Jurnal Penelitian Politik Vol. 4 No. 1 Tahun 2007

Jurnal Penelitian Politik Vol. 4 No. 1 Tahun 2007Title: Jurnal Penelitian Politik Vol. 4 No. 1 Tahun 2007 
Type: Book
Author: Awani Irewati, RR. Emilia Yustiningrum, Johny Lumolos, Firman Noor, Kurniawati Hastuti Dewi, Heru Cahyono, Afadlal, Adriana Elisabeth, Lidya Christin Sinaga.
Publisher: LIPI Press
Year: 2007

CATATAN REDAKSI

Menyusul euforia atas runtuhnya rezim komunisme Soviet di awal 1990-an, Francis Fukuyama menulis buku berjudul The End of History and the Last Man. Ia mengklaim bahwa sistem kapitalisme dan demokrasi liberal Barat secara universal merupakan bentuk final dari pemerintahan umat manusia, sekaligus puncak perwujudan kebebasan umat manusia.

Apakah waktu itu Fukuyama sedang berilusi, kita tidak tahu, yang jelas kenyataan belakangan memperlihatkan bahwa isi buku tersebut mungkin boleh dibaca tidak lebih sekadar propaganda ideologis ketimbang karya akademis yang kuat. Bertolak belakang dengan klaim Fukuyama, sejumlah fenomena di berbagai belahan bumi dewasa ini memperlihatkan bahwa kita tengah menapaki detik-detik kematian demokrasi. Yang lebih mencengangkan bahwa pembusukan itu justru akibat mekanisme internal dari sistem demokrasi liberal dan kapitalisme itu sendiri. 

Kita kini tengah dihadapkan pada bukti-bukti tak terbantahkan mengenai bagaimana praktik kebebasan dan demokrasi itu sendiri telah dilanggar oleh kekuatan global yang dikendalikan oleh kapitalisme neoliberal. Kita mencatat bahwa kepentingan ekonomi kapitalisme global menjalankan bisnisnya tanpa mengenal etika, dan sekaligus  berperan dalam aktivitas yang justru merusak demokrasi dan melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Serangan AS ke negara kaya sumber daya alam, Afghanistan dan ke Irak adalah wujud dari naluri liar prinsip ekonomi kapitalisme yang menabrak nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Dengan dalih adanya senjata kimia dan pemusnah massal yang tidak pernah bisa dibuktikan, AS secara unilateral dan tidak sah menyerang Irak. Padahal motivasi di balik itu jelas semata-mata hendak menggulingkan Presiden Saddam Husein dan untuk kemudian bisa menguasai ladang-ladang minyak Irak. Dengan cara semacam inikah diraih kemenangan kapitalisme dan demokrasi yang dibangga-banggakan Fukuyama itu? Sebuah sistem yang di dalamnya penuh paradoks, kemunafikan, serta ambiguitas.

Kematian demokrasi mulai ditorehkan manakala tangan-tangan kapitalisme global merambah serta berusaha merebut peran negara, mengintervensi dan mendistorsi pelbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan publik. Pada gilirannya, itu akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang cenderung semakin menelantarkan rakyatnya lantaran lebih sibuk melayani para kapitalis. Sebagian pejabat di Indonesia juga pernah mengemukakan, bahwa bagi pengusaha besar asing termasuk investor kakap, demokrasi merupakan hal nomor dua. Yang paling diperlukan adalah stabilitas dan keamanan investasi. Lebih lanjut, mereka mempertanyakan untuk apa demokrasi jika tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat? Pernyataan semacam ini menunjukkan bahwa kini demokrasi harus dikalahkan demi kapitalisme global. Selain itu juga merupakan kritik internal terhadap proses demokrasi itu sendiri yang kerap kali berlangsung secara gaduh dengan berbagai simpang siur pendapat, sikap, dan kenyataan yang kurang terarah. Terbukti biaya sosial, politik, dan ekonomi dari transisi menuju demokrasi dengan kesejahteraan rendah sangat mahal. Bahkan tidak sedikit yang mengalami kegagalan sehingga negara tersebut terjebak ke dalam perangkap demokrasi semu dengan kesejahteraan rendah, sebagaimana kasus-kasus di negara Filipina, Bangladesh, India, dan banyak negara Amerika Latin lainnya.

