Penelitian Tahun 2012

Abstrak:  

Di bawah judul Tawaran Dialog Dalam Membangun Keindonesiaan: Mengurai Kemungkinan Pelajaran Damai Aceh untuk Papua, Pertama, buku ini ditulis dengan tujuan untuk menguraikan kemungkinan dialog sebagai jalan terbaik “untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan gerakan perlawanan separatisme dan menggantikan jalan represi” demi “mencapai kondisi saling percaya dan mengakhiri kekerasan di Papua [yaitu] dengan penguatan [semangat] kepapuaan dan keindonesiaan.” Penekanan diletakkan pada rangkaian isyu yang dipersoalkan, para aktor yang berperan atau bertanding, dan rangkaian proses politik yang berlangsung di sekitarnya.
 
Berbicara tentang prospek Dialog Damai Papua dan kemungkinan menarik pelajaran dari Aceh untuk kasus Papua mau tak mau akan memperhadapkan kita pertama-tama pada masalah kesenjangan antara realitas politik di Papua dan realitas politik di Aceh, terutama menyangkut perihal pada satuan dan tingkatan evolusi politik apa kita bisa berdialog atau berunding.
 
Kedua, kita perlu memasuki persoalan bagaimana kita menyikapi probabilitas suatu dialog komprehensif demi solusi komprehensif di tengah-tengah kondisi dan karakteristik politik Indonesia pada Era Upaya Reformasi (EUR) di mana demokrasi dijalankan secara sarat distorsi dan banyak bersifat karikatural dan di mana fungsi negara sebagai Rechtsstaat-Negara Hukum sangat lemah. Di sini kita akan dikonfrontasi dengan persoalan-persoalan sekitar bagaimana dialog dimaknai, tujuan dialog, dan skala dialog yang mungkin tercapai dan terkontrol begitu agenda dialog (kembali) diluncurkan.
 
Amatlah penting membedakan “dialog” dari “perundingan.” Dalam dialog yang sangat ditandai oleh posisi antagonistis, moderasi sama sekali tak bisa dijamin. Kekaburan batasan tentang arti kata “dialog”, pembukaan peserta dialog  seluas-luasnya, dan tiadanya batasan waktu bagi dialog yang dibayangkan sebagai gawe raksasa itu adalah resep bagi ketakpastian di mana ia akan berujung atau konsekuensi apa yang akan ditimbulkannya. Di sini, sangat mungkin tak hanya satu kotak Pandora yang akan dibuka, yang semuanya berisiko takkan terselesaikan.
 
Sejauh kita menyadari pentingnya menemukan keseimbangan antara hasrat, kemampuan, realitas Indonesia saat ini—adalah persoalan kemungkinan kita harus merevisi target, sasaran, dan strategi dialog untuk menyodorkan alternatif parsial-realistis menuju kebijakan penyelesaian masalah secara bertahap namun sedapat mungkin tak terbalikkan daripada sepenuh-penuhnya dialog yang berisiko membuka kotak-kotak Pandora. 
 
Membandingkan Aceh dan Papua, tentu tidak mudah dan menuai kritik banyak pihak, terutama kalangan garis keras dan orang Papua sendiri. Perbedaan konteks dan akar konflik serta isu, aktor dan proses yang berlangsung akan menjadi catatan tersendiri untuk lebih cermat memberikan jalan keluar dan penyelesaian yang tersedia lewat cara-cara non kekerasan dan persepektif kebangsaan (nasions). 
 
Aktor kunci perlu dilibatkan dalam dialog. Securitizing Actor adalah aktor kunci penentu keamanan di lapangan. Securitizing Actor dalam konteks konflik Aceh adalah aktor yang berperan dalam menentukan keamanan di lapangan. Mereka ini antara lain para jenderal lapangan pemimpin yang dapat mengendalikan aparat tentara dan kepolisian, intelijen dan juga pemimpin politik yang disegani dan didengar oleh para combatant dan militia AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka). Untuk dialog Papua, pihak ini perlu dirangkul dalam dialog.
 
Isu keadilan dan kesejahteraan menjadi kunci dialog perdamaian. Dialog Keindonesia cenderung  diperlukan, meskipun bicara soal merdeka jangan dicurigai atau ditutup. Kata “merdeka” di Aceh dan Papua, tidak harus dipahami sebagai merdeka dari akan state dan nasion Indonesia, tetapi merdeka yang lepas dari belenggu kemiskinan, ketertinggalan dan diskriminasi. Berkaitan dengan proses dialog Papua belajar dari Aceh, kata kuncinya adalah perlunya Dialog Bertingkat yaitu: Multitrack-dialog. Bukan hanya dialog Single-track di dalam negeri dengan fihak formal, namun juga Second-track Diplomacy dengan berbagai pihak di luar negeri terkait dukungan internasional dan pihak penentu keamanan (sequritizing actors). Ketika dialog nasional gagal atau belum optimum, maka aktor Negara perlu diam, kemudian membiarkan aktor non-negara untuk ambil peranan dalam membangun saling trust antara aktor kunci penentu keamanan dan juru runding Negara untuk membangun dialog di tingkat internasional, bersama pihak mediator internasional yang “terpercaya” oleh pihak-pihak yang berselisih. Sembari mengupayakan turunnya dukungan internesional terhadapak kaum pemberontak yang tindakannya mengarah ke terorisme, sementara tingkat pelanggaran HAM di tingkat lokal oleh tentara dan aktor keamanan lainnya, dikendalikan sedemikian rupa.