Di tengah maraknya diskusi mengenai Papua, penting untuk memahami keberadaan komunitas non Papua, yang dikenal dengan istilah pendatang, yang juga memiliki permasalahan dan gagasan damai yang dibangun di Papua melalui dialog. Selama ini ternyata tidak ada data khusus mengenai komunitas non Papua di Papua. Oleh karena itu, Aliansi Demokrasi untuk Papua (AIDP) berusaha membedah karakteristik dan kontribusi komunitas non Papua ini untuk membangun perdamaian di Papua. Kajian ini dilakukan di wilayah Jayapura, Merauke, Manokwari, Nabire, Timika, Sorong, dan Fakfak selama kurun waktu 2009-2012. Hasilnya menjadi buku dengan judul Menuju Papua Tanah Damai : Perspektif Non Papua yang disampaikan oleh Direktur AIDP, Latifah Anum Siregar, dan dibahas oleh Dr. Muridan Satrio Widjojo dari LIPI dan Mahfud Siddiq dari Komisi I DPR RI. Launching buku ini dilaksanakan pada tanggal 5 September 2013 bertempat di Hotel Harris, Tebet, Jakarta.
Definisi dan Eksistensi Komunitas Non Papua
Setidaknya terdapat sembilan gagasan yang berkaitan dengan definisi dan eksistensi komunitas non Papua di Papua ini. Gagasan pertama yang ramai diperbincangkan adalah apa yang dimaksud dengan pendatang ini, karena pendatang identik dengan kesenjangan politik dan ekonomi. Bahkan di beberapa wilayah di Papua terdapat pemberian istilah yang berbeda untuk komunitas non Papua ini seperti di Merauke dikenal dengan masyarakat lokal dan non lokal, sementara itu di Timika dikenal dengan sebutan perantau. Gagasan kedua berkaitan dengan sejarah kedatangan komunitas non Papua ke Papua yang datang dalam kurun waktu yang berbeda baik sebelum konflik 1999 dan sesudahnya. Pada periode sebelum 1999 ini menjadi titik kunci dimana para pendatang ini kemudian membuat paguyuban berdasarkan daerah asal, latar belakang agama, dan profesi, yang hingga kini telah mencapai dua generasi. Gagasan ketiga berkaitan dengan identitas komunitas non Papua ini dimana kalau bicara Papua, maka harus bicara juga persoalan yang terjadi di Papua dan bagaimana identitas Papua dibangun. Selama ini persoalan yang terjadi di Papua baik menyangkut masalah politik dan ekonomi juga dialami oleh komunitas asli dan non Papua, dimana sebenarnya identitas ini tidak perlu dipersoalkan.
Gagasan selanjutnya berkaitan dengan penghormatan terhadap orang Papua sendiri. Hal ini berupa pemaknaan bagaimana Papua sebelum dan sesudah bergabung dengan NKRI, dan juga pemaknaan terhadap upaya damai yang dilakukan di Papua saat ini. Gagasan kelima berkaitan dengan potensi konflik yang terjadi di Papua dimana sebenarnya terdapat hubungan yang tidak harmonis antara komunitas asli Papua dan non Papua yang selalu ada potensi kesenjangan diantara keduanya. Sebenarnya terdapat beberapa masalah yang berpotensi menimbulkan konflik yaitu (a) jumlah populasi non Papua yang semakin meningkat walaupu belum didukung dengan data statistik yang membuktikan hal tersebut, (b) persoalan tanah dan hak ulayat yang selalu menjadi masalah di setiap wilayah Papua karena adanya duplikasi sertifikat tanah, (c) adanya kesempatan kerja yang berbeda antara komunitas asli Papua dan non Papua dimana non Papua selalu menguasai sumber-sumber ekonomi penting di beberapa wilayah Papua, (d) kesenjangan ekonomi yang terus melebar antara komunitas asli dan non Papua yang jika dirunut lebih jauh berkaitan dengan etos kerja pendatang yang lebih tinggi untuk bertahan hidup di tanah Papua dibandingkan penduduk asli Papua yang sudah menempati wilayah tersebut secara turun temurun, (e) isu otonomi khusus yang diberlakukan sejak tahun 2001 dengan gelontoran dana yang sangat besar untuk pembangunan di wilayah Papua dengan prioritas penggunaan anggaran yang sudah dirancang dari awal namun ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, dan (f) isu kekerasan berupa penembakan masih terjadi di berbagai tempat yang tidak urung menimbulkan kekhawatiran dan kurangnya rasa aman baik bagi komunitas asli Papua dan non Papua. Selanjutnya, berkaitan dengan gagasan keenam yaitu fungsi keterlibatan negara dalam menangani konflik yang terjadi di Papua, dimana hal ini pun belum memberikan rasa aman bagi berbagai komunitas yang hidup di Papua.
