Di satu sisi, upaya penggunaan hak interpelasi dan hak angket adalah panggung politik yang begitu “seksi” dan terbuka bagi para politisi parpol sehingga cenderung dipandang sebagai momentum strategis untuk aktualisasi diri para politisi atau parpol. Di sisi lain, upaya penggunaan hak-hak politik DPR tersebut tampaknya merupakan “lahan menggiurkan” bagi politisi dan parpol di Senayan untuk meraih keuntungan politik sekaligus ekonomi, baik bagi politisi parpol secara individu maupun parpol-parpol secara institusi. Faktor itulah yang menjelaskan mengapa parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi politik pendukung pemerintah tidak jarang tampil sebagai pemrakarsa atau pengambil inisiatif. Fenomena Partai Golkar, PKS, dan PPP dalam kasus penggunaan hak angket skandal Bank Century dan Golkar dan PKS dalam kasus penggunaan hak angket terkait mafia perpajakan pada awal masa kerja DPR periode 2009-2014 memperlihatkan kecenderungan demikian.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengawasan yang dijalankan DPR dalam dua belas tahun terakhir cenderung tanpa dilandasi “politik pengawasan”. Praktik dan implementasi fungsi pengawasan dibiarkan ditafsirkan secara sendiri-sendiri oleh setiap parpol dan bahkan oleh setiap politisi di DPR. Sebagai akibatnya, pertama, fungsi pokok DPR sebagai pembentuk undang-undang menjadi terbengkalai. Kedua, pola relasi DPR-Presiden cenderung terperangkap pada persaingan legitimasi sehingga konflik dan ketegangan politik yang tak perlu dan tidak produktif relasi antara keduanya. Akibatnya, tak hanya berkembang relasi konfliktual antara DPR dan Presiden, tetapi juga pola relasi yang potensial bersifat transaksional, karena kuatnya kecenderungan penyelesaian ketegangan di balik layar politik formal Senayan. Ketiga, pemerintahan hasil pemilu-pemilu demokratis pasca-Soeharto terpenjara dalam konstruksi demokrasi presidensial yang berbiaya ekonomi dan politik tinggi, tetapi tidak produktif dan tidak efektif dalam mewujudkan pemerintah yang bersih, adil dan menyejahterakan rakyat.