Penelitian Tahun 2012

Abstrak:  

 Pergeseran sistem desentralisasi dan otonomi daerah pasca Orde Baru turut mengubah kedudukan dan peran gubernur sebagai lembaga yang memainkan peran sentral dalam hubungan Pusat-Daerah. Meskipun gubernur memiliki peran ganda sebagai wakil pemerintah pusat dan masyarakat di daerah, posisi ini tampak ambigu ketika kabupaten/kota diberi juga kekuasaan (otonomi) untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan kata lain, pemberian otonomi kewenangan yang luas dan sekaligus pemilihan langsung kepala daerah di saat yang sama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota turut menyebabkan ambiguitas peran ganda gubernur. Sementara itu, di samping tidak ada klausul mengenai “hierarki” antar tingkat pemerintahan, UU No.22/1999 maupun UU No.32/2004 juga tidak mengatur dengan jelas fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Ambiguitas hubungan antartingkat pemerintahan ini diasumsikan memunculkan perbagai permasalahan baik berupa tidak tersampaikannya program-program pemerintah pusat hingga ke masyarakat bawah maupun konflik antara provinsi dan kabupaten/kota. Studi ini penting dan diperlukan untuk memetakan secara mendalam pola permasalahan relasi kekuasaan antara gubernur dan bupati/walikota terutama di daerah yang diteliti (Kalimantan Barat, Bali, dan Jawa Tengah). Selain itu, studi ini juga penting untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan yang muncul dari pola relasi kekuasaan gubernur dengan bupati/walikota.