Jakarta – Peneliti senior dari LIPI Siti Zuhro mengemukakan kebijakan moratorium pemekaran wilayah tidak bisa berlaku sepihak, hanya dipatuhi oleh pemerintah saja, sementara DPR jalan terus. Seharusnya DPR mengkawal dan mengawasi proses itu, bukan malah membuka kran pemekaran.
“Pemekaran cenderung marak justru menjelang Pemilu. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2008 menjelang Pemilu 2009. Kecenderungan itu menimbulkan penilaian atau perpektif negatif publik dan juga membenarkan argumen yang berkembang selama ini tentang kuatnya motivasi politik di balik isu pemekaran. Pemekaran bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan digunkan sebagai barter politik,” kata Siti di Jakarta, Senin (28/10).
Ia mengingatkan isu pemekaran sebagai “barter politik” sangat membahayakan karena menyangkut kepentingan negara. Pertama, DPR dan Pemerintah belum menyelesaikan paket UU Otonomi Daerah (Otda) yang mencakup tiga RUU yaitu revisi UU 32 Tahun 2004 tentang Pemda, RUU Pilkada, RUU Desa. Kedua, di era politik dan kompetisi antar partai yang relatif sengit saat ini, membahas pemekaran sangat tidak tepat, kurang relevan dan tidak signifikan. Ketiga, pemerintah telah menyatakan moratorium sejak 2010. Karena itu, baik Pemerintah maupun DPR mestinya konsisten dan berkomitmen tinggi menyukseskan Otda dengan menata dan mendampingi daerah melaksanakan desentralisasi dan otda. Bukan sebaliknya, malah membuat keputusan politik yang akan menjadi bom waktu mencelakakan pelaksanaan desentralisasi dan otda.
Ia menjelaskan dari 65 daerah yang akan dimekarkan, kalau persyaratannya mengikuti UU Pemda saat ini bisa dipastikan bahwa tahapan menjadi DOB sangat longgar. Sedangkan di bawah UU pemda yang direvisi, daerah yang dimekarkan tidak bisa secara langsung menjadi DOB, di mana pimpinan daerah dan DPRD belum dibentuk sampai selama masa persiapan. Bila daerah-daerah yang dimekarkan tidak menunjukkan kemajuan dan justru buruk kinerjanya, maka daerah ini akan digabungkan.
Menurutnya, yang diperlukan Indonesia ke depan adalah menggabungkan daerah-daerah yang dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya. Gagasan penggabungan dan penghapusan daerah ini sama sahnya dengan pemekaran karena ketiga poin ini dilindungi UU. Artinya, kebutuhan kita saat ini dan ke depan adalah memperbaiki mekanisme penataan daerah melalui isu penggabungan daerah. Meskipun pemekaran masih dibolehkan, keputusan ini harus dilakukan secara cermat.
» Sumber : BeritaSatu.com, 28 Oktober 2013
» Kontak : R. Siti Zuhro |