Jurnal Penelitian Politik Vol. 9 No. 1 Tahun 2012

Jurnal Penelitian Politik Vol. 9 No. 1 Tahun 2012Title: Jurnal Penelitian Politik Vol. 9 No. 1 Tahun 2012 
Type: Book
Title: Pembangunan Papua dalam Pusaran Politik
Author: Ikrar Nusa Bhakti, Natalius Pigay, Adriana Elisabeth, Sri Yanuarti, Rosita Dewi, Muridan S. Widjojo, Aisah Putri Budiatri, Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Zainuddin Djafar
Publisher: LIPI Press
Year: 2012

CATATAN REDAKSI

Sebagai bagian dari Indonesia selama 50 tahun, Papua masih saja diterpa oleh gejolak politik yang berdampak pada konflik vertikal dan horisontal. Semenjak terintegrasi ke wilayah NKRI hingga saat ini, Papua selalu mempertanyakan dirinya sendiri. Apakah benar integrasi ke dalam NKRI merupakan kesadaran pendahulunya ataukah karena buah okupasi pemerintah Indonesia pada waktu itu. Untuk siapa sebenarnya kekayaan alamnya, apakah untuk kesejahteraan warga setempat atau untuk ‘Indonesia’? Mengapa pendekatan represif selalu mengintimidasi setiap gerak langkah masyarakat yang memiliki ras berbeda dari kebanyakan masyarakat Indonesia? Di tengah naik-turunya politik kemanan Papua, Jurnal Penelitian Politik mencoba membedah polemik Papua dari pelbagai sudut pandang. 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas sebenarnya menggiring kita untuk mencoba menemukan akar persoalan gejolak di Papua. Ikrar Nusa Bhakti dan Natalius Pigay dalam tulisannya berjudul “Menemukan Akar Masalah dan Solusi atas Konflik Papua: Supenkah?” justru mempertanyakan pertanyaan itu. Apakah menemukan akar masalah dan solusi konflik sudah sangat penting? Jika pertanyaan itu sangat penting, pemerintah pusat hendaknya segera duduk bersama dengan kelompok di Papua untuk segera membahasnya lebih dalam. Papua hanya menghendaki perbaikan atau peningkatan kehidupan mereka terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur. Namun, kehadiran aparat keamanan yang ‘mengganggu ketenangan hidup’ masyarakat harus segera dijauhkan dari Papua.

Adriana Elisabeth dalam ulasannya mengenai “Perdamaian dan Pembangunan Papua: Problematika Politik atau Ekonomi?” juga sependapat bahwa setiap kebijakan dan program di Papua harus memperhatikan dua kata kunci yaitu perdamaian dan pembangunan. Papua adalah daerah khusus yang sebenarnya lahir dari gejolak ketidak-percayaan terhadap pusat. Oleh karena itu, pembangunan politik dan ekonomi di Papua harus mampu menciptakan rasa memiliki dan tanggungjawab, mengurangi kesenjangan antara Papua dan Jakarta, dan meningkatkan kepercayaan diri Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Tanpa ketiga hal itu, konflik Papua akan tetap langgeng.

Papua adalah ladang emas bagi Indonesia. Emas dan tembaga di Mimika, minyak dan gas di Teluk Bintuni, serta kekayaan hasil hutan seperti timbunan harta karun yang sepertinya tak terbatas. Kontribusi ekonomi kepada bangsa dari sumber daya alamnya adalah paling besar diantara daerah-daerah lain di Indonesia. Secara tidak langsung, Papua juga memberikan keuntungan yang sangat melimpah bagi negara-negara lain seperti Amerika Serikat. Tidak heran jika perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport McMoRan Cooper & Gold Inc dan British Petrolium selalu berupaya memperbarui kontrak karena sangat diuntungkan dari hasil bumi Papua.   

Sungguh ironis. Besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tambang di Papua tidak sebanding dengan kontribusi mereka terhadap Indonesia dan terutama bagi Papua. Inilah kenyataan yang diungkap oleh Sri Yanuarti dalam artikelnya tentang “Kemiskinan dan Konflik Papua: di Tengah Sumber Daya yang Melimpah.” Total kontribusi PT Freeport kepada Indonesia pada Juni 2011 misalnya hanya sebesar 12,8 miliar. Padahal, pada tahun 2010 saja laporan cadangan mineral PT Freeport mencapai 55 juta ons cadangan emas, 56,6 pounds tembaga, dan 180,8 juta ons perak. Sementara itu, keberadaan Freeport juga dianggap tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua terutama masyarakat sekitar perusahaan. Tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena kekurangan gizi di Kabupaten Mimika merupakan bukti buruknya tingkat kesejahteraan manusia di balik angka pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi. Ironisnya, perusahaan-perusahaan sangat abai dengan rehabilitasi lingkungan dan bahkan begitu saja meninggalkan tailing (limbah penambangan) sehingga kebun sagu masyarakat mati dan ikan di sungai semakin sulit didapat.  

Upaya pengelolaan SDA juga sedang digalakkan di Papua dengan dalih percepatan pembangunan sekaligus menjawab persoalan krisis pangan dan energi. Kali ini, pemerintah mencanangkan mega proyek Merauke Integrated Food and Energu Estate (MIFEE) dengan membuka lahan seluas 1,2 juta hektar untuk pertanian dan perkebunan secara terpadu. Apakah proyek ini benar-benar dimanfaatkan terutama untuk masyarakat lokal? Persoalan ini diulas oleh Rosita Dewi dalam artikelnya yang berjudul “Dilema Percepatan Pembangunan dan Permasalahan Pembangunan Berkelanjutan dalam Pelaksanaan MIFEE di Merauke.” Menurutnya, konsep pengelolaan proyek MIFEE adalah lebih ke corporate based farming daripada family based farming. Karena perusahaan luar yang mengelola, kerusakan lingkungan lagi-lagi akan tidak terhindarkan. MIFEE justru akan meminggirkan masyarakat Papua yang tidak memiliki akses terhadap kapital. Parahnya, masyarakat Papua lagi-lagi akan menjadi budak atau penonton aksi konglomerasi yang mengeksploitasi tanah mereka.     

