berhasil menang tipis atas rivalnya, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (Cambodia National Rescue Party/CNRP) pimpinan Sam Rainsy. CPP berhasil memperoleh 3,2 juta suara dan memenangkan 68 kursi dari 123 kursi di parlemen, sementara CNRP memperoleh 2,9 juta suara dan 55 kursi di parlemen. Kemenangan ini menandai “perpanjangan” masa jabatan kembali bagi Perdana Menteri Hun Sen selama lima tahun ke depan, sekaligus simbol belum lunturnya dominasi Hun Sen dan CPP atas Kamboja selama 28 tahun. Menarik untuk melihat bagaimana Hun Sen bisa mempertahankan kekuasaannya selama hampir tiga dekade.

Sesuai amanat konstitusi, pemilihan umum di Kamboja dilakukan untuk memilih anggota Majelis Nasional dan Senat. Majelis Nasional terdiri dari 123 kursi dan anggotanya dipilih oleh suara terbanyak untuk masa jabatan lima tahun, sementara Senat terdiri dari 61 kursi dengan 2 orang anggota ditunjuk oleh Raja, 2 orang dipilih oleh Majelis Nasional, dan 57 orang dipilih oleh anggota parlemen dan dewan-dewan komune untuk masa jabatan selama enam tahun. Sebagai sebuah monarki konstitusional, Raja merupakan kepala negara dengan peran yang bersifat seremonial dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

Namun demikian, aturan terkait posisi perdana menteri tidak terlihat secara jelas dalam konstitusi Kamboja, bahkan masa jabatan perdana menteri tidak disebutkan dalam konstitusi. Pasal-pasal mengenai Perdana Menteri hanya mengatur bahwa Raja menunjuk Perdana Menteri dan Dewan Menteri (artikel 19); Dewan Menteri dipimpin oleh Perdana Menteri dibantu oleh Deputi Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri, Menteri-Menteri, dan Sekretaris Negara yang merupakan anggotanya (artikel 119). Hal ini tentu menjadi salah satu alasan mengapa Hun Sen bisa bertahan sejak tahun 1985 ketika ia terpilih menjadi perdana menteri termuda dalam usia 33 tahun, kecuali dalam periode singkat tahun 1993-1997 (ketika ia menjadi perdana menteri kedua mendampingi Ranariddh). Setelah tahun 1997, Hun Sen kembali ke tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri hingga kini.

Sejak pemilu tahun 1998, CPP terus memenangkan pemilu parlemen. Pemilu tahun 1998 diikuti oleh 39 partai politik yang mewakili berbagai kepentingan, mulai dari kelompok minoritas hingga petani. Hampir 90% pemilih memberikan suaranya dalam pemilu kali ini yang dimenangkan oleh CPP (64 kursi) mengalahkan FUNCINPEC (43 kursi) dan Sam Rainsy Party/SRP (15 kursi). Pemilu selanjutnya yang diselenggarakan pada bulan Juli 2003 diikuti oleh 23 partai politik. Hampir 81% dari 6,34 juta pemilih yang terdaftar memberikan suaranya. CPP kembali memenangkan pemilu kali ini (47%). Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada pemilu tanggal 27 Juli 2008. Pada pemilihan kali ini, CPP memenangkan 90 kursi, Sam Rainsy Party 26 kursi, Human Rights Party memenangkan 3 kursi, FUNCINPEC 2 kursi, dan Norodom Ranariddh Party 2 kursi (Kheang Un, 2005).

Namun demikian, pelaksanaan ketiga pemilu ini tidaklah lepas dari kontroversi. Pada pemilu tahun 1998 dan 2003, kedua rival utama CPP, yaitu FUNCINPEC dan SRP menolak hasil pemilu dan menuduh CPP melakukan intimidasi dan kecurangan. Namun, tidak ditemukan bukti kecurangan masif yang dapat secara signifikan mengganggu hasil dari pemilu ini. Komunitas internasional juga tidak sepakat dengan kelompok oposisi ini dan mengatakan bahwa kedua pemilu ini dianggap “free and fair” dan bisa diterima serta memenuhi “democratic standards”. Pada pemilu tahun 2003, FUNCINPEC dan SRP menyerang Komisi Pemilihan Umum Nasional dan Dewan Konstitusi dengan sejumlah aduan. Aksi kelompok oposisi ini didukung oleh beberapa NGO internasional dan domestik, seperti Cambodian Center for Human Rights dan the International Republican Institute (IRI).

Sejak tahun 1997, CPP menggunakan dominasinya dalam arena pemilihan umum, secara khusus di wilayah pedesaan dengan menggunakan intimidasi dan kekerasan. Jalin menjalin antara CPP dan negara memberikan jalan bagi CPP melakukan kooptasi dan paksaan terhadap pemilih serta mencegah mereka untuk membentuk ikatan dengan partai oposisi, sementara pada saat yang sama membatasi aktifitas partai oposisi di wilayah pedesaan. Wilayah pedesaan sengaja dipilih oleh CPP untuk mempertahankan dominasinya karena pemilih di wilayah perkotaan lebih tertarik dan lebih condong untuk mendukung partai dengan kebijakan spesifik yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari, seperti korupsi, perlakuan tidak adil terhadap kelompok bisnis kecil, harga bahan bakar minyak, dan upah yang rendah. Kombinasi penduduk kota yang mencakup kelompok pluralis, kelompok pemilih yang berpengalaman dan mempunyai ruang politik yang terbuka, membuat wilayah perkotaan lebih kondusif bagi tumbuhnya kelompok oposisi dibanding wilayah pedesaan. Oleh karena itu, CPP memerlukan dukungan dari pemilih di wilayah pedesaan untuk menahan tekanan dari partai oposisi dan memelihara kontrolnya atas negara (Kheang Un, 2005).

