Demokrasi dan desentralisasi sebagai guideline baru yang dicanangkan sejak berakhirnya masa kuasa kontrol ketat negara pada tahun 1998 menuai pemaknaan beragam di setiap lokus/ daerah. Politik lokal menemukan ruang dinamikanya sejak era kebebasan menggantikan era keterbatasan. Terbatasnya partisipasi politik dimasa Orde Baru selalu menjadi alasan yang kuat bagi masyarakat di daerah untuk segera mendefinisikan diri pada penyiapan pertarungan politik di tingkat lokal. Runtuhnya struktur negara yang sentralistis akibat proses demokratisasi 1998, segera menyebar menjadi relasi-relasi kuasa di tingkat lokal yang berkompetisi untuk kekuasaan politik dan ekonomi melalui pemilihan umum.

Catatan peristiwa gelap (affair politik) banyak mewarnai pertarungan perebutan pengaruh (otoritas) di Lombok, terhitung sejak era kemerdekaan hingga saat ini. Pada era pemerintahan Swapraja Sunda Kecil (1950), tercatat peristiwa Saleh Sungkar Affair. Insiden politik ini ditengarai melibatkan beberapa pejabat tinggi di Lombok. Peristiwa tersebut tak pernah diungkapkan secara gamblang penyebabnya. Pengetahuan masyarakat atas peristiwa tersebut lebih ditekankan pada efek perebutan kekuasaan yang melibatkan pemerintah pusat di Jakarta (Burhan Magenda; Dinamika peranan politik keturunan Arab di tingkatan lokal, Antropologi UI Vol 2, 2005). Pada tahun 1970-an, muncul penjahat legendarisAmat Pekel yang meresahkan masyarakat Lombok. Meskipun ini adalah peristiwa kriminal murni, kemunculan Amat Pekel yang diingat masyarakat adalah akibat dari konflik politik kepartaian dalam sebuah  klan tokoh agama / Tuan Guru. Kedua kasus (Saleh Sungkar dan Amat Pekel affair)mendapat mendapat perlakuan yang sama; sisi politiknya digelapkan.

Pada masa Orde Baru; kontestasi politik lokal di Lombok lebih didominasi oleh pertarungan antara kelompok politik di dalam Golkar. Terbatasnya partisipasi politik di era Orde Baru sebagai akibat dari sistem politik tertutup yang diterapkan oleh Soeharto, menjadikan Golkar sebagai ruang pertarungan kekuasaan yang harus dimenangkan oleh kelompok yang direpresentasikan melalui kader-kader yang berada didalamnya. Klik pertarungan lebih banyak dimainkan ditingkat internal organisasi Golkar. Pada era 90-an, intrik politik di tingkat elite Golkar dimunculkan dengan sandi “Buku Kuning vs Buku Putih”. Intrik elite ini lebih banyak menyoal perang posisi ditingkat kader partai dan tokoh lokal yang bersaing merebut posisi penting dalam Golkar menjelang pemilu ditahun 1992 (catatan pribadi almarhum H.L Masyhar SH, Mantan Politisi Golkar NTB)

Politik di Lombok selalu saja diasumsikan sebagai pertarungan bagi kemenangan kelompok pada masa lampau. Dengan demikian posisi rakyat selalu dipinggirkan karena rakyat adalah klien dalam struktur patronase. Pilihan politiknya digantungkan pada kesepakatan elite pada tingkat yang lebih tinggi. Tradisi oposisi adalah congah atau pemberontakan terhadap negara. Cara berpikir ini dipandang efektif sebagai motif harmonisasi politik di tingkat lokal berbasis kekeluargaan/klan yang dilakukan oleh keluarga inti penguasa wilayah (paer). Congah adalah diksi yang bermakna pemberontakan terhadap pemegang otoritas, kritik terhadap negara dan kekuasaan. Lebih jauh lagi, politisi yang tidak berpolitik melalui organisasi GOLKAR adalah dianggap “tidak bersih lingkungan’ atau “terlibat organisasi terlarang”. Skenario politik ini dimainkan secara terus menerus memakai segala cara dan pola, untuk kepentingan pemenangan Golkar dalam setiap pemilihan umum demi lancarnya agenda serta pola pembangunan ala Soeharto yang memburu rente/State Birocratic Rente (Budiman 1996).

