Penelitian Tahun 2011
 
Abstrak: 
 

Studi ini memotret kembali “konflik etnik” di Sambas dan Sampit, dan memetakannya dalam garis longitudinal sebelum, sewaktu, dan satu dekade setelah konflik terjadi. Temuan lapangan mengungkapkan, pendekatan struktural atas kasus Sambas dan Sampit menegaskan latent conflict telah terbentuk sekurangnya dua dekade melalui invisible hands negara, yang tidak dipahami oleh komunitas Dayak. Negara hadir dalam sosoknya yang maha kuat, jahat, tak tertandingi, dan tak terpahami. Proses longitudinal telah menggeser locus kekuasaan orang Dayak dan (sebagian) Melayu atas hutan yang memberi kehidupan melalui swidden agriculture maupun peramuan, kepada dunia ekonomi luas di luar habitat mereka, sebagai akibat dari imposisi kekuasaan negara atas “tanah air” yang sebelumnya dihuni orang Dayak.
 
Orang Madura melakukan migrasi fisik dari asal mereka ke Kalimantan. Namun, mereka tidak mengalami proses migrasi psikologis secara kelompok. Akibatnya, identitas kelompok tampil sangat kuat. Manakala orang Madura hadir dalam dunia orang Dayak sebagai kompetitor utama atas sumberdaya setempat, maka “Madura” adalah representasi dunia eksternal yang sebelumnya negara belum terwakili. Di bawah situasi ini, seluruh Dayak pun bersatu. Narasi perlawanan pun muncul dalam format kekerasan kolektif; dunia luar tidak lagi mengenal komponen-komponen sub-etnik Dayak sebelumnya, karena mereka berbaur dan menyatu. Kasus Sambas secara jelas menunjukkan pergeseran kolektivitas konflik seperti ini; bagaimana orang “Melayu” yang sebelumnya berkonflik dengan Dayak bisa bergandengan tangan melawan orang Madura. Pada pasca konflik, temuan lapangan menunjukkan indikasi, bahwa serangkaian proses rekonsiliasi yang dilakukan oleh agen-agen eksternal belum sepenuhnya mampu mengembalikan co-existence golongan masyarakat yang berkonflik di Sambas maupun Sampit. Temuan juga menunjukkan, para aktor dan pelaku konflik untuk sementara sudah “lelah.” Bagi komunitas Madura di Kalimantan—setidaknya pada kedua kasus, Sambas dan Sampit—tekanan fisik dan psikologis yang mereka alami telah menggiring sebagian besar dari mereka untuk keluar dari lokasi konflik.