Perasaan dihina, didiskriminasi, dan dieksploitasi semakin menyebar dari hari ke hari. Hal ini tidak saja disebabkan oleh “kecurigaan” Jakarta yang berlebihan tetapi juga karena setiap kebijakan untuk Papua justru menghasilkan dampak yang kontraproduktif. Sebut saja kebijakan otsus yang dimulai semenjak 2001 ternyata tidak membuahkan kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Muridan S. Widjojo dan Aisah Putri Budiatri berargumentasi bahwa Otsus Papua memang memiliki cacat politik bawaan sejak ia dikandung dan dilahirkan. Dalam tulisan tentang “UU Otonomi Khusus bagi Papua: Masalah Legitimasi dan Kemauan Politik,” mereka berpendapat bahwa alih-alih menjadi “jalan tengah” penyelesaian konflik Papua, Otsus Papua justru menjadi bagian masalah konflik Papua. 

Dana otsus bagi Papua yang meningkat jumlahnya setiap tahun selama sepuluh tahun terakhir ternyata tidak memberikan perubahan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Ironisnya, dana otsus banyak menguap digunakan para elite birokrasi dan politik Papua untuk politik pencitraan dan memperkaya diri. Masyarakat pada akhirnya menilai bahwa otsus sebagai kompensasi permintaan merdeka tidak terlaksana dengan baik dan bahkan gagal. Mardyanto Wahyu Tryatmoko dalam artikelnya “Politik Kebijakan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Papua” mengulas persoalan dana otsus secara mendalam. Menurutnya, terhambatnya distribusi dana otsus disebabkan oleh faktor internal dan faktor keseriusan pemerintah pusat. Faktor internal menunjukkan kelemahan lembaga-lembaga lokal yang terlihat terbelah dan tidak memperhatikan distribusi kebutuhan riil masyarakat. Sementara itu, faktor rendahnya political will pemerintah pusat ditunjukkan dari lemahnya fungsi pembinaan dan pengawasan kebijakan pengelolaan dana otsus.  

Tidak segera terselesaikannya persoalan Papua justru akan membuat bumerang bagi pemerintah sendiri. Eskalasi kekerasan di Papua semakin menaikkan upaya internasionalisasi kasus Papua oleh kelompok pro merdeka. Kemajuan teknologi informasi dan teknologi membuat kejadian di Papua akan mudah tersebar ke berbagai tempat di dunia, apalagi kelompok pro merdeka dengan mudah memutarbalikkan fakta terkait pelanggaran HAM. Walaupun demikian, pemerintah tampak tidak memiliki kekhawatiran akan dampak internasionalisasi. Pemerintah selalu berupaya mencari strategi dan mengeluarkan kebijakan untuk menepis isu ini. Inilah isu penting yang diangkat oleh Zainuddin Djafar dalam tulisannya tentang “Kemerdekaan Papua dan Relevansi Reaksi Tiga Negara?.” Meskipun Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap Indonesia dalam memperlakukan Papua, internasionalisasi Papua dapat meluas jika pemerintah Republik Indonesia tidak segera berbenah.

Akhirnya, persoalan Papua bukan hanya persoalan orang-orang Papua dan para pemegang otoritas di Jakarta tetapi juga persoalan kita bersama. Persoalan Papua tidak dapat hanya diselesaikan dengan otak tetapi juga harus menggunakan hati. Sejumlah artikel yang disuguhkan dalam Jurnal Penelitian Politik kali ini untuk mengingatkan kepada kita semua atas persoalan yang menggantung dan mengajak kita semua untuk memikirkan Papua yang lebih baik. Harapannya, kita bisa saling mengisi dan mengoreksi celah perbaikan Papua kedepan. 

DAFTAR ISI 

Artikel

Menemukan Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik Papua : Supenkah?

Ikrar Nusa Bhakti dan Natalius Pigay 

Perdamaian dan Pembangunan Papua: Problematika Politik atau Ekonomi?

Adriana Elisabeth 

Kemiskinan dan Konflik Papua di Tengah Sumber Daya yang Melimpah

Sri Yanuarti 

Dilemma Percepatan Pembangunan dan Permasalahan Pembangunan Berkelanjutan dalam Pelaksanaan MIFEE di Merauke

Rosita Dewi 

UU Otonomi Khusus bagi Papua: Masalah Legitimasi dan Kemauan Politik

Muridan S. Widjojo dan Aisah Putri Budiatri

Politik Kebijakan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Papua 

Mardyanto Wahyu Tryatmoko

Kemerdekaan Papua dan Relevansi Reaksi Tiga Negara 

Zainuddin Djafar

 

Resume Penelitian

Dinamika Peran Elite Lokal dalam Pemilukada Bima 2010

Septi Satriani

Demokrasi dan Fundamentalisme Agama : Hindu di India, Budha di Sri Langka dan Islam di Turki

Indriana Kartini

 Konflik dan Resolusi Konflik: Perbandingan Di Sambas dan Sampit

Dini Suryani

 

Review Buku

“ASEAN 2015: Mencapai Ambisi Regionalisme Asia Tenggara”

Khanisa