Hubungan antara komunitas asli dan non Papua ini tidak bisa dipisahkan dari gagasan ketujuh mengenai penyelenggaraan pemerintah. Di dalam pemerintahan ini mau tidak mau pasti berhubungan dengan beberapa hal berikut (a) masalah penegakan hukum dan aksi kekerasan yang masih menjadi sorotan berbagai kalangan, (b) aksi bersenjata yang masih terjadi seperti di Timika, sebagaimana yang disampaikan oleh komunitas non Papua dari beragam profesi seperti guru, petugas kesehatan, PNS, dan aparat keamanan sendiri, yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada OPM yang berada di sekitar Freeport, (c) masalah pelanggaran HAM masih menuai kritikan tajam karena jika korbannya orang asli Papua maka akan mendapatkan respon politik yang tinggi namun jika korbannya bukan dari Papua asli maka tidak mendapatkan perhatian politik yang berarti, (d) penyelenggaraan pemerintahan yang masih menyisakan permasalahan dimana orang asli Papua belum bisa menempati posisi penting dalam pemerintahan dan lebih banyak orang non Papua yang berkiprah dalam pemerintahan, serta (f) masalah investasi ekonomi berupa distribusi lapangan kerja yang merata untuk komunitas asli dan non Papua serta akses pendidikan yang terjangkau bagi kedua komunitas ini.
Selanjutnya gagasan dialog yang diusung oleh komunitas non Papua yang jika bicara mengenai NKRI maka akan melibatkan pula pembicaraan mengenai Papua merdeka. Hal ini masih merupakan isu yang sensitif khususnya mengenai gagasan dialog Papua damai, yang bagi komunitas non Papua sendiri masih perlu waktu untuk memahami dengan benar apa yang dimaksud gagasan damai ini, yang perlu sosialisasi dengan komunitasnya. Dalam perkembangannya, muncul gagasan mengenai pendekatan dialog yang menuntut beberapa hal yaitu (a) bagaimana memandang manusia Papua ini sesuai dengan martabatnya, (b) definisi yang sepadan tentang Papua damai belum sama, (c) setiap tokoh di Papua harus memiliki figur yang mampu menjadi panutan khususnya yang mengusung gagasan damai ini, (d) tidak menggeneralisir satu dua orang dalam kelompok etnis namun harus memahaminya sebagai komunitas Papua secara utuh, dan (e) masalah keamanan yang harus diselesaikan sehingga Papua menjadi tanah yang aman dan damai baik bagi komunitas asli Papua dan non Papua.
Pada dasarnya, nilai-nilai bersama yang membuat Papua Tanah Damai dapat dibangun melalui kebutuhan untuk memiliki rasa mana dalam segala aspek, yang diikuti dengan pengakuan eksistensi baik untuk orang asli Papua dan non Papua yang harus diharmonisasi. Hal ini dilanjutkan dengan adanya rekonsiliasi bagi para korban yang menjadi korban pelanggaran hukum, HAM, dan keadilan, dimana perlu toleransi dan tidak ada diskriminasi pada periode sebelum dan sesudah Otonomi Khusus. Namun demikian, dampak diterbitkannya buku ini bisa menjadi alat provokasi karena baru pertama kali bicara mengenai komunitas non Papua, yang sebenarnya ada harapan untuk membangun Papua damai seiring dengan komunitas aslinya.
