Tata Kelola Politik Era Jokowi (Syamsuddin Haris)
Satu dari sembilan agenda prioritas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah “membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya”. Setelah berlangsung hampir dua tahun, sejauh mana pencapaiannya?
Sebelum memberikan penilaian, ada baiknya kita kutip lengkap poin kedua dari sembilan agenda prioritas alias Nawacita Jokowi-JK: “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan”. Pesan terpentingnya: betapa mendesak membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
Sejauh yang bisa kita cermati melalui berita, relatif belum ada langkah serius dan signifikan dari pemerintah dalam menata kehidupan politik lebih sehat, bersih, dan efektif melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan. Singkatnya, belum ada posisi etis yang jelas dari pemerintah menyikapi urgensi reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan, baik dalam rangka pemerintahan yang efektif maupun sistem demokrasi yang lebih terkonsolidasi.
Posisi etis diartikan sebagai posisi politik resmi pemerintah dalam merespons dan menyikapi berbagai isu kebijakan tertentu terkait kepentingan publik. Setelah beroleh mandat politik dari rakyat, setiap pemerintah hasil pemilu diasumsikan berkomitmen pemihakan atas kepentingan rakyat dan kolektivitas bangsa kita.
Politik menjadi “liar”
Ketiadaan posisi etis pemerintah itu antara lain tampak pada pembahasan revisi UU Pilkada dalam menyongsong pilkada serentak gelombang kedua pada 2017. Pemerintah cenderung membiarkan sebagian isu krusial pilkada “digoreng” para politisi partai politik di DPR ketimbang berjuang membela posisi politiknya melalui partai koalisi pendukung pemerintah di parlemen. Akibatnya, acap kali tak tampak pembelaan atas kepentingan publik dalam pembahasan UU di Senayan. Dalam situasi begitu, berbagai elemen masyarakat sipil akhirnya berjuang dan mengawal agar UU Pilkada dan arah demokrasi sungguh-sungguh berorientasi kepada kemaslahatan kolektif bangsa kita, bukan kepentingan pribadi dan kelompok oligarkis yang menguasai sebagian parpol kita.
Tidak mengherankan jika kemudian sejumlah isu krusial pilkada cenderung berkembang “liar” sesuai dengan kepentingan dan “selera” para politisi parpol ketimbang kebutuhan dan kepentingan kolektif bangsa kita. Sebut misalnya soal calon perseo- rangan. Pada umumnya parpol di DPR cen- derung mempersulit munculnya calon perseorangan dalam pilkada karena keber- adaan calon perseorangan secara keliru di- anggap sebagai upaya deparpolisasi. Padahal, kehadiran calon perseorangan merupakan konsekuensi logis kegagalan ganda parpol: melembagakan kandidasi yang terbuka, demokratis, dan akuntabel di satu pihak; dan menghadirkan calon yang kompeten dan berkualitas di pihak lain.
Dalam persoalan seperti ini, pemerintah Jokowi-JK semestinya berposisi etis bagaimana seharusnya menyikapi keberadaan calon perseorangan sehingga arah tata kelola politik dan demokrasi ke depan be- nar-benar berorientasi kepentingan rakyat dan bangsa kita.
Sangat berisiko bagi bangsa ini jika presiden dan atau pemerintah sebagai salah satu institusi pembentuk UU (bersama-sama DPR) membiarkan berbagai isu politik krusial terkait tata kelola pemerintahan dan demokrasi terbelenggu politik transaksional berorientasi sempit dan jangka pendek. Terlalu besar biaya politik yang harus ditanggung bangsa ini apabila pemerintah tak punya posisi etis yang jelas dalam mengelola politik dan arah demokrasi di negeri ini.
Pemilu serentak 2019
Posisi etis atau posisi politik serupa perlu dimiliki pemerintah dalam menyikapi urgensi reformasi sistem pemilu, kepartaian, dan lembaga perwakilan seperti diamanatkan dalam poin kedua Nawacita Jokowi-JK. Pertanyaan besarnya, apakah sistem dan atau format pemilu, sistem ke- partaian, dan juga format lembaga perwakilan sudah sesuai dengan kebutuhan skema sistem presidensial seperti diamanatkan konstitusi hasil amandemen? Jika sudah sesuai, tentu tak ada yang perlu diubah. Namun, jika belum sesuai dengan kebutuhan skema sistem presidensial, pemerintah semestinya memiliki desain dan atau garis-garis besar perubahan yang diperlukan dalam rangka kebutuhan akan reformasi sistem pemilu, kepartaian, dan lembaga perwakilan.