Seiring reformasi dan desentralisasi, partai Golkar masih menjadi partai mayoritas di NTB khususnya Lombok. Kelihaiannya memanfaatkan momentum di tingkat local serta minimnya tradisi oposisi menjadikan Golkar menggurita. Selain itu, Golkar sangat lihai menggunakan pendekatan lokal dalam menyikapi kompetisi politik kepala daerah. Dalam bahasa Sasak terdapat istilah teteh kambut basaq/membuang sabut basah yang bermakna buanglah sekarang, ambil pada saat berguna. Tercatat Drs. H.L Serinata (Gubernur NTB 2003-2008) adalah kader partai Golkar yang dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 2003. H. Suhaili (Bupati Lombok Tengah 2010-2015) adalah kader Golkar yang dicalonkan oleh PDIP dan PKS pada tahun 2010.

Pertarungan genre di tingkatan lokal saat ini juga sangat mengedepankan peran tokoh agama yang di Lombok dikenal sebagai Tuan Guru. Menguatnya peran mereka diakibatkan oleh pola demokrasi langsung (pilkada dan sistem proporsional terbuka dalam pemilu parlemen) dan ghirrah kepartaian Tuan Guru. Dalam pemilu 1955 tercatat Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid pendiri organisasi NW (Nahdlatul Wathan) menjadi anggota konstituante mewakili Masyumi. Pola patronase ini menjadi tren yang terus-menerus dipelihara hingga saat ini. Hal ini  dibuktikan dengan kemenangan Tuan Guru Zainul Majdi (cucu Zainuddin Abdul Majid) dalam pemilihan gubernur NTB selama dua periode (2008-2013 dan 2013-2018).     

Jika Clifford Gertz pernah menyebut kaum abangan dan santri sebagai dua kelompok utama dalam aras politik lokal di Jawa, maka di Lombok pola tersebut tidak diametral. Pertarungan politik sebagaimana yang dibayangkan hanyalah pertarungan eksistensi keluarga-keluarga inti. Dikotomi Santri dan Abangan hampir tidak pernah ditemukan karena ada Selam/Islam sebagai agama identitas pemersatu suku bangsa dimasa lampau. Identitas Selam atau Islam adalah modulasi keagamaan yang dibangun dimasa lampau sebagai batas identitas antara penjajah (Hindu-Bali) dan kaum terjajah (Islam-Lombok).  

quo vadis demokrasi di Lombok, maka momentum pemilihan umum baik legislative maupun eksekutif akan tetap bertumpu pada –meminjam terminologi otoritas ala Max Webber–, tiga genre otoritatif yaitu: otoritas Kharismatik, otoritas tradisional, dan otoritas rasional. Otoritas kharismatik adalah mereka yang mengandalkan posisi dan peran individual, Otoritas tradisional adalah mereka yang mengandalkan model patron klien, sementara Otoritas rasional adalah mereka yang mengandalkan kekuatan legal rasional.

Pola demokratisasi kita yang liberatif menjadikan ketiga otoritas tersebut berpadu dan saling mewarnai didalam wadah partai politik. Menilik pola bangun kepartaian kita yang tidak mengedepankan ideologi kerakyatan dalam kaderisasinya berakibat buruk bagi demokrasi kita, baik ditingkat nasional maupun lokal. Masalah terbesar bagi demokratisasi di tingkat lokal adalah penyederhanaan terhadap perubahan hanya berhenti pada replacement; pergantian posisi semata.  Euforia kemenangan yang diawali transisi dari totalitarianisme menuju demokrasi, pada perjalanannya kemudian gagal menuai hasil yang diharapkan. Kalangan pro-demokrasi telah gagal menghasilkan alternatif yang bisa diterapkan –melengkapi– apa yang sebaiknya dilakukan. Di sisi lain, karakter gerakan demokrasi di Indonesia sejauh ini tak mampu beralih dari karakter mengambang atau“floating” secara sosial dan terpinggirkan “marginal” secara politik. Plus fragmentasi aktor pro-demokrasi yang terlibat di dalam gerakan tersebut, mengakibatkan masa depan demokrasi di Indonesia masih sulit beranjak dari ritus pemilihan umum semata. Quo vadis demokrasi kita masih belum bisa dimajukan ke arah yang lebih baik. Aras oposisi sebagai syarat utama demokratisasi sebuah negara tidak menemukan konteksnya, sebagai akibat penunggalan yang terus menerus dilakukan sejak era Orde Baru Soeharto. (Lalu Akhmad Ladun)