Keterlibatan Kelompok Non Papua dalam Membentuk Papua Damai
Adanya pertemuan dan konsultasi dengan pendatang yang difasilitasi oleh AIDP telah menghasilkan dokumentasi yang sangat baik, karena AIDP yang justru menata, mengurus kembali, menjadikan buku sederhana, dan memberi inspirasi untuk semua yang berjuang untuk Papua yang damai. Letak pentingnya melibatkan komunitas non Papua menuju Papua damai adalah karena konflik Papua bukan hanya antara orang asli Papua dengan non Papua namun keduanya justru menjadi korban. Keduanya tidak bisa dihadapkan pada isu pro NKRI atau pro Papua merdeka karena terdapat hak-hak warga negara yang hilang. Kondisi ini sudah bukan lagi mengenai Papua atau non Papua tapi mengenai bagaimana memperkuat masyarakat sipil yang ada di Papua. Tanggapan tersebut disampaikan oleh Dr Muridan Satrio Widjojo dari LIPI yang menambahkan bahwa selama ini kalangan non Papua di tanah Papua selalu terjebak dengan komunitas masing-masing seperti himpunan keluarga Bugis, Buton, Toraja, dan Jawa yang tidak jauh dari urusan khitanan, pernikahan, dan tidak pernah keluar dari hal tersebut. Oleh karena itu ketika terjadi konflik maka paguyuban ini tidak banyak bicara, sehingga paguyuban ini perlu didorong agar mereka menjadi bersatu.
Komunitas non Papua ini juga menyuarakan untuk mendapatkan hak ekonomi dan pendidikan karena hak-hak tersebut tidak bisa begitu mudah diakses, sehingga harus diperjuangkan untuk membuat lembaran baru di Papua. Perlu juga untuk membangun solidaritas komunitas asli Papua yang pada saat ini masih mengalami penindasan. Hal ini bisa juga dicapai dengan membangun komunitas pendatang bekerja sama dengan komunitas asli Papua untuk menyelesaikan masalah tanah adat atau tanah ulayat. Jaringan ini dapat dipergunakan untuk memediasi setiap masalah yang muncul untuk setiap masalah kekerasan yang terjadi yang menimpa baik komunitas asli Papua dan non Papua.
Selama ini Jaringan Damai Papua (JDP) menjembatani dialog yang tidak hanya antara pemerintah dan masyarakat namun juga antara komunitas-komunitas yang hidup di Papua. Hal ini juga harus dipahami bahwa antar komunitas ini saling bertemu di pasar, sekolah, universitas, dan kantor pemerintah, namun tidak pernah ada dialog yang mendalam diantara mereka. Yang perlu dievaluasi adalah bagaimana keterlibatan kelompok non Papua ini dalam membuat Papua damai karena upaya damai ini membutuhkan konstituen yang sangat luas, yang tidak hanya kelompok pro Papua merdeka namun juga kelompok gereja dan universitas. Oleh karena itu lembaga negara pun menyatakan bahwa penyelesaian masalah Papua ini harus melalui dialog.
Pada pertemuan di Bali bulan Desember 2011 telah sampai pada kesimpulan bahwa upaya mengadvokasi dialog ini sudah selesai dan sudah disetujui dimana dalam tahap kedua perlu ada format yang dijalankan sehingga terjadi dialog. Jika bicara pemerintah maka juga harus bicara tentang kementerian, DPR, TNI, Polri, yang berusaha membangun konstituen sedemikian rupa, yang sudah terbangun tentang bagaimana membangun konsep tentang Papua merdeka, yang juga Papua damai, yang juga mempengaruhi konsep politiknya.
Yang harus dipahami adalah harus ada yang menjadi kesadaran kolektif mengenai konsep Papua damai ini karena kalau tidak, maka akan menjadi masalah baru. Sosialisasi mengenai dialog Papua damai ini adalah sesuatu yang lahir dan mengalir dari lapangan yang oleh karena itu menjadi terminologi yang mengalir begitu saja. Sejauh ini gagasan Papua damai ini membawa relevansi apa bagi komunitas asli Papua dan non Papua, serta bagi pemerintahnya. Hal tersebut disampaikan oleh Mahfud Shiddiq dari Komisi I DPR RI yang menyatakan bahwa bagi orang-orang yang tinggal di Papua dan secara etnik bukan orang Papua maka orang ini belum menemuka rumah yang sesungguhnya, dan juga belum menempatkan mereka sebagai bagian dari Papua. Memang ada segregasi yang kuat, namun juga ada kebersamaan, dan juga ada sekat-sekat diantara mereka yang jika muncul masalah bisa dimobilisasi untuk berbagi kepentingan. Dimensi persoalan Papua ini sudah bukan lagi mengenai komunitas asli atau non Papua namun harus menekankan pada persoalan politik dan juga kesejahteraan yang harus dibenahi terlebih dulu seiring dengan upaya mewujudkan Papua damai.(RR Emilia Yustiningrum)