Dalam konteks pemilu, misalnya, apakah pemerintah Jokowi-JK sudah memiliki konsep jelas menyikapi penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019 seperti telah diputuskan Mahkamah Konstitusi pada awal 2014. Jika pemerintah setuju dengan pemilu serentak versi MK, yakni pemilu “borongan” untuk memilih presiden dan wakilnya sekaligus juga memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, apakah itu pilihan terbaik dan sesuai dengan kebutuhan penguatan dan keefektifan sistem presidensial?
Sebaliknya, jika tidak atau belum sepakat dengan skema pemilu serentak versi MK, apakah pemerintah Jokowi-JK sudah memiliki alternatif lain, seperti skema pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah yang ditawarkan antara lain oleh tim LIPI, Perludem, dan juga Kantor Kemitraan?
Problemnya hingga hari ini belum ada inisiatif pemerintah untuk mendiskusikan soal penting terkait reformasi pemilu itu, padahal kita berkejaran dengan waktu. Sebagai sebuah pengalaman baru, perencanaan penyelenggaraan dan tata kelola pemilu serentak 2019 tentu akan berbeda dengan tata kelola pemilu legislatif dan pemilu presiden sebelumnya.
Perbedaan pengalaman itu, termasuk kebutuhan akan kerangka hukum pemilu baru, meniscayakan tersedianya cadangan waktu yang cukup untuk mempersiapkannya. Ketergesa-gesaan, seperti biasanya, hampir selalu menghasilkan produk kebijakan dan kerangka hukum yang cenderung tambal sulam dan tak berkualitas.
Karena itu, sebelum terlambat, kita berharap pemerintah Jokowi-JK secepatnya mempersiapkan desain pemerintah terkait reformasi sistem pemilu dalam rangka pemilu serentak 2019. Melalui desain reformasi sistem pemilu yang berorientasi penguatan sistem presidensial itu diharapkan pula akan turut mendorong berlangsungnya reformasi kepartaian dan lembaga perwakilan seperti telah menjadi salah satu dari sembilan program prioritas pemerintah Jokowi-JK.
Kutukan
Kita tentu mengapresiasi berbagai langkah besar pemerintahan Jokowi-JK di bidang ekonomi, termasuk percepatan pembangunan infrastruktur di hampir semua penjuru Nusantara. Namun, semua itu akan sia-sia belaka jika demokrasi kita pada akhirnya dikuasai para “penjahat politik”, yang memanfaatkan jabatan publik dan mandat politik mereka untuk kepentingan pribadi dan kelompok belaka.
Fenomena korupsi yang melanda hampir semua lembaga pemerintah di pusat dan daerah, politisi parpol di DPR dan DPRD, dan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, memperlihatkan betapa rawan sistem demokrasi kita jika diisi para penjahat berbaju pejabat publik. Semakin gencar Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar operasi tangkap tangan, ternyata semakin marak pula praktik korupsi dan suap dipertontonkan para pejabat publik hampir di semua tingkat.
Karena itu, sebelum demokrasi berubah jadi kutukan, pemerintah Jokowi-JK perlu membuka mata hati bahwa di luar soal-soal ekonomi dan infrastruktur, ada masalah sosial dan politik yang membu- tuhkan perhatian ekstra pemerintah untuk dikelola cerdas, bermartabat, dan visioner. Agar tata kelola pemerintahan dan demokrasi menjadi benar, kita tak hanya butuh skema dan atau sistem pemilu, kepartaian, dan sistem perwakilan yang tepat, tetapi juga orang-orang yang benar dan bertanggung jawab.
Terbangunnya sistem yang tepat dan dikelola secara benar oleh para aktor demokrasi yang bertanggung jawab adalah sasaran antara dari reformasi sistem pemilu, kepartaian, dan lembaga perwakilan. Semua itu diharapkan berujung pada terbentuknya pemerintahan nasional dan daerah yang efektif dalam mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat negeri ini.
Terlampau mahal biaya politik yang harus ditanggung bangsa ini jika demokrasi yang direbut dengan darah dan air mata akhirnya dikuasai para pecundang, preman, dan para oligark yang tak bertanggung jawab.
Syamsuddin Haris, Profesor Riset Lipi
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul “Tata Kelola Politik Era Jokowi”.