Dalam hal ini, kita memang sudah sering masuk ke dalam “perangkap demokrasi”. Dalam sistem seperti ini, pemimpin merupakan cerminan dari rakyatnya. Jika mayoritas rakyat penggemar sinetron, maka mereka akan memilih artis sinetron sebagai pemimpin mereka. Jika rakyat terbiasa bermaksiat maka niscaya mereka akan menolak pemimpin yang berkeinginan memberantas kemaksiatan. Hal ini khususnya terpulang pada kelemahan pokok dari sistem demokrasi, yang secara naif memberi harga yang sama/setara antara suara seorang pelacur dengan suara seorang ulama, suara seorang yang tidak berpendidikan dengan suara orang yang berpendidikan tinggi, suara penjahat dengan suara bukan penjahat, suara koruptor dengan suara bukan koruptor.Demokrasi juga acap kali diberlakukan secara mendua. Demokrasi yang didengungkan Barat sebagai suara rakyat, namun aplikasinya menjadi lain karena bergantung pada penafsiran pihak pemegang hegemoni politik. Keengganan AS, Israel, dan sekutunya untuk mengakui kemenangan Hamas – dengan hasil yang signifikan yakni 74 kursi dari 132 kursi di parlemen – dalam Pemilu di Palestina (25 Januari 2006) memperlihatkan bagaimana wajah demokrasi yang penuh dengan kemunafikan dan standar ganda. Israel bahkan menyebut kemenangan Hamas ini sebagai kemenangan kaum teroris. Semenjak itu, Israel yang didukung oleh AS dan sekutunya melakukan berbagai pergerakan untuk menjatuhkan pemerintahan Hamas, termasuk dengan cara penghentian pemberian bantuan ekonomi. Dengan demikian sejarah perjalanan demokrasi banyak ditentukan pula oleh kekuasaan kapitalisme global, kepentingan negara-negara besar, dan para elite politik yang bertindak sebagai kaki-tangan/boneka.Sebuah lembaga penelitian tahun lalu mempublikasikan hasil kajiannya yang menyebutkan bahwa jalan perubahan menuju demokrasi pasca-Orde Baru telah dibajak oleh sekelompok elite. Pembajak itu adalah anggota elite lama Orde Baru dan elite baru yang datang setelah orde itu tumbang. Mereka tidak hanya bertahan, tapi menjadi kekuatan baru di bidang ekonomi, birokrasi, dan militer, yang memegang peran menentukan. Mereka melekat erat di parlemen, partai politik, di berbagai asosiasi sipil, politik, bisnis, juga di tubuh birokrasi. Di tengah sistem yang masih tetap korup, kelompok elite itu menjalankan kepentingan mereka melalui mekanisme dan prosedur ”demokrasi” di tingkat pusat maupun tingkat lokal. Dengan keterampilan yang diwariskan atau dipelajarinya dari masa lalu, menggunakan momentum desentralisasi, mereka juga merambah ke daerah-daerah. Singkatnya, mereka menguasai semua sektor, dengan menggunakan demokrasi, untuk membajak semua kemungkinan perubahan politik, demi kepentingan mereka sendiri. Dengan cara ini, mereka membuat transisi menuju demokrasi macet di tengah jalan. Dalam pola pembajakan tersebut, Pemilu kemudian hanya merupakan kristalisasi dari oligarki partai yang menggunakan suara rakyat untuk membangun aliansi politik baru. Partai-partai mengabaikan masyarakat sebagai konstituen utama mereka dalam membangun koalisi elite. Tatkala Indonesia sejak dua tahun lalu memulai babak baru bagi sejarah demokrasi, yakni dengan diadakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, kita berharap itu akan mampu memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih baik, jujur dan kapabel, sebagai sebuah ukuran penting untuk melihat apakah sebuah Pemilu membawa keberhasilan dalam proses demokratisasi. Namun hasil pilkada memperlihatkan masih banyaknya terpilih para politisi lama yang bukan bermodalkan kapabilitas, karena kemenangan ternyata dapat diperoleh melalui praktek-praktek permainan curang, politik uang, dan semacamnya. Kita menyaksikan tidak semua yang terpilih dalam pilkada langsung adalah putra-putri terbaik yang dimiliki daerah bersangkutan. Masalah ini muncul karena tidak adanya calon independen, karena distorsi dalam seleksi di tingkat parpol – yang memunculkan praktek politik uang atau intervensi dari DPP Parpol, faktor tidak memadainya sosialisasi politik sehingga masyarakat \\\\\\\”salah pilih\\\\\\\”, atau belum sepenuhnya mencerminkan “kematangan” publik dalam memilih secara rasional (rational voters). Itu sejalan dengan praktek kecurangan yang sistematis, maupun penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik, bahkan banyak calon yang bermasalah dengan dugaan korupsi juga dapat diajukan, maraknya kekerasan antar-pendukung calon kepala daerah.Jurnal Penelitian Politik kali ini menyajikan beberapa tulisan yang memberikan analisis mengenai kegagalan demokrasi yang berlangsung di berbagai negara. Kasus Myanmar akan memperlihatkan bagaimana matinya penegakan demokrasi di sana. Demikian pula yang kita saksikan bagaimana kegalauan penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam kasus nuklir Korea Utara. Kecuali beberapa perkembangan demokrasi di belahan luar, kami juga menampilkan tulisan tentang refleksi kegagalan parpol dalam merebut simpati rakyat dalam pilkada, termasuk sebuah tulisan yang secara khusus menyoroti pilkada di Bitung. Semoga tulisan-tulisan yang kami tampilkan bisa memberi pencerahan kepada pembaca, setidaknya untuk: tidak lagi terlalu percaya pada janji-janji manis demokrasi. (REDAKSI)

DAFTAR ISI 
Artikel: 
• Myanmar dan Matinya Penegakan Demokrasi (Awani Irewati)
• Masalah Senjata Nuklir dan Masa Depan Perdamaian Dunia (RR. Emilia Yustiningrum)
• Sikap Pemilih terhadap Pasangan Calon Kepala Daerah Menjelang Pilkada Langsung di Kota Bitung (Johny Lumolos)
• Kegagalan Partai Politik Menarik Simpati Rakyat: Urgensi Sebuah Paradigma Baru Partai Politik (Firman Noor) 
• Demokratisasi dan Dekonstruksi Ideologi Gender Orde Baru (Kurniawati Hastuti Dewi)

Resume Penelitian :
• Negara Dan Masyarakat Dalam Resolusi Konflik Di Indonesia (Daerah Konflik Kalimantan Barat Dan Kalimantan Tengah) (Heru Cahyono)
• Problematika Minoritas Muslim Di Kanada Dan Perancis (Afadlal)
• Dinamika Hubungan Australia-Asia Timur (1997-2005) (Adriana Elisabeth)

Review Buku
• Realitas dan Prospek Hubungan ASEAN-Cina (Lidya Christin Sinaga)