Hun Sen yang secara de facto adalah pemimpin CPP sekaligus perdana menteri yang berkuasa, menghubungkan dirinya dan CPP kepada kelompok pemilih melalui patronase politik. CPP sebagai partai dan Hun Sen sebagai seorang patron individu menggunakan bujukan material untuk menarik pemilih. Selain itu, patronase politik tidak hanya menghubungkan CPP dan Hun Sen dengan pemilih, tetapi juga dengan pejabat pemerintahan dan kelompok bisnis, sebuah jaringan yang memelihara korupsi dan menguasai penegakan hukum (Kheang Un, 2005). Pada tahap ini, CPP telah mengurangi penggunaan kekerasan dan intimidasi dalam pemilihan dan menggantinya dengan bujukan material untuk memenangkan “hati dan pikiran” pemilihnya serta memotong kompetisi dari partai oposisi.

Dalam strategi menarik pemilihnya, CPP tidak berdasarkan agenda kebijakan, tetapi lebih pada penggunaan politik patronase dengan menyediakan proyek konstruksi baru, seperti sekolah, kuil, sistem irigasi, dan jalan. Hun Sen tidak merahasiakan sumber dana proyek-proyek pembangunan ini. Dana pembangunan ini bersumber dari “donasi” pelaku bisnis yang kuat. Sebagai contoh, Mong Rethy, seorang raja konstruksi dan agrobisnis menawarkan hampir US$ 3 juta kepada Hun Sen untuk proyek pembangunan. Bukti kontribusi dari pebisnis ini dapat dilihat pada stasiun TV yang dikontrol oleh CPP kapanpun Hun Sen berkunjung ke pedesaan. Kekuasaan yang diperoleh Hun Sen didapatkan melalui proyek pembangunan dan bujukan material lainnya yang sumber pendanaannya adalah politik patronase yang disokong oleh korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah dan partai, kelompok bisnis, dan pemilih di pedesaan (Kheang Un, 2005). Korupsi merupakan masalah sosial pelik yang dihadapi Kamboja saat ini. Bahkan, berdasarkanPolitical and Economic Risk Consultancy, Kamboja merupakan negara terkorup kedua di Asia Tenggara.

CPP selalu mendominasi arena politik. CPP kehilangan kursi dalam pemilu tahun 1993, tetapi Hun Sen mengatur untuk dipilih sebagai Perdana Menteri kedua. CPP kemudian memenangkan pemilihan berikutnya pada tahun 1998. Hun Sen terus mengatur untuk bertahan sejak tahun 1985, ketika ia muncul sebagai perdana menteri termuda pada usia 33 tahun dengan memenangkan semua suara yang diberikan dalam pemungutan secara rahasia di Majelis Nasional. Ia tetap menjadi perdana menteri, kecuali dalam periode singkat 1993-1997 (ketika ia menjadi perdana menteri kedua). Sejak sistem parlementer tidak menentukan batasan masa jabatan Perdana Menteri (selama masyarakat memilih dalam pemilihan sehingga partainya tetap berkuasa), Hun Sen telah membuktikan jauh lebih sukses dalam mengkonsolidasikan kekuasaan di Kamboja dibanding siapapun juga. Tidak ada partai oposisi yang kini menikmati setiap prospek kemenangan pemilu, seperti yang dialami CNRP dalam pemilu 2013 ini meskipun CNRP menuding telah terjadi kecurangan karena 1,3 juta nama pemilih hilang dari daftar pemilih dan CPP telah mengisi kotak suara dengan suara ilegal (Kompas, 2 Agustus 2013).

Seperti disebutkan sebelumnya, kecurangan ini bukanlah hal baru bagi CPP. Dominasi Hun Sen dan CPP serta upayanya melanggengkan kekuasaan menyebabkan kekerasan politik tidak terhindarkan, termasuk terhadap kebebasan pers, oposisi, dan kelompok masyarakat sipil. Hun Sen nampaknya terus berupaya melanggengkan kekuasaannya dengan berbagai cara. Salah satunya adalah amandemen konstitusi tahun 2006 yang telah mengubah wajah politik Kamboja. Berdasarkan amandemen konstitusi yang baru ini, sebuah partai politik yang mendapatkan lebih dari 50% suara dalam sebuah pemilihan diperbolehkan untuk membentuk pemerintahan, menggantikan peraturan sebelumnya yang mensyaratkan dua per tiga suara. Terbukti, amandemen ini yang digunakan Hun Sen menyikapi hasil pemilihan umum tahun 2013 ini bahwa ia hanya butuh 63 orang untuk menyetujui undang-undang dan membentuk pemerintahan.

Angin perubahan nampaknya belum hinggap di Kamboja, setidaknya dengan melihat hasil pemilu 2013 ini. Kamboja masih harus menghadapi dominasi Hun Sen dan CPP, apalagi bila mengingat ucapan Hun Sen di tahun 2009 yang menyatakan “If I am still alive, I will continue to stand as candidate until I am 90” (Ian Storey dan Lee Poh Onn, 2009). (Lidya Christin Sinaga)

Sumber:  http://politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/862-pemilu-kamboja-2013-masih-hun-sen-dan-cpp.html